Aku memang pernah gagal mengikut Yesus, tetapi lebih baik menjadi pengikut yang gagal daripada gagal menjadi pengikut—dua hal itu berbeda. Mengapa demikian?
Aku adalah seorang nelayan, berasal dari Kota Betsaida, daerah Golan yang terletak di tepi danau Galilea. Ayahku bernama Yunus. Namaku memiliki arti “batu karang”. Belajar untuk menjadi orang yang saleh dan berpegang teguh pengharapan pada Allah adalah penerapan dalam hidupku, walaupun aku tidak belajar secara formal mengenai hukum Taurat. Meskipun orang menyebutku saleh, tetapi di sisi lain aku memiliki sifat yang temperamental.
Aku adalah murid Yesus yang pertama dipanggil bersama dengan saudaraku yang bernama Andreas. Awal mulanya, Andreas bertemu dengan Yesus pada sebuah komunitas di Galilea, lalu mengikuti-Nya. Kemudian, dia berkata padaku, “Kami telah menemukan Mesias (artinya: Kristus) (Yohanes 1:41)." Tidak berhenti di situ, Andreas mengajakku untuk menemui Yesus, dan di situlah Yesus memanggilku menjadi murid-Nya (Yohanes 1:42).
Dalam urutan murid- murid Yesus, aku selalu disebut pertama kali, dan yah... aku termasuk akrab dengan Guruku itu. Menjadi salah satu murid-Nya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah untuk dilakukan, karena tugas utama yang harus dilakukan adalah memberitakan Injil mengenai Kerajaan Sorga—dan tentang diri-Nya yang adalah Mesias, Anak Allah yang hidup. Well, meskipun bukan seorang murid yang luar biasa, aku memiliki semangat tinggi dalam belajar, lho. Guruku adalah guru yang cerdas dalam mengajarkan berbagai hal pada kami. Dia banyak memanfaatkan tempat dan situasi untuk mengajari kami. Di kemudian hari, aku menjadi juru bicara dari kedua belas murid—salah satu hasil proses pemuridan yang Yesus lakukan.
Tapi bukan berarti semuanya semulus itu, kawan.
Photo by Justin Leibow on Unsplash
Sebagai murid yang taat, aku selalu siap diutus ke berbagai tempat. Seperti yang kukatakan sebelumnya, tugas utama para murid Yesus adalah memberitakan Injil ke semua orang—supaya semua orang percaya bahwa Dialah Anak Allah, Sang Penyelamat dan Sang Imanuel yang dinubuatkan para nabi (Yesaya 7:14, Mikha 5:1). Namun keteguhan pendirianku disentakkan oleh teguran keras Yesus, karena pada saat itu aku lebih mengikuti keinginan hatiku sendiri daripada kehendak Bapa-Nya (Matius 16:21-28). Kalau kamu belum tahu peristiwa lengkapnya, aku akan memberikan gambaran singkatnya: aku ingin agar Guruku itu tidak memikirkan hal-hal mengerikan. Well, siapa sih, yang berharap Guru yang dihormati orang-orang ini menanggung banyak penderitaan dari para petinggi agama dan dibunuh—meskipun Sang Guru berkata bahwa Dia akan dibangkitkan pada hari ketiga. Tapi ah... pada akhirnya aku menyadari apa yang dilakukan-Nya memang benar: Dia melakukan tugas-Nya dengan penuh ketaatan.
Bagai langit dan bumi dengan-Nya, aku cenderung sulit mengelola emosiku dan hanya “omong besar”. Selama ini aku mengira bahwa aku tidak akan kehilangan kesetiaanku pada-Nya, sampai suatu hari aku menyangkal Yesus saat Dia diseret ke Mahkamah Agama. Rasa takutku masih berlanjut setelah kebangkitan-Nya. Bersama dengan teman-teman, kami lari ketakutan dan mengunci diri, menghindar dari kejaran pemerintah dan pemuka agama. Alasan ini mungkin terdengar aneh di zaman ketika Kekristenan sudah menyebar seperti sekarang—karena pada saat kebangkitan-Nya, baik pemerintah dan pemuka agama menyebarkan isu bahwa kami telah mencuri tubuh Yesus.
Tanpa diduga, Yesus menampakkan diri-Nya beberapa kali kepada kami, para murid-Nya (misalnya Lukas 24:36-43, Yohanes 20:26-31, Matius 28:18-20). Salah satu momen yang paling berkesan buatku adalah ketika kami sedang sarapan bersama Yesus (Yohanes 21:15-19). Berikut cuplikan dari apa yang kami obrolkan:
Yesus: "Simon, anak Yohanes, apakah kamu mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?"
Aku: "Benar, Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau."
Yesus: "Gembalakanlah domba-domba-Ku."
Percakapan seperti ini berulang sebanyak tiga kali, dan itu membuatku sedih. Mungkinkah ini karena aku pernah menyangkali-Nya sebanyak itu juga (Lukas 22:61)? Entahlah. Jadilah aku menjawab,
"Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau." (Yohanes 21:17)
... dan Dia kembali berkata, "Gembalakanlah domba-domba-Ku."
Photo by Patrick Schneider on Unsplash
Aku memang pernah gagal mengikut Yesus, tetapi lebih baik begitu daripada menjadi pengikut yang gagal atau gagal menjadi pengikut—ketiganya adalah hal yang berbeda. Mengapa demikian? Pengikut yang gagal adalah yang sudah memutuskan menjadi pengikut tetapi dalam pertengahan jalan hidupnya ia mengalami kegagalan; sedangkan yang gagal menjadi pengikut adalah yang sama sekali tidak—atau belum pernah—menghidupi panggilan sebagai pengikut. Ironisnya, banyak orang berpikir bahwa lebih baik tidak menjadi pengikut sama sekali daripada harus jatuh ke dalam dosa. Padahal ini adalah pernyataan yang salah, karena menjadi pengikut Yesus bukanlah sesuatu yang mudah dan bukan berarti kebal terhadap dosa. Pengikut Yesus adalah orang-orang yang sedang berjuang menjadi seperti Yesus; artinya, mereka bukanlah orang-orang yang sempurna sehingga tidak dapat jatuh ke dalam dosa.
Back again to the story. Aku teringat pada peristiwa malam itu, di mana aku diliputi ketakutan yang sangat besar sehingga tidak mengakui Yesus sebagai Guruku—bahkan berkata bahwa aku tidak mengenal-Nya... sampai pada akhirnya Dia ditangkap. Setelah menyangkal-Nya, aku menangis tersedu-sedu saking menyesalnya. Bayangkan, aku yang selama ini selalu “bermulut besar” dengan mengucapkan hal yang muluk-muluk, ternnyata tidak mampu mempertahankan kesetiaanku pada Yesus—walaupun hati kecilku selalu ingin hidup setia kepada-Nya.
Namun karena kasih karunia Tuhan, peristiwa itu mengubahkanku. Setelah mengalami perjumpaan secara pribadi dengan-Nya di tepi Danau Tiberias, aku menjadi seorang yang bangkit kembali melalui pertobatan dan perbaikan hidupku dari hari ke hari. Tidak hanya itu, aku juga belajar untuk menjadi orang yang lebih gigih dalam melayani Tuhan dan jemaat-Nya melalui pemberitaan Injil (Kisah Para Rasul 2:14-40).
Sebagai penutup, aku ingin berpesan kepadamu:
Ketika kamu merasa ingin menyerah, ingatlah bahwa Yesus tidak pernah membuang kita karena kegagalan yang kita miliki; yang terpenting bagi-Nya adalah pertobatan sejati yang timbul dari tekad untuk berubah menjadi semakin serupa dengan-Nya... dan sekali lagi, itu semua hanya karena anugerah-Nya.
Namaku Simon Petrus, martir bagi Kristus di Roma, dan ini ceritaku.
Sebuah refleksi dari Resha Esy Pindaow Barus (@baruschacha)
Disarikan dari berbagai sumber
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: