Pertanyaan “Apa Urusanmu?” dalam Perjalanan Mengikut Dia

Best Regards, Live Through This, 24 January 2020
Ketika kita percaya bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya, seharusnya kita lebih mudah untuk mengingat bahwa bukanlah urusan kita tentang pilihan Allah dalam memberkati mereka.

Komparasi. Media sosial dan arus informasi yang serba cepat berbanding lurus dengan kecepatan kita melakukan perbandingan. Secara kualitatif ataupun kuantitatif. Misalnya kalimat “dia sudah sukses ya, ga kayak aku yang masih gini-gini aja” yang merujuk pada sebuah kualitas pencapaian dan jenis pernyataan semacam “wah dia sudah lunas dua rumah dan baru beli satu mobil baru,” yang erat dengan urusan angka atau barang yang mudah dihitung jumlahnya. Dalam survey #statusofmind di UK dan yang diikuti hampir 1500 pemuda usia 14-24 tahun, membuat sebuah konklusi: “Social media posts can also set unrealistic expectations and create feelings of inadequacy and low self-esteem.” Tiga hal yang disebut (tidak realistisnya ekspektasi, perasaan tidak setara, dan rendahnya nilai diri) dianggap sangat berkaitan dengan aktivitas media sosial.

Yaa.. sampai disana saya jadi makin yakin bahwa keluar dari media sosial khususnya Instagram akan menjadi sebuah solusi. Hingga di satu titik tepat saat saya sedang cuti Instagram, berlatar sebuah pertemuan kecil dengan teman-teman lama, sederet pernyataan tentang hidup orang lain mengalir tanpa saya minta. Bahan untuk melakukan komparasi menjadi melimpah, ibarat ragi yang mengembangkan adonan roti. Ujaran macam itu kerap mendengung suka ataupun tidak, dan membuat saya sadar bahwa cuti atau berhenti dari media sosial tak menjadi jaminan akan berhentinya proses membandingkan diri dengan segala gemilang pencapaiannya. Itu bukan sebuah solusi.


Photo by Ryoji Iwata on Unsplash


Kembali ke Akarnya

Media sosial terlalu sering dijadikan kambing hitam terhadap rasa-kurang-puas, komparasi, dan segala perasaan kurang bersyukur. Padahal dengan atau tanpa media sosial, pikiran macam itu dapat menyerang kapanpun.  Satu yang harus dibenahi tak lain adalah: sikap hati.

Alkitab mencatat sebuah potongan percakapan yang menarik dan membuat saya pribadi sangat tertegur. 

“Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: "Ikutlah Aku." Ketika Petrus berpaling, ia melihat bahwa murid yang dikasihi Yesus sedang mengikuti mereka, yaitu murid yang pada waktu mereka sedang makan bersama duduk dekat Yesus dan yang berkata: "Tuhan, siapakah dia yang akan menyerahkan Engkau?" Ketika Petrus melihat murid itu, ia berkata kepada Yesus: "Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?" Jawab Yesus: "Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku."

Di ayat 19, Tuhan menyatakan secara tersirat bagaimana Petrus –rekan bicaranya- akan mati di kemudian hari. Mengetahui hal itu jelaslah tak enak dan mengundang berbagai perasaan cemas. Bayangkan seseorang yang kita percaya dan “nubuatannya” selalu akurat tiba-tiba berkata bahwa kita akan menderita atau kita akan tertimpa musibah. Pastilah perasaan gusar berkecamuk dan salah satu cara yang dapat meringankan hal itu adalah memastikan kita tidak sendirian. Kita tidak menderita sendirian.

Sebutan “murid yang dikasihi Tuhan” tidak lain merujuk pada Rasul Yohanes sendiri. Dia menempatkan dirinya di Injil yang dia tulis sebagai murid yang dikasihi Tuhan.  Bukan karena dia lebih baik daripada yang lain, namun berkaitan dengan pengalaman hidup bersama Yesus dan dia menyadari akan kasih Tuhan yang begitu besar kepada orang berdosa. Secara sederhana Petrus bertanya “lalu bagaimana dengan nasib Yohanes? Apakah dia juga akan menderita dan mati?”



Photo by Daniel Garcia on Unsplash


Akui saja, sangat tidak menyenangkan untuk menderita ketika yang lain baik-baik saja, dan kerap dengan ceroboh dan tergesa-gesa kita berkata “ini tidak adil.” Mungkin di dalam hati Petrus yang terdalam ada siratan perasaan itu, sambil berharap tipis-tipis bahwa Yohanes juga akan menderita sebagaimana dirinya dinubuatkan.

Jawaban Yesus menjadi sangat menarik sekaligus lugas (di ayat 22) dan tidak terjebak untuk membocorkan rencana-Nya secara spesifik tentang orang itu, apalagi menjawab sekadar untuk memunculkan kondisi tertentu dalam diri Petrus (baik lega atau makin gundah). Dia menjawab: "Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku."

Setidaknya ada tiga penggalan kalimat yang perlu kita garis bawahi: “jikalau Aku menghendaki”, “itu bukan urusanmu”, dan “ikutlah Aku”.

Tiga penggalan itu digunakan untuk menjawab kegelisahan Petrus. Peringatan yang sama berlaku pada kita. Setiap kali kita tergoda untuk mempertanyakan berkat orang lain atau nyaris meratapi hidup yang seakan kurang diberkati, kita dapat menghardik diri sendiri dengan berkata “Jika Tuhan memang menghendaki. itu bukan urusanku. Aku akan tetap mengikut-Nya”


Bukan Urusan Kita

Meratapi berkat kita sendiri hanya karena kalah cemerlang dengan berkat orang lain adalah hal sia-sia. Sikap hati demikian membibit rasa iri, menyangkali kerja keras mereka di balik layar, membuat kita tidak mampu dengan tulus mengucapkan “selamat” untuk turut bersukacita dengan pencapaian orang lain, dan paling parah, membuat kita merasa berhak menggugat dan mempertanyakan Allah dalam memberkati masing-masing pribadi seturut kehendak-Nya.

Ketika kita percaya bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya, seharusnya kita lebih mudah untuk mengingat bahwa berkat orang lain tidak menjadi urusan kita. Bukanlah urusan kita jika orang lain mendapatkan kenaikan pangkat lebih cepat. Bukanlah urusan kita jika orang lain menjadi mapan atau menikah lebih awal. Bukanlah urusan kita tentang pilihan Allah dalam memberkati mereka.




Photo by Maik Fischer on Unsplash


Urusan Utama: Mengikut Dia

Sejatinya urusan kita adalah penggalan ketiga dari ayat 22 itu: “ikutlah Aku”. Mark Labberton dalam bukunya pernah mencatat satu poin penting bahwa setiap murid mengikut Yesus dengan cara yang unik sesuai dengan kehidupan mereka sendiri dengan tetap memiliki panggilan dasar yang sama. Ini adalah panggilan yang jelas dan tegas yang menjadi dasar bagi semua orang yang ingin menjadi murid Yesus. Menyadari hal ini harusnya menolong kita memahami bahwa dalam perjalanan iman kita sebagai sesama murid, satu sama lain akan memiliki ritme, cara, dan bentuk yang unik. Maka dalam mengikut Dia, tugas kita bukanlah saling membandingkan berkat dan anugerah, namun justru merayakan segala suka dan duka yang hadir. Dan itu sepaket dengan sebuah kerelaan hati untuk memuji-Nya dalam segala kondisi. Hingga akhirnya kita dapat berkata dengan lantang sebuah kalimat dari Habakuk 3:17-18:

“sekalipun pohon ara tidak berbunga (dan pohon ara orang lain berbunga lebat)

Sekalipun pohon anggur tidak berbuah (kalah jauh dengan pohon anggur orang lain)

Sekalipun pohon zaitun mengecewakan (di saat hasil pohon zaitun teman kita sangat menggiurkan)

Sekalipun ladang-ladang kita tidak menghasilkan bahan makanan, (tidak seperti ladang tetangga)

Sekalipun kambing domba terhalau dari kurungan dan tidak ada lembu sapi dalam kandang (padahal kandang dan kurungan milik sesama dipenuhi ternak),

Kita akan tetap berkata: “Aku akan bersorak-sorai di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.”


Selamat mengikut Dia.

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER