Respons yang terlalu gegabah membuat beberapa gereja saat ini telah mengganti salaman fisik mereka dengan model Namaste atau tangan di dada ala shingeki no kyojin.
Kemungkinan besar "salaman" atau "bersalaman" berakar dari bahasa Yunani yang artinya damai atau yang serupa dengan kata Shalom (Ibrani) yang berarti sejahtera. Orang Indonesia mungkin menyerap kata dasar "salam" dari bahasa Arab, dengan menambah akhiran "-an" menjadi "salaman" yaitu kegiatan saling salam.
Berjabat tangan merupakan bentuk salam dalam gerakan. Sama dengan mengangguk atau melambai. Kalau secara verbal, mungkin seperti berkata “hai”, “hallo”, “apa Kabar”. Selain itu ada banyak makna bersalaman, seperti mempererat hubungan persaudaraan, meminta maaf, perkenalan, berterima kasih, kesepakatan bisnis, ucapan kebahagiaan, penghormatan kepada yang lebih tua, saling mendoakan, dll.
Bersalaman adalah aktivitas bersentuhan yang sehat dan menenangkan. Bersalaman dapat merangsang perasaan untuk menanggapinya melalui pengaruh positif yang ditimbulkan melalui sentuhan terhadap sistem syaraf oleh kualitas frekuensi sentuhan. Di Alkitab, jabat tangan memiliki dua arti. Pertama, jabat tangan menjadi tanda peneguhan atau sesuatu yang serius. Dalam Kitab Yehezkiel 17:18 dinyatakan,
“Ya, ia memandang ringan kepada sumpah dan mengingkari perjanjian. Sungguh walaupun ia menyungguhkan hal itu dengan berjabat tangan, tetapi ia melanggar semuanya itu, maka ia tidak dapat luput.”
Dikisahkan bahwa Raja Zedekia, salah seorang raja Israel yang telah terikat dengan perjanjian Sinai antara Tuhan dengan umatNya menjadi tidak patuh pada Allah. Dalam kitab tersebut, jabat tangan menjadi tanda peneguhan akan suatu perjanjian yang dibuat. Kedua, jabat tangan menjadi tanda persekutuan atau persahabatan. Dalam Galatia 2:9, dituliskan
“Dan setelah melihat kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, maka Yakobus, Kefas dan Yohanes, yang dipandang sebagai sokoguru jemaat, berjabat tangan denganku dan dengan Barnabas sebagai tanda persekutuan, supaya kami pergi kepada orang-orang yang tidak bersunat dan mereka kepada orang-orang yang bersunat.”
Jabat tangan juga menjadi tradisi yang dilakukan umat Kristen sebagai "Salam Damai". Bahkan di GKI, dalam satu hari Minggu tiap anggota jemaat bisa bersalaman berkali-kali sejak sebelum sampai sesudah ibadah. Dan itu baik. Dalam sebuah artikel menarik, Majalah Pelangi GKI Serpong (edisi Juni-Agustus 2014), memberikan tips bersalaman yang baik dan sungguh-sungguh, atau disebut sebagai ‘Bersalaman dari Hati’.
Pertama, peliharalah kontak mata dengan orang yang kita salami. Dengan demikian ungkapan yang kita sampaikan bukan hanya dari genggaman tangan dan ucapan dari mulut tetapi juga ditunjukkan dengan tatapan mata. Kedua, bersalamanlah dengan genggaman tangan yang penuh untuk menunjukkan kesungguhan dan antusiasme. Ketiga, bersalamanlah dengan jarak yang cukup dekat untuk menunjukkan keterbukaan dan keakraban.
(Disajikan pada Seri Pembinaan Warta Jemaat GKI Sarua Indah, 3 Agustus 2014. Dikutip dari artikel Sudahkah Bersalaman dengan Sepenuh Hati, Majalah Pelangi GKI Serpong, edisi Juni-Agustus 2014, hal 64-65)
Publik Indonesia sedang digemparkan dengan isu Virus Corona yang mewabah. Berbagai penanganan dan pencegahan digalakkan untuk membatasi penyebaran penyakit ini. Salah satunya adalah larangan untuk kontak fisik dengan orang yang “diduga terjangkit” virus ini. Respons yang terlalu gegabah membuat beberapa gereja saat ini telah mengganti salaman fisik mereka dengan model Namaste atau tangan di dada ala shingeki no kyojin. Ya, salaman diangggap dapat menjadi sarana penyebaran virus paling efektif, sehingga dalam kekuatiran dan ketakutannya publik memutuskan suatu hal yang sebenarnya dapat mengubah suasana dalam nurani kekristenan.
Ingat kisah Yesus yang bukan hanya mengunjungi tapi bahkan memeluk dan menyembuhkan orang kusta? (Matius 8, Matius 26:6, Lukas 5:13, dst). Lalu bagaimana dengan kisah Bunda Theresa yang menghabiskan hidupnya dengan merawat ratusan ribu orang sakit kusta, AIDS, dan TBC di Calcutta India? Padahal baik zaman Yesus maupun Bunda Theresa belum ada penanganan medis maupun diagnosa yang semutakhir saat ini. Dalam salah satu penggalan sebuah lagu Hymne berjudul “The Summons” berkata demikian “will you kiss the leper clean, And do such as this unseen.” Sadar atau tidak kita bukan hanya sekali membaca ayat-ayat di atas, bahkan penulis yakin sudah berapa banyak versi lagu bertemakan kepedulian kepada orang yang “sakit” sudah kita nyanyikan. Bunda Theresa pernah berucap bahwa “Penyakit terbesar saat ini bukanalah penyakit lepra atau TBC, tetapi perasaan tidak dikehendaki. Kemiskinan yang terburuk adalah kesepian dan merasa tidak dicintai.”
Kuatir bukan ciri orang beriman, apalagi kuatir yang berlebihan, lebih-lebih sampai menimbulkan curiga, bahkan fitnah. Dalam Islam ada konsep "tawakal", singkatnya, berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan. Berserah kepada kehadiran Yesus dalam diri tiap manusia juga berangkat dari konsepsi yang sama. Islam secara etimologis juga berarti "ketertundukan". Kristen juga sama, umat "kristiani" yang tertundukan pada Sang Kristus, berserah diri, tertundukan, berarti tidak mendahului takdir-Nya, tidak kawatir akan hidup dan matinya, apalagi jika tindakan itu menjauhkan dari sesama.
"Yang paling dibenci Tuhan bukan tidak percaya Tuhan, tapi tidak percaya besok bisa makan apa tidak... itu kafir yang sesungguhnya" (Sujiwo Tejo)
Kalau takut tidak bisa makan aja tidak boleh, apalagi takut tertular penyakit, terus mati... padahal mati itu mutlak, takdir. Mengantisipasi boleh, tapi sewajarnya saja, dipelajari dengan seksama. Melarang bersalaman dalam tubuh gereja tak ubahnya melantangkan ketakutan dan kecurigaan dalam liturgis ibadah. Salaman yang sebelumnya sarat akan seruang perdamaian dihilangkan menjadi tatapan kecurigaan yang diliputi senyuman. Baru bersalaman saja kita sudah takut, lalu bagaimana kita yang dianggap sebagai pengikut Kristus ini dapat disebut layak sebagai orang Kristen?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: