Hidupmu kitab terbuka dibaca sesamamu; apakah tiap pembacanya melihat Yesus dalammu? B.B.McKinney
Feminisme! Yes, sebuah topik yang kita bicarakan kalau kita mau dihujat, didebat, dan dimarahi. Membicarakan feminisme itu susah-susah susah karena konteks dan interseksi masalah dan definisi serta nyaris semua yang ada di dalam ide feminisme ini kadang bersifat paradoks bagi orang awam. Kali ini kita mau membahas, kenapa sih orang menafsirkan feminisme secara berbeda-beda? Dan apa yang bisa kita pelajari dari perspektif Kristen?
Pertama, kita perlu memahami definisi teori, maksud dari teori itu sebuah sistem atau pemikiran terstruktur untuk membantu kita menjelaskan suatu hal. Teori tidak harus selalu keren, cocoklogi itu contoh teori (walau ngawur), kapitalisme itu teori. Nantinya, teori itu selain menjelaskan, juga membantu kita membentuk perspektif atau cara pandang terhadap hidup. Contoh stereotipnya: Orang kapitalis cenderung individualistis.
Feminisme sendiri bukan suatu paradigma atau teori ajeg. Beda dengan kapitalisme misalnya, dalam perspektif atau teori kapitalis kita punya beberapa poin-poin yang cukup mudah dilihat untuk mengidentifikasi “Oh, ekonomi negara ini kapitalis, kalau yang itu mah bukan.” Misalnya, kapitalis ingin negara enggak banyak ikut campur dengan urusan ekonomi, kebebasan kita sebagai individu harus lebih besar daripada kuasa negara untuk mengatur perilaku kita, dan lain-lain.
Feminisme sendiri adalah bagian dari teori-teori post-modernisme. Teori post modernisme menolak konsep atau pemikiran dari “Grand Theory”. Maksudnya adalah teori besar yang mencoba menjelaskan banyak hal di dalam perspektifnya. Misalnya, teori kapitalisme sering banget dipakai bukan hanya untuk menjelaskan perekonomian, tapi juga sosial budaya, agama, dan lain-lain. Ini kan terlalu “men-generalisasi” banyak hal dalam satu teori dan kerap melupakan konsep serta konteks lain yang lebih spesifik, makanya para penggagas teori post-modern tidak mau menerima teori besar tersebut.
Para penggagas teori post-modern ingin melihat sesuatu dari konteks yang lebih spesifik sehingga mereka membuat teori bukan untuk menjelaskan hal-hal secara umum dan menjawab semua permasalahan, tapi sebagai payung untuk mengumpulkan pemikiran-pemikiran spesifik.
Apa hubungannya dengan feminisme?
Intinya, feminisme itu memang bukan cara pandang yang saklek dan jelas. Feminisme lebih fokus ke mengangkat permasalahan-permasalahan kecil dan memecahkan mereka sesuai konteksnya. Di sinilah kamu bisa melihat kalau feminisme sendiri bisa mengangkat dua masalah yang solusinya bertolak belakang, tapi berdampingan.
Contoh, pernah ada pernyataan kalau “Wah, feminis membela perempuan bebas pakai baju yang terbuka, kok mereka juga ada yang membela perempuan yang pakai burqa/nikab?”. Penjelasannya gini, feminisme modern punya satu tujuan: membebaskan wanita memilih. Dengan tujuan itu, maka mereka tidak mau perempuan dilecehkan kalau memakai pakaian yang longgar, tapi juga tidak mau memaksa orang untuk mencopot burqa atau niqab mereka kalau memang mereka mau mengikuti syariat dalam agama tertentu.
Jadi, feminisme memberi payung besar (tujuan: perempuan bebas memilih) untuk memperjuangkan konteks yang lebih liberal dan juga yang lebih konservatif.
Ini juga yang jadi masalah feminisme…
Dengan hanya memayungi konteks, perdebatan dan ketidak-sepahaman pasti terjadi. Misalnya tentang tweet memasak buat suami. Ada yang bilang, ya ini kebebasan dia aja mau masak, tapi banyak juga yang bilang ini salah satu bentuk dia masih ter-brainwash oleh budaya patriarki. Apa yang tidak dipermasalahkan oleh si pembuat tweet malah jadi bahan ribut netizen Indonesia yang beda interpretasi di Twitter.
Dari sini penting buat kita memahami bahwa feminisme itu only works in specific context dan selalu butuh interpretasi yang sama untuk memberi solusi. Terutama, konteks perempuan yang langsung mengalami situasi tersebut dengan segala konteks budaya, agama, intrapersonal, hingga situasi. Butuh orang-orang khusus yang mengerti atau mau memahami semua itu untuk memecahkan masalah tersebut secara optimal.
Barbie: Mis-interpretation & the Medium is the Message
Boneka Barbie diciptakan oleh Ruth Handler dari perusahaan mainan Mattel. Ruth menciptakan Barbie karena pada saat itu anak perempuan sering main boneka anak kecil agar mereka berimajinasi soal masa depan mereka sebagai ibu. Ruth berpikir bahwa imajinasi anak perempuannya akan tertahan bila ia hanya berimajinasi sebagai ibu, kenapa sih cewek-cewek enggak berimajinasi jadi presiden atau chef? Potensi perempuan itu besar loh. Ruth sendiri adalah pejabat tinggi dari Mattel, sebagai wanita karir jelas ia ingin anak perempuannya punya visi ke masa depan yang cemerlang. Dalam visi Ruth, Barbie adalah imajinasi perempuan terhadap diri mereka sendiri.
Sayangnya semua berubah ketika banyak orang salah fokus tentang apa yang harus mereka perhatikan dari Barbie. Mereka hanya fokus ke penampilan dan bukan ide di balik produk tersebut. Hal ini karena Barbie ditampilkan sebagai perempuan muda kulit putih yang selalu berpakaian mewah. Bagi para pemirsa dan konsumen, Barbie hanya alat komersialisasi image tubuh sempurna yang enggak akan dimiliki oleh perempuan pada umumnya. Ini dikarenakan, medium komunikasi pesan yang baik dari Ruth Hadler tersebut adalah boneka – mainan yang diasosiasikan dengan perempuan dan perempuan diasosiasikan dengan cantik”, “langsing”, dan “sempurna”.
Namun menurut NeuroScienceNews.Com, persepsi ini tidak dialami oleh anak-anak dan remaja perempuan. Kebanyakan yang menyampaikan hal ini justru jarang bermain dengan Barbie atau hanya berasumsi tanpa memperhatikan konteks atau memeriksa apakah benar cewek itu benci pada tubuhnya karena boneka Barbie.
So, the problem here bukan tentang feminismenya, tapi menurut gue lebih ke komunikasi. Pesan penting feminisme dan women empowerment oleh Ruth Hadler kerap dimaknai salah oleh masyarakat karena media komunikasinya adalah boneka yang identik dengan budaya perempuan konvensional/di bawah patriarki. Akhirnya, Barbie dilabel sebagai “non-feminis”, dan message-nya terlupakan.
You are the Message
Jadi, sebenarnya gue mau ngomongin apa sih? Tulisan ini sebenarnya sudah dibuat dari bulan Mei, inspirasinya adalah video dari VICE Amerika yang memberitakan bahwa komunitas Meksiko dan Latin di Amerika semakin banyak yang meninggalkan iman Kristen/Katolik untuk Islam. Alasannya, mereka kerap dituduh sebagai setan, kriminal, dan dipojokkan menggunakan kekerasan oleh orang kulit putih – mayoritas beragama Kristen.
Sebagai orang Kristen, tentu kamu pernah mendengar mandat “Jadikanlah segala bangsa murid-Ku”. Menyampaikan kabar baik dan memuridkan bangsa lain membutuhkan komunikasi. Kita berupaya untuk mengkomunikasikan kasih Allah pada bangsa lain. Kita sering lupa bahwa kita tidak bicara dengan “bahasa” yang sama. Terlebih, kini kita bukan hanya menghadapi perbedaan bangsa seputar warna kulit atau bahasa, namun ide dan pemikiran.
Kita mau berteman dengan orang berbeda suku, tapi kalau dia berbeda pilihan politik --> dia komunis
Kita mau berteman dengan orang beda ras, tapi kalau ga setuju dengan kita --> jahat!
Ketika mengabarkan Injil, nyatanya media yang paling mudah digunakan adalah diri kita sendiri. Ini karena kamu dapat masuk dan memahami konteks manusia lain lewat mencari pengetahuan atau diskusi. Tapi sama seperti pesan feminisme hilang karena Barbie diasosiasikan dengan perempuan kulit putih, pesan tentang Injil data hilang bila kamu sebagai orang Kristen diasosiasikan dengan hal yang tidak baik.
Kita juga perlu memahami juga bahwa kita telah hidup di era post-modernisme dimana kita harus lebih banyak bicara konteks yang sangat spesifik di lingkungan yang spesifik juga daripada narasi besar di publik. Lalu aplikasinya bagaimana? Ya dengan berdiskusi secara kontekstual. Karena konteks adalah hal yang sering hilang saat kita berdiskusi dengan orang yang memiliki pandangan berbeda dengan kita. Kita tidak mau mendengar atau memahami latar belakangnya atau bagaimana ia berpikir, serta apa yang mempengaruhi tindakannya, namun sekadar mempermalukan dan mengusahakan agar ia mendapat sanksi sosial, karena berpikir secara berbeda atau berperilaku tak sesuai yang kita harapkan.
Misalnya kamu pernah tobat dari minum-minum, ya sekarang kamu mengerti kenapa kamu terjatuh dalam dosa tersebut. Kamu pernah merasakan bagaimana tidak enaknya berdosa dan tahu rasa lega ketika menjauh dari hal yang membuatmu melakukan dosa. Maka, kamu bisa bicara ke temanmu sesama pemabuk untuk bersama jadi mantan pemabuk dan hidup dalam Kristus. Kamu mengerti kesedihan mereka, kamu mengerti alasan mereka minum lebih banyak karena hidup mereka yang keras dan sulit, bukan keinginan mereka untuk bahagia. Dari sinilah kamu bisa ngobrol setelah bilang “Gue ngerti rasa sakit lu.”
Tentu public shaming dan mempermalukan orang lain pada saat tertentu seperti kasus pelecehan di CCTV gerai kopi penting untuk menunjukkan bahwa korban tidak boleh takut. Namun lebih dari itu, masalah-masalah seperti feminisme, rasisme, serta problema lain yang lebih menyangkut emosional dan budaya harus dirunut secara sistemik karena ada pola budaya dan pemikiran di lingkungan itu yang harus kamu ketahui sebelum melakukan perubahan.
Kamu ada di situ sekarang, kamu ditempatkan Tuhan di lingkungan yang kamu tinggali sekarang untuk membawa perubahan dan perbaikan. Kamu di antara teman, pekerjaan, kolega, bisnis, keluarga, dan gereja. Kamu diminta untuk bawa kabar baik dan bawa ke persekutuanmu. Kamu yang memahami bagaimana lingkunganmu berpikir, kenapa kamu dan teman terdidik seperti itu.
Seperti halnya Barbie yang dapat masuk dan dekat dengan anak perempuan untuk menyampaikan pesan empowerment, kamu pun didekatkan dengan lingkunganmu saat ini untuk membantu menyampaikan kabar baik. Kamu bicara bahasa dan sepikir dengan mereka, kamu sedang diutus.
Karena ada orang-orang yang tidak bisa mendengar Tuhan,
Tapi mereka akan mendengar kamu.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: