Berbuat baiklah bukan untuk dikenang orang. Namun berbuat baiklah karena esensi dari kebaikan adalah kebaikan itu sendiri. Apapun respon orang dan balasannya terhadap kebaikanmu, bodo amatlah dengan itu, janganlah dendam & menuntut balasan namun kasihilah mereka seperti yang diajarkan oleh Tuhan (im 19:18).
Kita pasti pernah berada di titik kekecewaan yang paling menyakitkan. Merasa sakit hati dengan perbuatan orang terdekat yang tidak pernah terlintas dalam pikiran kita, kalau mereka bisa menjadi orang yang paling membuat kita merasa paling terabaikan. Rasa ini biasa muncul ketika semua kebaikan yang pernah kita buat dibalas dengan dusta dan kemunafikan.
Akhir-akhir ini, saya tergelitik dengan topik yang sering menjebakku secara pribadi, dan saya percaya yang membaca tulisan ini pun pernah mengalami hal yang sama. Jujur, beberapa hari belakangan ini saya mengalaminya lagi, setelah saya bertarung dengan persepsi lama, bahwa ketika saya berbuat baik, suatu saat saya akan ditolong dengan kebaikan yang terbalaskan, sama berat dan bobotnya.
Kebaikan akhirnya menjadi sebuah investasi moral yang bisa kita tagih kapan saja. Sifatnya sedikit memaksa, dan kalau saja "Si penerima hibah/pinjaman" tidak mampu mengembalikan, kita kecewa setengah mati. Rumusnya sama seperti matematika jika dikalkulasikan. Hitung-hitungan hingga membentuk jumlah yang sesuai.
"Apa sih gunanya menjadi orang baik kalo dijahatin melulu?"
"Apa gunanya berbuat baik, jika dipandang sebelah mata dan dijahatin terus?"
"Sorry, saya fleksibel orangnya. Sikap saya ditentukan oleh Anda. Jika Anda baik, saya akan lebih baik. Jika Anda jahat, saya bisa lebih jahat."
Penggalan kata-kata di atas, mungkin pernah ada di pikiran kita. Alih-alih diperlakukan dengan baik, tapi ghibah dan pengkhianatan yang kita dapat. Itu juga pemikiran saya beberapa tahun yang lalu. Sempat survive sebenarnya tapi sekarang saya terjebak dalam proses perenungan panjang, "Apakah saya tetap berbuat baik terhadap orang yang ini, atau saya membatasi diri?"
Bila perlu, jadi orang yang tidak mengenalnya sama sekali dan menempatkan dia dalam posisi tidak enakan, serba salah, dan berpikir kalau saya sedang menjaga jarak , hingga suatu saat dia menyesal dan mengakui bahwa dia salah. Sebuah treatment psikis yang entah berhasil atau tidak, namun respons alamiah seperti itu pasti pernah juga menjadi senjata kita.
Sorry, mendramatisir keadaan bukanlah bakat saya sebenarnya. Tapi bagi siapapun, mengingat luka itu akan terasa perih memang. Hari ini saya dibawa ke pengalaman masa lalu, ketika saya mengambil keputusan bahwa saya bertanggung jawab atas kebahagiaan diri sendiri, dan orang lain hanyalah variabel yang tidak terikat. Mereka bukanlah penentu. Sejahat apapun yang mereka perbuat, sekali lagi saya bilang dirimu bertanggung jawab terhadap kebahagiaanmu sendiri. Mereka bukanlah variabelmu.
Telanjangilah luka-lukamu di kaki Tuhan, karena Dia yang tahu bagaimana caranya menyembuhkanmu. Jika kita tidak berhikmat, luka yang sebenarnya dalam proses menuju "kering", tentu bisa menjadi "basah" lagi. Ibarat terjatuh dari sepeda, lecet di kakimu itu tidak bisa langsung pulih. Dalam proses penyembuhannya, ada efek berupa stres mekanis yang menyebabkan rasa gatal.
Lantas, apa kita boleh menggaruknya?
Ignite People, berbuat baik bukan suatu hal yang baru. Anak sekolah dasar pun tahu bagaimana meminjamkan pensil ke teman sebangkunya. Jika hari ini kita masih terjebak bahwa berbuat baik agar dibalas dengan baik, renungkanlah. Apakah kita sedang menggadaikan harga diri kita?
Semua orang punya skala prioritas ketika mereka diperhadapkan dengan situasi sulit, dan mungkin saat itu kita bukan di ranting teratas untuk dipedulikan secara instan. Namun bukan berarti orang lain tidak mau menolongmu saat itu juga. Seperti quotes di sebuah film, bumi ini tidak hanya berputar untuk dirimu sendiri. Bersabarlah!
Jika hari ini kita disakiti oleh mereka, jangan cepat ambil keputusan untuk sakit hati. Sekali lagi, kita bertanggung jawab atas kebahagiaan dan kondisi hati kita. Jika kamu ingin menambah luka-luka, ya silakan.
Tapi ingat, semua orang pada dasarnya adalah petarung tangguh yang terus berlari menuju garis finish. Jika kamu hanya berfokus untuk jatuh dan bangkit, bisa jadi esok hari kamu tidak mempunyai tenaga untuk berdiri lagi.
Berbuat baiklah bukan untuk dikenang orang. Namun berbuat baiklah karena esensi dari kebaikan adalah kebaikan itu sendiri. Apapun respon orang dan balasannya terhadap kebaikanmu, bodo amatlah dengan itu, janganlah dendam dan menuntut balasan namun kasihilah mereka seperti yang diajarkan oleh Tuhan, seperti tertulis:
Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN. (Imamat 19:18)
Jika hari ini kamu tidak mampu berbuat baik karena keterbatasanmu, jangan hukum dirimu dalam perasaan bersalah.
Kamu tidak akan menjadi sampah jika direndahkan,
dan tidak akan menjadi langit bila ditinggikan.
Fokuslah dalam menebar kebaikan, bukan untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain.
Akhir kata yang ingin saya ungkapkan, berbuat baik dan menjadi bahagia adalah satu circle yang tidak terputus. Jangan tenggelamkan dirimu dalam kondisi terpuruk hanya karena kamu diabaikan setelah berbuat baik. Berbahagialah jika kamu digibahin karena itu. Atau mungkin tidak mendapatkan balasan yang setimpal dari perbuatanmu. Jangan pernah berekspektasi apapun. Kamu cukup berbuat baik, lupakan itu dan bahagialah. Kamu yang paling tahu bagaimana caranya membahagiakan dirimu sendiri. Untuk itu, jangan menarik kebaikan dari orang lain sebagai titik sentral dari kebahagiaanmu hari ini. Kristus memberkati kita.
With all my heart,
Rayn from @suaramaknarasa
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: