Pada waktunya kelak, air bah akan surut, matahari akan bersinar kembali. Bertahanlah kawan!
Awal tahun 2020 sudah terdengar berita mengenai virus yang mewabah dari suatu kota di Cina yang saat ini terlihat seperti kota zombie bagiku. Setidaknya itu gambaran pertama yang muncul dari ingatan masa kecilku yang pernah melihat cuplikan dari sebuah layar televisi, cuplikan atas kakakku yang sedang bermain game PlayStation berjudul Resident Evil. Saat semua orang berubah menjadi zombie dan yang masih hidup "normal" berjuang agar tidak dimangsa dan berubah menjadi zombie juga, serta berusaha bertahan hidup hari demi hari dengan mempersiapkan bahan makanan dan persenjataan yang diperlukan.
Tentu yang terjadi dengan dunia saat ini berkaitan dengan Covid-19 tidak dapat disandingkan dengan perkara zombie, sekalipun fakta mengenai karantina atau isolasi membuatku merasa setiap pribadi di dunia ini hampir mirip seperti karakter para pejuang/pemain utama di Resident Evil tersebut.
Aku sendiri awalnya tidak pernah menitikberatkan perhatian bahwa virus itu ternyata menyebar dengan begitu cepat. Pertama kali kota Wuhan, Cina menorehkan sejarah sebagai identitas yang menyebarkan virus ini, namun kurang dari 3 bulan, seluruh dunia, termasuk Indonesia, saat ini ikut berperang melawan virus yang sama. Hari demi hari, media terus menampilkan informasi seputar virus ini. Mulai dari perkembangan jumlah yang terpapar, sembuh, dan meninggal, himbauan untuk terus menjaga kebersihan, aksi-aksi sosial untuk membantu kita semua memerangi virus ini, dari hal sederhana untuk membantu/mendukung staf, perawat, dokter di rumah sakit, hingga membelikan makanan bagi para driver online, atau beberapa instansi yang menyediakan tempat cuci tangan umum secara gratis, dan seterusnya. Bayangkan, ini terjadi di berbagai belahan dunia.
Bagaimana denganku?
Sebelum pemerintah Indonesia mengeluarkan anjuran social distancing #workfromhome #stayathome, pada dasarnya hampir seluruh anggota keluargaku memang sehari-hari stay at home. Mertuaku sudah sejak tahun lalu berhenti dari bisnis distro yang diproduksi dan didistribusikan sendiri di Pusat Grosir Metro Tanah Abang. Adik iparku sejak lulus kuliah sudah mengerjakan banyak bisnis sampingan secara online dan sudah wajar melihatnya di rumah setiap hari. Suamiku sendiri, menjalankan bisnis jaringan/Multi Level Marketing sejak lulus kuliah, sehingga tidak ada jam kerja yang rigid, selain membuat janji temu dengan prospek atau tim. Dan aku? Selain menjalankan bisnis bersama suamiku, hari-hariku hampir sebagian besar sudah habis untuk mengurus dan menemani si kecil. Jadi, kalau dilihat dari segi kehadiran di rumah, hampir tidak ada perubahan stay at home sebelum dan sesudah anjuran social-distancing. Kecuali, kehadiran keluarga adik iparku satu lagi yang memang dulu pernah tinggal bersama dan sejak mereka memutuskan sewa rumah, sesekali mampir dan menginap. Namun kali ini, mereka tinggal lebih lama, bersama dengan kehadiran 2 keponakanku, sehingga keluarga suamiku menjadi lengkap dalam satu rumah ini.
Lalu, apakah dengan demikian, kami semua mudah beradaptasi dengan perubahan dan fakta yang sedang terjadi?
Aku rasa kita semua tahu jawabannya. Absolutely tidak mudah.
Satu fakta menarik, bahwa sekalipun di rumah, setiap hari tanpa henti, kami menghabiskan uang secara terus-menerus. Setiap hari kami rutin membeli galon minum, tabung gas, stok makanan di kulkas, snack, buah-buahan, sekalipun kami masih memiliki telur 5 kg, ayam 7 kg, mi instan 1 dus, dan makanan lainnya di rumah. Kami sendiri tidak tahu apakah ini wajar atau tidak, namun kami terlihat sedang bertahan hidup dengan mempersiapkan bahan makanan setidaknya selama beberapa hari atau beberapa minggu ke depan, jikalau kami tidak perlu membuka pintu gerbang menghadapi "zombie-zombie" di luar rumah.
Fakta menarik lainnya, beberapa dari kami menjadi lebih sering belanja online, bangun lebih siang, dan menonton Netflix lebih sering. Aku sendiri jadi penasaran, apa yang sebenarnya kami semua lakukan sebelum program #stayathome ini. Apakah ini sudah kami lakukan tanpa disadari atau menjadi lebih sering sebagai bentuk adaptasi kami?
Photo by sanjiv nayak on Unsplash
Bentuk adaptasi lainnya, kami meminta Asisten Rumah Tangga (ART) kami untuk tidak masuk kerja, tetapi kami tetap memberi gaji separuhnya. Selain itu, kami yang biasanya menerima bantuan karyawan toko kelontong untuk mengantar gas dan galon air minum hingga lantai 2, saat ini kami batasi hanya sampai di depan rumah. Begitu juga penerimaan barang-barang belanjaan, kami segera membuang dusnya atau menyemprotnya dengan cairan disinfektan, bahkan satu rumah pun kami semprot cairan disinfektan.
Apakah ini berlebihan? Entahlah. Hal positifnya, setiap pagi kami jadi bergotong-royong untuk membersihkan rumah, menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, mengurus 3 anak balita, mengangkat galon, dan tentunya menjadi lebih sehat karena lebih sering bergerak.
Jadi, sekalipun secara kehadiran anggota keluarga di rumah terlihat sama, ternyata banyak hal yang sebenarnya berbeda. Dan dalam perbedaan itu, ada dua hal yang perlu terus-menerus kami kendalikan secara sadar dan sengaja, yaitu mindset dan sikap hati.
Sabtu pagi, tepat hari ke 13 #stayathome, dengan jam tidur yang lebih banyak dari jam tidurku, suamiku berkata dengan lesu, “Kenapa aku merasa begitu lelah ya, rasanya lebih bersemangat ketika aku seorang ekstrovert pergi keluar, bertemu dengan banyak orang?”
Aku terdiam, hampir ikut tidak bersemangat, lalu aku berpikir, dan menyuarakan hal ini, “Apa hanya orang ekstrovert yang suka pergi keluar, dan orang introvert harus di rumah?”
Aku mengingatkan suamiku untuk tidak mencari alasan/excuse (yang biasanya aku lakukan). Lelah atau tidak, semua tergantung dari diri sendiri. Sekalipun di rumah, banyak hal yang bisa dilakukan untuk tetap waras dan bersemangat, setidaknya bangun pagi, bergegas mandi, bermain dengan anak, membaca buku, berolahraga, meeting online, dan seterusnya. Aku bahkan menegurnya untuk segera mandi, sebagai bentuk pertentanganku terhadap mindset-nya, saat waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang.
Ibu rumah tangga lainnya juga pasti merasakan tidak banyak hal berbeda yang dilakukan hari demi hari dalam masa #stayathome ini. Namun, kita semua sangat teramat butuh mindset positif dan sikap hati yang tenang bahwa perang ini akan segera berakhir. Fakta bahwa virus ini ada dan menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk mungkin ke tetangga atau sanak saudara kita, tidak boleh melumpuhkan fakta dan harapan bahwa banyak juga yang sembuh. Toh, kita tidak berjuang sendiri, semua orang, tidak terluput dari status sosial, agama, jabatan, hingga presiden semua negara pun berjuang bersama-sama.
Pada akhirnya, mereka yang terkena virus Covid-19 bukanlah zombie yang tidak dapat sembuh.
Pada akhirnya, selalu ada final chapter, misi akan selesai, sekalipun harus ada nyawa yang dikorbankan.
Pada waktunya kelak, air bah akan surut, matahari akan bersinar kembali.
Darimana datangnya mindset positif dan sikap hati yang tenang itu?
"Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." Filipi 4:13
Keadaan tidak boleh membuat kita lupa akan penghiburan dalam Tuhan dan tidak memercayai pemeliharaanNya.
Bertahanlah kawan! (sambil self-talk)
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: