Mei adalah adalah Mental Health Awareness Month. Berikut adalah cara-cara sederhana untuk menjadi sahabat bagi mereka yang tinggal di dalam himpitan pikiran kelam dan gundukan luka—depresi, kecemasan, trauma, dan pergumulan kesehatan mental lainnya.
Di laci meja belajar saya, tersimpan puluhan eulogi* yang terlipat rapi di dalam amplop-amplop putih. Lusuh, karena sudah ditimbun begitu saja sejak delapan tahun lalu. Mereka otomatis menjadi harta karun di antara onggokan benda-benda kecil tak berkesan seperti peniti, jepit rambut, bungkus sedotan Chatime yang malas saya buang ke tempat sampah, sketsa-sketsa di kertas bergaris hasil kebosanan saat rapat gereja, struk belanjaan, bolpen dan spidol kering gara-gara tutupnya hilang, mentos aneka rasa yang sepertinya sudah lama kedaluwarsa, dan barang lain yang ditakdirkan untuk dilupakan.
Eulogi pertama saya ditulis saat saya berumur 14 tahun untuk sahabat yang meninggal karena bunuh diri.
Saya marah. Marah ke keluarganya yang menciptakan neraka sedemikian rupa di tempat di mana ia harusnya dapat pulang dan berteduh. Marah kepada teman-teman dan lingkungannya karena pelan-pelan membunuh sahabat dengan perkataan yang dipikir pakai dengkul. Marah ke diri sendiri karena saya mengabaikan miscallnya di siang hari itu, bahwa ternyata saya adalah orang terakhir yang ia coba untuk hubungi dan ia mungkin masih bernafas saat ini jika saya cukup berani untuk kehilangan lima menit kelas Sejarah demi mengangkat telepon darinya.
Hari itu, saya merasa bertambah umur empat puluh tahun. Tua, lelah, penat, berat, dan kekenyangan perasaan bersalah. Sejak saat itu pula, saya mulai menulis eulogi untuk orang-orang terdekat. Persiapan jika suatu hari tiba-tiba mereka dijemput Tuhan. Persiapan jika saya kembali gagal ‘menyelamatkan’ orang terkasih. Sebuah bentuk keegoisan mutlak, demi saya yang benci kejutan dan hal-hal lain yang terjadi tanpa aba-aba.
Di awal masa kuliah, saya didiagnosa Major Depressive Disorder dan Panic Disorder. Hal pertama yang refleks terucap kepada psikiater yang duduk di depan saya adalah, “Tapi aku aktivis gereja, dok.” respons yang keluar dari banjir perasaan bersalah yang tiba-tiba memenuhi kepala. Butuh bertahun-tahun terapi dan orang-orang yang mengasihi dengan luar biasa untuk kemudian berdamai dengan kondisi. Lalu, saya memutuskan untuk berdialog tentang kesehatan mental di media sosial. Dan datanglah kisah-kisah pilu dan setumpuk pertanyaan dari kawan maupun netizen yang tidak saya kenal.
Pertanyaan yang sering saya dapatkan adalah, “Steff, temanku bilang dia depresi dan mau bunuh diri. Aku harus apa?” Pernah berada di kedua posisi berbeda ini (ditinggal bunuh diri dan berpikiran untuk bunuh diri), mudah-mudahan memberikan saya cukup bekal untuk berbagi cara-cara kecil buat menjadi kawan bagi mereka yang hidup dalam himpitan pikiran kelam.
1. Listen and Believe
Orang yang bergulat dengan pikiran destruktif akan mengatakan (dan melakukan) hal yang mungkin buat kamu nggak masuk akal. “Aku ga punya tenaga buat bangun dari kasur” atau bagaimana ia terlihat terpuruk walaupun berkelimpahan materi. Ada yang sungguh-sungguh merasa diri buruk walaupun orang lain melihat dia sebagai sosok yang inspiratif. Bagaimana mereka bisa tampak begitu down saat lima menit lalu masih bisa ketawa-ketiwi. Respons otomatis pasti bertanya, “kamu kenapa?”. Namun, cobalah untuk selalu mengingat bahwa pertanyaan tersebut sepatutnya dilontarkan karena kamu peduli, nggak hanya sekadar penasaran, yang berarti respons berikutnya adalah belajar untuk percaya.
Karena saya tahu betapa sulitnya memahami kami. Sebuah tugas yang berat untuk merasionalisasi perilaku menyakiti diri oleh seorang rekan pelayanan yang dikenal ramah, atau bagaimana kawanmu yang biasanya ceria, bisa tiba-tiba histeris saat berada di tengah keramaian. Dan tak perlu memaksakan untuk paham kalau tidak pernah mengalaminya. Nah, jadi masalah saat kita meremehkan pain yang mereka alami.
Adalah pukulan bertubi-tubi, saat di tengah beratnya pertempuran melawan pikiran jahat, ia pun harus menahan rasa penghinaan dan bersalah dari stigma masyarakat, mulai dari kurang iman, kurang piknik, kurang bersyukur, banyak dosa, dan lainnya…
Ketakutan terbesar kami adalah jadi beban untuk orang-orang yang dikasihi. Sehingga saat kawanmu akhirnya berhasil merogoh keberanian untuk terbuka, sesungguhnya yang dibutuhkan hanya telinga untuk mendengar dan hati untuk menerima.
Memvalidasi pergumulannya, bahwa semua luka yang ia tanggung dan rasakan nyata adanya, bukan diada-adain, ataupun bentuk lebay belaka adalah langkah awal untuk membantunya pulih. “You’re not okay and I don’t understand your pain, but i’m here for you”.
Merayakan pencapaian-pencapaian seperti berhasil melewati semester perkuliahan yang berat, menyelesaikan deadline tepat waktu, bahkan yang sederhana seperti mencoba hobi baru, juga dapat mendorongnya untuk menjalani hari dengan positif.
2. Always Ask. Never Assume.
IntothelightID.org mencatat salah satu hal yang haram dilakukan kepada orang-orang dengan kecenderungan bunuh diri adalah melemparkan asumsi tentang mereka. Hal ini termasuk “meremehkan bahwa ucapan kematian, tidak ingin dilahirkan, merasa terperangkap, merasa tidak ada masa depan, atau hendak tidur selamanya sebagai ucapan yang main-main.”
Komunitas agama (surprise surprise) justru kerap menjadi "hakim" nomor satu. Asumsi-asumsi bahwa kami cuma butuh lebih banyak berdoa dan baca kitab suci membuat perilaku menyalahkan diri sendiri berkembang biak dengan liar. Komentar seperti itu yang dulu sering bikin saya marah ke Tuhan karena lha kayaknya saya sudah rajin berdoa, rajin pengakuan dosa, rajin pelayanan, tapi kok ya kepala ini masih berat dan gelap.
Nah, kawula muda, daripada berasumsi seenak hati, jauh lebih baik untuk bertanya, ya gak? Daripada berasumsi dia butuh lebih sering ke gereja, dicekoki comotan ayat alkitab, atau piknik, bertanyalah. Bertanya apa yang sebenarnya ia rasakan, bertanya apa yang sebenarnya ia butuhkan, “Do you want to talk about it? Would you like to go hang out with me? Do you need some space? Would you mind if I pray for you? How do I make you feel better?”
*Eulogi adalah pidato atau ucapan atau tulisan yang memuji atau menghormati seseorang, terutama yang sudah meninggal dunia
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: