Apakah pertanyaan “Bila Allah ada, mengapa penderitaan ini ada?” yang mereka lontarkan juga bermakna sama dengan apa yang dipertanyakan para ateis baru? Saya meragukan itu.
Tidak hanya saat krisis COVID-19, di sepanjang zaman masalah penderitaan selalu mengundang respons. Itu lumrah dan itu akan berlangsung sampai dunia ini berakhir. Justru ketika sebuah komunitas berada dalam status quo, jarang sekali ada refleksi-refleksi tentang penderitaan. Cek saja sejarah.
Beberapa jenis respons bermunculan. Salah satu yang paling sering adalah usaha-usaha menjawab pertanyaan di mana Allah dan apa yang Allah sedang kerjakan ketika dunia sedang menderita—atau setidaknya ketika Anda menderita. Anda sering mendengar pertanyaan “If God, why evil” bukan? Dalam proses menjawab itu, seseorang bisa tiba pada beragam kesimpulan, seperti teodise greater good theory, penjelasan bahwa Allah adalah penyebab kedua (second cause), penghakiman Allah kepada manusia yang berdosa, argumentasi teologi proses tentang natur Allah yang berubah oleh karena ciptaan, atau berbagai jenis jawaban teologis lain yang berusaha mengukuhkan eksistensi Allah.
Tidak ada yang salah dengan upaya-upaya menjawab pertanyaan itu. Tidak juga menjadi fokus pembahasan saya tentang jawaban mana yang salah dan jawaban mana yang lebih benar—meski saya percaya ada jawaban yang lebih tidak benar ketimbang yang lain. Namun, yang menjadi fokus saya pada artikel justru adalah pertanyaannya. Saya tidak hendak menjawab pertanyaan “If God, why evil?,” melainkan mempertanyakan pertanyaannya. Jadi, bagi Anda yang merasa tidak akan mendapat apa-apa karena artikel ini bukan artikel apologetika, Anda boleh berhenti membaca.
Untuk menjelaskan maksud saya, saya akan mengajukan dua pertanyaan.
Pertanyaan pertama: akankah pertanyaan itu benar-benar mendapat jawaban mutlak? Izinkan saya bercerita sejenak. Saya tumbuh di sebuah gereja dan lembaga pelayanan yang membuat saya bergairah untuk belajar konsep tentang Allah. Buku-buku teologi dan apologetika adalah bacaan saya sehari-hari sebelum masuk seminari. Di tahun-tahun awal saya di seminari, saya berkenalan dengan tradisi teologi analitik (analytic theology)—dipengaruhi filsafat analitik (analytic philosophy). Tulisan dari tokoh-tokohnya ternyata sudah pernah saya baca sebelumnya. Tradisi teologi ini berupaya mendirikan koherensi logis atas keberadaan, natur, dan sifat-sifat Allah.
Dalam tahun-tahun pembelajaran itu, saya menemukan satu hal penting. Di setiap jawaban yang muncul, akan sangat mungkin ada pertanyaan baru yang mengkritisi koherensi yang nampaknya baru saja selesai dibuat. Dan ketika saya berusaha meneruskan derivasi dari jawaban sebelumnya, saya akan masuk ke dalam diskusi yang sifatnya derivatif juga. Mulai pusing?
Saya berikan contoh: “Lima Sahabat dan Gubuk Gelap.” Di satu malam di tengah hutan, saya dan keempat sahabat saya berada di depan pintu sebuah gubuk yang tidak berlampu. Betapa gelapnya gubuk itu sampai-sampai kami tidak bisa melihat apa saja barang-barang yang ada di dalamnya. Saya yakin ada sofa. Setelah sedikit berdebat, tiga yang lain se-iya, sedangkan yang satu tidak. Sembari mengintip dari luar, saya kemudian berkata, “Sepertinya ada dua sofa besar.” Dari antara ketiga orang yang tadinya setuju bahwa ada sofa, ada dua yang setuju bahwa ada dua sofa di dalamnya. Yang satu, setelah berdebat tentunya, mengatakan tidak. Dari pandangan matanya, hanya ada satu sofa.
Saya mencoba mengintip sambil menunggu pupil semakin membesar. Harap-harap saya bisa melihat lebih jelas. Tukas saya, “Sepertinya bila digabungkan, kedua sofa itu cukup untuk kita berlima tidur malam ini.” Dari antara kedua sahabat saya, hanya satu yang setuju. Yang satu lagi berkata bahwa salah satu harus tidur di lantai. “Meskipun keduanya digabungkan, tidak akan cukuplah.” Bagaimana dengan yang lainnya? Boro-boro setuju bahwa kedua sofa itu cukup untuk berlima, percaya bahwa ada dua sofa saja tidak. Yang satu lagi malah tidak percaya bila ada sofa. Nah, mulai paham dengan apa yang saya maksudkan?.
Ketika mencoba mengkoherensikan antara kepercayaan bahwa Allah ada dengan problema penderitaan dan kejahatan, atau ketika mencoba menjawab “If God, why evil?,” kita akan masuk dalam diskusi seperti ilustrasi tersebut. Setelah kesimpulan primer terjawab, kita akan menemukan inkoherensi di level sekunder. Setelah itu terjawab, kita akan menemukan inkoherensi lagi di level tersier. Sampai di titik manakah kita akan mendapat jawaban mutlak?
Beberapa waktu lalu, saya dan beberapa rekan dosen, misionaris, dan pengerja Gereja melakukan diskusi via telekonferensi (14/4). Kami mendiskusikan wawancara Stanley Hauerwas yang berjudul “Love, Suffering, and Theology.”[1] Topik itu relevan dengan situasi sekarang. Salah satu sahabat saya penginjil Nehemia Riggruben berkomentar, “Evil itu misteri. Satu jawaban konkret yang kita anggap konklusif jangan-jangan merupakan oversimplifikasi.” Entah dia mengutip dari mana. Haha.
Saya tidak hendak mengatakan bahwa mendiskusikan proposisi kepercayaan di level ke-3, ke-4, ke-5, dan seterusnya tidaklah penting. Namun, jika kita sadar bahwa kita masih sulit menemukan jawaban mutlak atas pertanyaan itu di masa-masa krisis ini, kita harus peka bahwa jangan-jangan kita sudah habis waktu memperdebatkan hal yang kurang penting dan kurang memiliki urgensi.
Pertanyaan kedua: apakah Anda yakin “Apakah Allah benar-benar ada?” adalah pertanyaan yang sesungguhnya? Is it the real question? Banyak yang mengatakan bahwa dalam sejarah abad ke-20, kebanyakan pertanyaan tentang “If God, why evil?” muncul karena kalangan ateis dan agnostis sudah kehabisan amunisi untuk menyerang kepercayaan tentang eksistensi Allah. Masuk akal juga asumsi ini, sebab Perang Dunia dan krisis global yang terjadi di masa itu memungkinkan para akademisi untuk mendiskusikan lokus baru. Bayangkan saja ketika Anda ratusan tahun berusaha mengkritisi keberadaan Allah Kristen dengan temuan-temuan ilmiah, historis, dan arkeologis, kekristenan menghadirkan amunisi yang juga tidak sedikit di meja perdebatan. Ratusan tahun kekristenan nampaknya bisa bertahan dari terpaan antitesis itu.
Lalu ketika perang dunia pecah, kelaparan terjadi di mana-mana, dan ketidakstabilan sosial-ekonomi melanda, para ateis dan agnostis seakan berkata: “Nah gini deh. Oke lah lu bisa bilang ‘Allah ada’ itu benar. Kalau ‘Dia ada,’ bagaimana dengan kejahatan dan penderitaan?” “If God, why evil?” Mereka seakan-akan menodong telunjuk kepada gereja sambil berkata, “Di mana Allahmu yang kamu anggap ada itu ketika penderitaan ini menimpa jutaan orang di bumi?” Kalangan yang mengusung pertanyaan ini kemudian disebut dengan “ateisme baru.” Dan pertanyaan itu nantinya kembali muncul ketika krisis-krisis selanjutnya melanda, termasuk ketika COVID-19 terjadi.
Namun, bagaimana dengan kalangan akar rumput? Bagaimana dengan jemaat awam yang selama ini percaya bahwa Allah terbukti ada karena point Grab-Gojek mencapai target? Bagaimana dengan mereka yang memulai hari dengan berdoa agar Allah memberikan berkat lewat pembeli dagangan kantin sembari berharap mahasiswa belum memasuki masa libur? Bagaimana dengan orang yang percaya bahwa Allah ada dan memberkati hidupnya lewat uang dan canda tawa yang dia dapatkan ketika memotong rambut pelanggan di ruang tamunya?
Apakah pertanyaan “Bila Allah ada, mengapa penderitaan ini ada?” yang mereka lontarkan juga bermakna sama dengan apa yang dipertanyakan para ateis baru?
Saya meragukan itu.
Mereka tidak butuh jawaban yang berupa rasionalisasi tentang keberadaan Allah. Mereka tidak terlalu memusingkan bagaimana mengkoherensikan dua proposisi, yakni antara “Allah ada” dan “penderitaan ini benar-benar terasa.”
Saya setuju bahwa ada sebagian orang yang memang benar-benar membutuhkan koherensi logis, entah dengan datang ke seminar, membaca buku, atau bertanya pada pendeta. Kita dituntut untuk peka melihat tipe orang seperti apakah yang sedang bertanya itu. Namun, sebagian orang lagi tidak demikian.
Mungkin, pikiran mereka sudah terlalu penuh oleh kekhawatiran akan hidup mereka. Mereka khawatir kehilangan anggota keluarga, khawatir karena orang tua mereka sedang dirawat karena positif, atau khawatir tidak bisa melanjutkan hidup karena orang yang benar-benar mereka kasihi diambil Tuhan secara mendadak. Mereka khawatir—dan bisa jadi sudah sampai titik putus asa—daya beli masyarakat yang turun drastis membuat mereka pulang dengan bakso dan mie yang masih penuh di rombong. Mereka khawatir tidak bisa makan esok hari. Mereka putus asa, sebab mencuri pun mereka tidak berani. Ketimbang pusing dengan eksistensi Allah, mereka sudah terlalu pusing dengan eksistensi mereka.
Atau, bagaimana dengan Anda yang sudah mulai lelah karena tidak menemukan gambaran besar dari peristiwa ini tetapi tetap sulit menyangkal keberadaan Allah? Saya yakin jawaban berupa koherensi logis tidak akan benar-benar memuaskan Anda bukan? Demikian juga dengan mereka.
Tunggu dulu. Saya tidak ingin menyangkal bahwa dalam situasi ini banyak orang bisa berubah menjadi ateis. Penderitaan memang bisa membuat rapuh diri seseorang, sampai-sampai menghujat Pribadi yang kepadanya selama ini mereka menggantungkan hidup. Namun, ancaman terbesar yang harus kita perhatikan bukanlah ketika mereka tidak mampu mengkoherensikan antara apa yang terjadi dengan fakta bahwa Allah ada, melainkan ketika mereka menjadi sangat rapuh sehingga berubah menyangkal apa yang mereka percayai selama ini.
Karena itu, saya mengajak Anda untuk memikirkan jawaban lain untuk mereka, sebab sejatinya bukan eksistensi Allah yang sedang dipertanyakan di balik lontaran pertanyaan itu. Eksistensi merekalah yang sedang terancam di masa-masa ini.
Saya mencoba mengusulkan pertanyaan baru, yang saya pikir dapat menjawab kekhawatiran tak terucap di balik pertanyaan yang terucap. Mungkin bentuk pertanyaannya jadi begini, “If evil, why God?” Refleksikan, mengapa Allah tetep menjadi satu-satunya jawaban dan pengharapan ketika mereka sedang mengalami penderitaan. Tolong mereka untuk tetap bertahan. Hadirkan pada mereka alasan-alasan yang membuat mereka tetap menjadikan Allah pegangan sekalipun mereka tidak mendapat penjelasan mengapa penderitaan ini harus ada. Bantu mereka berjalan setidaknya satu mil lagi.
(Bersambung…)
[1] “Love, Suffering, and Theology with Stanley Hauerwas,” kanal The Table | Biola CCT, 30 Mei 2017, diakses 14 April 2020, https://www.youtube.com/watch?v=2wM3v003pIw.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: