Sakit Kepala Gara-Gara Tren Grup ABA

Best Regards, Live Through This, 13 September 2019
Membaca Alkitab terburu-buru demi mengejar ‘target’ jadi keseharian saya. Anehnya, makin hari saya tidak merasa makin dekat dengan Tuhan, tetapi justru makin teralienasi.

Beberapa tahun lalu, saya mengerjakan penulisan untuk sebuah majalah ‘untuk kalangan Kristen sendiri’ – dimana saya dikenalkan dan masuk ke dalam sebuah lingkaran pertemanan orang-orang yang di mata saya, sangat religius. 


Mereka tampak sangat beriman, penuh sukacita, dan berpengetahuan luas mengenai Alkitab— seperti hidup di level yang berbeda jauh dari saya. Mereka bersekutu di hotel paling kinclong atau restoran paling mewah di kota saya, selalu sambil menggaungkan kisah kesaksian hidup mereka yang penuh anugerah dari Tuhan. 


Makanya, nggak heran dong ketika salah seorang dari mereka mengajak saya untuk masuk dalam sebuah grup WA untuk ‘membaca Alkitab bersama’, saya langsung mengiyakan. Mungkin ini disiplin rohani yang saya perlukan, untuk membuat saya jadi manusia yang ‘lebih baik’ dan ‘lebih berkenan’ di mata Tuhan… demikian batin saya. 


Dengan penuh semangat, saya siapkan kembali Alkitab edisi cetak yang sudah sekian lama tak tersentuh. Saya pun diceburkan ke dalam dua grup WA mereka: satu grup untuk absensi pembacaan Alkitab, dan satu lagi grup untuk diskusi bacaan hari itu. Itulah perkenalan pertama saya dengan grup ABA.


Buat Sobat IGNITE yang belum akrab sama konsep ABA alias 'Ayo Baca Alkitab', ini adalah sebuah disiplin sekelompok orang dalam satu grup WA yang berkomitmen bersama untuk membaca sejumlah pasal Alkitab tiap harinya. Ada yang menerapkan 2 pasal per hari, hingga 5 pasal per hari. Grup ini berfungsi sebagai wadah untuk saling mengabsen, sehingga semua yang sudah melakukan ‘tugasnya’ dapat melaporkan diri, kemudian direkap oleh admin tiap harinya. Sebagai pembaca Alkitab yang militan, ada jam deadline untuk lapor diri, dan status pembacaan kita pun dilaporkan secara terbuka oleh admin di grup sehingga ketika kita berada di posisi paling bawah, rasanya seperti… Kau tahu lah, rasanya.




Kebetulan grup ABA yang saya masuki ini tergolong cukup tinggi standarnya, dengan target membaca 5 pasal dalam sehari. Anggotanya sangat banyak, dan aktif juga berdiskusi di grup khusus pembahasan. Saya ingin menjadi seperti mereka, tapi makin hari saya merasa makin… kesepian.


Karena kesibukan pekerjaan, mengikuti disiplin rohani ini menjadi ‘target’ tambahan yang harus saya penuhi. Saya sering tertinggal jauh dan diingatkan admin, tentu dengan baik dan santun. Salah seorang member grup itu, yang mengenal saya pribadi, juga suka men-japri ketika saya terlambat lapor. Tentu ini sebuah aksi kepedulian bagi sesama anak Tuhan, berlandaskan kasih.


Membaca Alkitab terburu-buru demi mengejar ‘target’ jadi keseharian saya. Anehnya, makin hari saya tidak merasa makin dekat dengan Tuhan, tetapi justru makin teralienasi. Saya merasa ‘kesepian’ dan tidak dekat dengan Tuhan. Ah, mungkin saya terlalu baper. Saya keraskan tekad dan lanjut terus. ABA kemudian menjadi sebuah maraton, dan saya tidak punya endurance untuk menjalaninya. Namun dari kesaksian-kesaksian yang saya dengar, banyak orang terberkati dengan disiplin rohani ini— imannya bertumbuh, mendapatkan ‘pencerahan’ untuk pengambilan keputusan, merasakan komunikasi yang intens dan intim dengan Tuhan. Mengapa semua ini seperti tersembunyi untuk saya?


Terseok, saya melanjutkan rutinitas ABA seperti pekerjaan yang membebani. Dan rasa bersalah karena tidak achieve. Titik puncak kejengahan saya tak tertahankan ketika saya mendapat giliran menjadi admin yang mengabsen dan mengingatkan orang-orang (role ini memang dirotasi di grup tersebut). Getir sekali rasanya, harus mengingatkan orang-orang untuk menyelesaikan bacaannya di saat saya sendiri belum yakin dengan apa yang saya lakukan. 



Tren ABA terus berkembang dan menyebar di berbagai GKI di sekitar saya; di gereja saya, dan gereja orang tua saya yang akhirnya mulai kena demam ABA. 


Suatu hari saya pulang dari gereja, saya mendapati orang tua sedang bertengkar di rumah. Sebagai pengurus wilayah, mereka diminta menjadi penggerak grup ABA per wilayah, untuk kemudian ber-PA bersama sesuai bacaannya. Dalam rapat, ibu saya menolak ide itu - ya jelas, ia belum lancar menggunakan WA, masa kini ia harus menjadi admin grup WA? Tetapi, lagi-lagi dengan kekuatan ‘mayoritas’ - semua 14 wilayah di gereja tersebut sudah menyetujui akan memulai grup WA ABA, mau tidak mau wilayah ibu saya harus ikut. Dan ia pun kesal dengan ayah yang dari awal dengan mudahnya mengiyakan titah dari atas itu. Pada akhirnya bisa ditebak, dua orang baby boomer tersebut sangat kebingungan untuk menjadi admin grup WA. Lalu mulai saling menyalahkan. 


Jengkel dan frustasi, saya putuskan mencari kopi sejenak dekat rumah sambil mengecek hp. Alangkah terkejutnya,tanpa persetujuan saya, mendadak saya sudah diceburkan ke grup ABA gereja saya. Dan tanggapan pengurus ketika saya izin left? Saya diminta untuk tetap berada di grup dan dalam bahasa diplomatis yang super licin, diminta untuk‘berlagak membaca’ karena di grup tersebut banyak anak-anak Komisi Remaja yang memandang dan akan mengikuti saya sebagai salah seorang Kambing alias kakak pembimbing.   


And the madness continues….


***


Titik cerah itu datang di suatu hari Minggu, ketika seorang pendeta tamu dari GKI lain berkotbah di gereja saya. Saya telah mendengarnya beberapa kali di kelas PA, dan terkesan dengan tafsiran dan kecerdasan beliau.Ia punya kebiasaan yang sangat produktif, tiap pagi sharing renungan harian buatannya sendiri dengan bacaan Alkitab yang berbeda, melalui jaringan WA. 


Saya pun sharing mengenai kegundahan saya di grup ABA; dia menjawab dengan sangat santainya, “Oh… kalau saya sih baca Alkitab cuma satu ayat per hari.” Saya pun terkejut. “Tapi saya pakai Alkitab Bahasa Jawa, soalnya saya merasa diksinya sangat ‘kaya’.


Sambil saya masih termangu-mangu, ia meninggalkan sebuah tips bagi saya: “Coba deh, kamu bacanya satu ayat saja sehari, tapi pakai buku tafsir sebagai pendamping biar paham. Lebih baik kamu baca sedikit tapi paham, daripada 5 pasal tapi sekadar lewat.”


Saya pun memulai rutinitas baru, memutuskan untuk berjalan sesuai dengan ‘kecepatan’ saya sendiri. Ucapan sang pendeta juga itu membuat saya jadi ‘kepo’ dengan cara teman-teman lain mendekatkan diri dengan Tuhan, karena jadi makin paham bahwa banyak cara berbeda untuk berjumpa denganNya. Kadang ada yang merasakan kehadiranNya dalam angin topan yang kencang, ada yang dekat denganNya di sela angin sepoi. Contoh simpel, dalam hal berdoa saja. Ada teman gereja saya yang hobi senam pernapasan, namun di tiap tarikan dan hembusan, ia membatinkan Doa Bapa Kami sebaris demi sebaris. Teman lain ada yang Doa Bapa Kami tiap hari, tapi memakai Bahasa Aramaik. Teman gereja lain ada yang berdoa dengan menulis, ada yang berkomitmen untuk mengisi doanya hanya dengan ucapan syukur, dll. Sangat beragam.


Saya pun kemudian berjalan mencari rute saya sendiri. Sebagai orang yang hobi membaca, saya menemukan buku pendamping PA pribadi yang pas, dan saya putuskan untuk bergerak maju dalam membaca Alkitab sesuai dengan kecepatan saya sendiri, tanpa beban untuk bisa ‘khatam’.




Setiap orang punya jalannya sendiri berjumpa dan terkoneksi dengan Tuhan. Orang lain mungkin tidak nyaman berjalan dengan sandal saya, dan sebaliknya. Namun saya percaya, disiplin rohani dengan metode ABA pasti telah membantu banyak orang bertumbuh imannya.Tetapi tampaknya bukan ‘sandal’ yang tepat bagi saya. Karena ada banyak cara mengenal Tuhan. 


Tak lama setelah itu, saya pamit dari grup ABA. 
Dan itulah kali terakhir saya berurusan dengan grup ABA.
Saya kira. 

LATEST POST

 

Respons terhadap Progresive ChristianityIstilah progresive Christianity terdengar belakangan ini. Ha...
by Immanuel Elson | 19 May 2024

 “…. terpujilah kebijakanmu dan terpujilah engkau sendiri, bahwa engkau pada hari...
by Rivaldi Anjar | 10 May 2024

Tanpa malu, tanpa raguTanpa filter, tanpa suntinganTiada yang terselubung antara aku dan BapaApa ada...
by Ms. Maya | 09 May 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER