Hai, perkenalkan namaku Boy, pria berusia kepala dua, yang tinggal di sebuah kota besar di Indonesia.
Aku lahir dari keluarga Kristen, yang cenderung aktif melayani di gereja. Masa kecilku dan saudaraku kerap diwarnai oleh kesibukan orang tua yang meninggalkan kami oleh karena pekerjaan dan pelayanan. Dengan pergaulan masa kecil, yang jarang dikontrol oleh orang tua, sangat mungkin kami mengenal hal-hal yang kerap dianggap tabu oleh sebagian besar orang Kristen: SEKSUALITAS.
Kata tersebut tidak pernah diajarkan oleh orang tua kami – bahkan hingga dewasa sekarang pun hanya terucap larangan “Jangan!” – atau mungkin oleh sebagian orang tua Kristen. Namun derasnya arus informasi, tak bisa dipungkiri, anak-anak berusia SD pun bisa mempelajarinya melalui jalur non-pendidikan, yaitu pornografi.
Bak Hawa yang mengambil buah pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, saudaraku yang lebih dulu mengenalnya lewat komik porno, hentai. Awalnya aku hanya melihat ia membaca, dan aku bertanya, “Komik apa tuh?” Ia pun menjawab, “Oh, baca aja.” Aku pun ikut membacanya dan perlahan memahami pola tubuh lawan jenis dari gambar-gambar tersebut. Dengan semakin intensnya membaca komik tersebut, nampaknya bukan hanya semakin tahu, namun ada nafsu yang menjalar, dan melakukan apa yang disebut masturbasi, sebelum batas usia wajar.
***
Beranjak memasuki bangku SMP, aku makin mengenal dunia pornografi secara audio visual. Sekali lagi, bukan aku yang mencari, namun aku diperkenalkan oleh teman-temanku. Bermula dari ajakan untuk kerja kelompok di rumah teman, di kala orang tua temanku juga pergi bekerja, ia mengambil koleksi video porno orang tuanya dan kami pun nobar. Kami hanya tertawa atau mengeluarkan sumpah serapah melihat adegan demi adegan, namun ketika pulang dan tidur di kasur atau memasuki kamar mandi, mungkin kami – atau hanya aku – yang masih terbayang-bayang.
Di penghujung SMP dan juga memasuki masa SMA, mungkin aku termasuk cowok yang masih 'cupu' dibandingkan teman-teman lainnya. Masa tersebut, banyak teman-temanku yang berpacaran dan berlaku mesra dengan pasangannya. Tak hanya bergandengan tangan atau berpelukan, ciuman liar kadang tak sungkan dipertontonkan di hadapan umum. Bahkan untuk golongan sekolah elit, aku sendiri merasa heran, banyak diantara mereka yang bangga sudah melakukan hubungan intim bahkan membuat video, dengan kualitas 3gp kala itu. Entah menjadi Boy, sang cowok ‘cupu’ kala itu memalukan atau membanggakan, hahaha…
***
Rekor cowok ‘cupu’ yang hanya bisa menyimpan video porno di laptop pun berakhir. Ketika memasuki bangku kuliah, aku mengenal seorang perempuan yang termasuk barisan primadona kampus dan berhasil berpacaran dengannya. Singkat cerita, mungkin seperti kebanyakan anak muda yang sedang dimabuk cinta, kami pun yang sedang berada di 'puncak' menikmati asmara dengan bersetubuh.
Tahun pertama dan kedua dalam berelasi, kami relatif intens melakukannya. Tak ada yang kami salahkan dari hal tersebut, karena kami berpikir bahwa kami melakukannya dengan rasa suka-sama-suka dan siap bertanggung jawab. Hingga tahun ketiga, aku merasa relasi kami harus berubah; melakukan hubungan intim terus-menerus adalah hal konyol, pikirku. Namun tanpa aku inginkan, perempuan tersebut justru melakukan dengan pria lain dan aku mengetahuinya setelah lewat beberapa bulan.
***
Aku pun berpikir, “Apakah memang perempuan lebih menginginkan pria yang ‘nakal’ dibandingkan pria yang berlaku baik?”
“Apakah lebih baik aku kembali menjadi pria brengsek saja?”
“Toh aku juga sudah terlanjur ‘kotor’.”
Aku yang merasa dirinya ‘kotor’ pun mengenal perempuan yang juga ‘kotor’ dan butuh teman yang menyembuhkan traumanya dalam berelasi. Kami pun berelasi, melakukan hubungan intim dengan perasaan suka-sama-suka. Dalam kondisi yang berbeda kota dan jarang bertemu, aku pun hanya bisa menumpahkan hasratku melalui video porno serta membeli sex toys, dengan harapan aku tidak bermain dengan perempuan lain sembari menanti bisa bertemu dengan perempuan itu lagi. Namun harapanku untuk mempertahankan relasi hingga jenjang pernikahan kembali hancur, perempuan itu pun pergi dan sudah menikmati relasi dengan pria lainnya.
Selama beberapa bulan diriku sempat depresi karena relasi yang berakhir tersebut. Pikiran dan perasaanku telah berusaha merelakan kepergian perempuan tersebut, namun nampaknya tubuh manusiaku yang ‘kotor’ ini masih menyimpan kuat memori hubungan intim yang menyenangkan. Hal yang aku bisa lakukan hanyalah ‘self-service’ terus-menerus.
***
Boy, sang pria ‘kesepian’ ini pun akhirnya mengenal seorang perempuan baru, jatuh cinta dan menjalin relasi. Berbeda dengan perempuan lain, ia ingin dirinya melakukan hubungan kudus tersebut setelah menikah dan ia ingin aku juga belajar hidup kudus sebagai orang Kristen. Aku pun tak bisa dan tak akan memaksa, karena aku memahami hubungan seks terjadi karena kesepakatan bersama.
Masalah pun terjadi, yaitu memori tubuh yang menginginkan kenikmatan hubungan badan namun komitmenku yang menjaga pasanganku. Sempat terpikir olehku, “Apakah aku mengalihkannya pada perempuan lain saja?” Namun sisi hatiku yang lain berujar, “Cobalah setia terhadap pasangan yang kamu cintai dan komitmenmu bagi Tuhan.”
Pertentangan tersebut terjadi dalam diriku, antara memori tubuh yang sangat bernafsu dan komitmen hati. Hal ini berdampak pula pada fisikku, mulai dari pusing kepala, badan yang terasa merinding, dan berbagai hal lain yang aku rasakan selama berhari-hari. Aku mengetahui, yang terjadi padaku adalah dosa yang telah menumpuk.
Aku pun memutuskan untuk melawan memori tubuh yang kecanduan. Aku memilih menjaga komitmenku walaupun tubuh mengalami rasa sakit. Segala hal berbau pornografi dan sex toys aku singkirkan, aku berdoa terus-menerus agar tidak melakukan hubungan intim selain dengan pasanganku setelah kelak dikuduskan, dan aku menyampaikan secara terbuka dalam komunitas rohaniku.
Dalam ketidaksempurnaan hidupku, aku mendapat banyak pembelajaran. Mulai dari bahaya pornografi bagi ingatan manusia, terlebih di usia dini; pentingnya pendidikan seksualitas yang terbuka dan tepat oleh keluarga; dampak hubungan seksualitas pada memori tubuh; betapa bernilainya memiliki komunitas yang mau mendengarkan, memberikan dukungan dan mendoakan; serta belajar berkomitmen pada Tuhan dan cinta yang ia berikan dalam hati kita.
Bukan proses yang cepat tentunya agar mentalku bisa kembali pulih, bahkan mungkin aku butuh ke psikolog / psikiater jika gangguan kejiwaan ini semakin kuat. Namun aku bersyukur dalam kondisi yang rapuh ini, aku masih diterima oleh beberapa sahabat, pasanganku, dan oleh Tuhan.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: