40 Hari Niat Baik: Apresiasi Yang Membuahkan Pertobatan(Part 1)

Going Deeper, God's Words, 11 April 2019
Memasuki masa Pra-Paskah, beberapa gereja membuat kalender 40 Hari Niat Baik. Kalender ini berisi imbauan bagi umat untuk melakukan satu tindakan kebaikan sederhana, masing-masing di setiap hari selama 40 hari.

Tindakan kebaikan sederhana tersebut berkaitan dengan kebaikan untuk diri sendiri, sesama, dan seluruh ciptaan. Contoh: membereskan rumah, membaca Alkitab, mentraktir seseorang dan mengajak berbincang, tidak menggunakan plastik sekali pakai, beribadah ke gereja, dsb. Bahkan ada gereja yang memasukkan tindakan menggunakan hak pilih di Pemilu 2019 sebagai tindakan kebaikan sederhananya di masa Pra-Paskah (karena tanggal 17 April masih masuk dalam masa Pra-Paskah).


Masa Pra-Paskah: Bertobat dan Mengarahkan Diri pada Allah

Mengisi Pra-Paskah dengan melakukan kebaikan-kebaikan sederhana merupakan tindakan yang menarik. Pasalnya, masa Pra-Paskah diperingati oleh gereja sebagai ruang umat untuk melakukan pertobatan. Masa Pra-Paskah dimulai dengan ibadah Rabu Abu. Dalam ibadah tersebut umat diingatkan bahwa dirinya adalah debu atau abu yang rapuh dan fana. Di dalam kerapuhan dan kefanaannya, manusia patut bersyukur karena Allah menerima dan mengasihinya dengan utuh. Cinta kasih dari Allah adalah anugerah yang sudah sepatutnya disyukuri melalui tindakan nyata dalam kehidupan manusia. Masa 40 hari dalam Pra-Paskah adalah ruang untuk berlatih mengarahkan diri kepada Allah.

Menjalani masa Pra-Paskah selama 40 hari dengan menghayati pertobatan bukanlah perkara sederhana. Umat Katolik telah lebih dulu terbiasa melakukannya. Dalam mengisi masa Pra-Paskah, ada dua hal yang dibiasakan oleh gereja Katolik kepada umatnya: berpuasa dan berpantang. Berpuasa berarti menahan diri untuk tidak makan dan minum selama waktu tertentu setiap hari kecuali hari Minggu, sedangkan berpantang adalah sebuah usaha untuk berhenti mengkonsumsi makanan/minuman tertentu atau tidak melakukan kegiatan tertentu selama masa Pra-Paskah. Biasanya makanan, minuman ataupun kegiatan yang dihindari selama berpantang adalah sesuatu yang sangat disukai atau yang kepadanya umat bergantung. Misalnya, Pantang merokok selama masa Pra-Paskah.


Photo by ZSun Fu on Unsplash

Berpuasa dan berpantang adalah salah satu upaya untuk berlatih mengarahkan diri kepada Allah. Dengan berpuasa atau berpantang, umat diajak untuk bertobat dan melepaskan diri dari nafsu kedagingannya. Hal itu bertujuan untuk membuat umat bertobat agar mengarahkan hati kepada Tuhan. Namun, tak mudah untuk melakukan hal ini. Ada banyak orang yang kesulitan melakukan puasa dan pantang di masa Pra-Paskah. Ada banyak faktor yang mempengaruhi, seperti kesehatan, pola hidup, ataupun pekerjaan yang tidak memungkinkan seseorang untuk melakukannya.

Lalu, apakah orang-orang yang tidak mampu berpuasa dan berpantang di masa Pra-Paskah adalah orang-orang yang tidak dapat bertobat? Apakah orang-orang yang berhasil berpuasa dan berpantang selama 40 hari kemudian adalah orang-orang yang pasti telah bertobat dan mengarahkan hatinya pada Tuhan? Bukankah banyak juga orang yang menjadi sombong dan semakin mengarahkan dirinya kepada diri sendiri karena merasa punya kerohanian yang lebih baik dari orang lain? Pertobatan memang tak sekadar berwujud puasa dan pantang yang sering dimaknai secara pasif. Pertobatan semestinya mewujud dalam tindakan. Oleh karena itu, baiklah kebaikan-kebaikan sederhana selama Pra-Paskah dimaknai sebagai perwujudan dari pertobatan umat, sejauh memang dimotivasi oleh niat untuk mendekat pada Allah.


Photo by Ben White on Unsplash

Belajar dari Pertobatan Zakheus?

Salah satu cerita pertobatan yang mewujud dalam tindakan adalah kisah pertobatan Zakheus, sang kepala pemungut cukai berbadan pendek. Bagaimana pertobatan Zakheus berawal? Ada satu sisi cerita yang patut dipertimbangkan, yaitu bahwa pertobatan Zakheus diawali dari apresiasi. Orang dapat bertobat karena dipaksa, diatur, diwajibkan, atau sekadar menjalankan disiplin rohani. Hal yang wajar-wajar saja. Namun, ada orang-orang yang bertobat karena rasa syukurnya. Zakheus adalah salah satunya. Ia merasa diterima oleh Yesus. Ia merasa diapresiasi oleh Yesus. Dari situlah cerita itu berawal.

Kita tahu, sebagai pemungut cukai (apalagi kepala pemungut cukai), tak mudah menghadapi gunjingan serta penilaian orang-orang sekitar. Kebanyakan akan memandang negatif, menolak, menghakimi pemungut cukai. Zakheus sadar akan keberadaannya yang rawan dipandang negatif. Pekerjaan Zakheus sebagai pemungut cukai membuatnya dicap sebagai orang berdosa. Ia mengambil pajak yang berlebihan dari orang lain. Ia merugikan dan menindas orang lain. Namun demikian, perjumpaannya dengan Yesus mengubah hidupnya. Yesus tidak mengatakan penghakiman apapun. Yesus tidak mengungkap perintah atau hukum apapun. Yesus justru menyapa, “….hari ini aku harus menumpang di rumahmu.” Ketika banyak orang menghindar dan menolak Zakheus, ada Yesus yang menerimanya. Tindakan Yesus ini dapat dimaknai sebagai sebuah apresiasi terhadap orang yang paling mudah dihakimi sekalipun.


Photo by Arnaud Jaegers on Unsplash

Apresiasi yang Yesus berikan pada Zakheus mengingatkan saya pada suatu pendekatan dalam mengembangkan organisasi yaitu pendekatan Appreciative Inquiry (AI). AI merupakan sebuah pendekatan untuk mengembangkan suatu kondisi atau organisasi dengan cara memusatkan perhatian pada potensi/kekuatan/hal positif yang ada pada kondisi atau organisasi tersebut. AI dapat dijelaskan dengan kata kerja to appreciate (menghargai) dan to inquire (menyelidiki, meneliti). Seperti tertulis pada buku Pemberdayaan Diri Jemaat dan Teologi Praktis Melalui Appreciative Inquiry (AI) oleh J.B.Banawiratma, AI merupakan usaha untuk menemukan dan menghargai hal-hal positif yang ada pada kelompok atau organisasi. Selain pendekatan ini, ada pendekatan yang lebih dulu dikenal yaitu pendekatan problem solving, yakni memusatkan perhatian pada masalah yang muncul di suatu kondisi atau organisasi. Masalah tersebut kemudian dicari akarnya dan diselesaikan dengan mencari solusi dari permasalahan tersebut. Sedangkan AI memusatkan perhatian pada kebaikan dan potensi.


Catatan Editor: Seperti apa persisnya kita bisa mempraktikkan AI dalam pelayanan dan pekerjaan sehari-hari, terutama di masa Pra-Paskah ini? Cek lanjutan artikelnya di sini.


Penulis oleh Ester Novaria


LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER