一生奉獻 一生不回頭 (Yi Sheng Feng Xian, Yi Sheng Bu Hui Tou) (I give my life, never turn away)
(Sekuel sebelumnya bisa disimak di sini)
ZRASSHH… ZRASSHH… ZRASSHH…
Aku menelungkupkan kepala dengan malas-malasan sambil mendengar suara hujan yang tidak kunjung reda. Sejak memasuki bulan “Ber-ber” seperti Desember ini, cuaca makin sulit ditebak. Paginya cerah, siangnya bisa hujan petir, sore berangin, dan malamnya cerah hening seolah-olah tidak ada apa-apa sebelumnya. Ah, kalau cuaca saja tidak bisa ditebak, bagaimana dengan manusia?
Sambil mengusap mataku yang sembab, aku mengingat perkataan keras dari Kak Denzel di telepon semalam.
“Ngapain aku usahain ini dan itu kalau kalian aja malah bikin gosip tentang aku?”
Aku tahu bahwa Kak Denzel sedang mengomel tentang rekan-rekan kerjanya yang menggosipkan dirinya karena dianggap tidak mengusahakan adanya cuti untuk liburan akhir tahun ini. Sebagai seorang guru sekaligus wakasek, Kak Denzel memikul tanggung jawab yang besar karena para guru mengharapkannya untuk menyampaikan usulan agar mereka bisa cuti sejenak setelah pengambilan rapot siswa. Apalagi beberapa guru masih dalam suasana berduka karena kematian yang terjadi akhir-akhir ini, mulai yang berasal dari keluarga mereka bahkan siswa di sana. Namun…
“Minimal bilang terima kasih, kek. Apa kek. Aku udah usahain biar mereka seenggaknya bisa libur tiga hari full. Eh, malah padha ngelunjak. Katanya masih kurang! Malah ada yang mau pergi wisata rame-rame padahal masih pandemi gini. Emangnya mereka ga mikirin kalau aku juga mikirin mereka!? Aku malah dibilang nyebelin dan sok ngatur… Padahal kalau mereka mau nerima keputusan dari kepala sekolah, kan, kondisinya ga akan sekacau ini. Toh beliau kasih tanggal 31 buat libur, karena emang sekolahan masih sibuk banget, dan beliau nggak mau nambahin kerjaan buat tahun depan. Gara-gara mereka protes, aku juga yang kena marah beliau.”
“Kamu butuh orang yang seenggaknya bisa menghargai dirimu, kan?” tanyaku begitu ada kesempatan.
“Hah, udahlah.” Kak Denzel mengembuskan napas dengan kesal. “Mereka ga ada bedanya sama orang-orang yang nggak tahu pendidikan. Capek ngomongnya. Malah makan ati. Apanya yang bisa ngajarin banyak hal, tapi sendirinya nggak menghidupinya? Ngapain ngajar kalau di belakang malah nggak bisa jadi contoh buat orang lain? Hahaha.”
“Kak, you are hurt, and it’s painful. I can feel it…”
“Kamu nggak tahu apa-apa, Win!” selanya. “Aku capek dengan orang-orang yang bilang, “Aku tahu rasanya. Pasti sakit.” Enak banget bilangnya, seolah-olah perasaanku sama kayak mereka! Padahal mereka aja nggak bener-bener kenal aku! Kalau kayak gitu, ngapain aku peduli sama mereka!”
Aku tidak ingat apa yang terjadi setelah itu selain meledaknya tangisanku di telepon, tapi samar-samar aku mendengar permintaan maaf dari Kak Denzel, dan berakhirlah pembicaraan kami dengan menggantung.
Sejujurnya, sangat sulit bagiku untuk bisa memaafkan orang yang berkata-kata dengan keras—apalagi kasar—seperti itu. Padahal, di dunia ini, hanya Kak Denzel yang bisa aku percayai. Aku tidak akan bisa percaya lagi pada Papa yang berselingkuh dan membawa pasangan serta anaknya ke rumah, sedangkan Mama pun telah tiada karena serangan jantung yang mendadak tahun lalu, tepat sebelum pandemi muncul di Indonesia. Walaupun punya sahabat, tapi aku tetap tidak bisa berbagi secara terbuka mengenai perasaan dan pikiranku yang terdalam. Mana ada orang yang mau menerimaku sebagai seorang Winona tanpa melihat masa laluku yang diwarnai dengan kekerasan fisik dan verbal, bahkan oleh mantan pacarku sendiri? Dan sekarang, Kak Denzel, saudaraku satu-satunya, justru menorehkan luka yang masih aku obati.
Apakah memang tidak ada bagiku tempat untuk pulang?
Apakah aku harus menjadi Winona yang mengenakan topeng di depan orang lain, dan baru melepaskan ketika sendirian?
Apakah aku tidak layak untuk dicintai dan diterima—luar dan dalam?
我屬於祢 祢是我永遠的福分
(Wo Shu Wu Ni Ni Shi Wo Yong Yuan De Fu Fen)
(Lord, I am Yours, You are my portion evermore)
只想日夜在祢殿中獻上敬拜
(Zhi Xiang Ri Ye Zai Ni Dian Zhong Xian Shang Jing Bai)
(Every night and day, here in Your court, I worship)*
Dering HP-ku membuyarkan lamunanku, dan layarnya membuatku tercengang ketika menyadari bahwa Kak Denzel meneleponku. Oh, ayolah… aku lagi nggak mau dikerasin, desahku dalam hati.
“Halo?”
“Win, kamu di asramakah?”
Pertanyaan apa ini? tawaku sinis. Aku, kan, nggak bisa pulang untuk Natal tahun ini. Kalaupun bisa, aku udah nggak punya rumah lagi.
“Menurutmu sendiri?” tanyaku balik.
Bukannya menjawab pertanyaanku, Kak Denzel justru berkata, “Aku ada di depan gerbang, nih.”
“HAH? KOK, BISA?”
“Nanti aku ceritain, ya.”
KLIK.
Aku segera berganti baju, lalu menuju ke pintu gerbang asrama, dan… akhirnya aku melihat Kak Denzel, orang yang sudah hampir dua tahun tidak kutemui sejak pandemi tahun lalu.
“Kak Denzel?”
Cowok itu menoleh sambil tersenyum canggung. Di tangan kirinya ada satu totebag dari toko kue favoritku, sementara tangan kanannya menggenggam payung.
“Kok, kamu bisa nyampe ke sini?” tanyaku langsung.
“Tadi aku abis nengok guru yang lagi sakit di deket sini. Terus, aku mikir mau sekalian ketemu kamu buat ngelurusin masalah kemarin. Oh, iya. Ini cheesecake buatmu.”
Oh, baiklah. Kalau dia masih mau tetap ngotot bahwa dirinya yang benar dan aku yang salah karena tidak mengenalinya dengan baik, sebaiknya aku segera kembali ke kamar saja.
“Maaf, ya, Win.”
Maaf? batinku tidak percaya.
Bagaimana tidak? Selama 24 tahun hidup, tampaknya baru kali ini aku melihat ada cowok yang benar-benar menyatakan permintaan maafnya dengan sungguh-sungguh. Sorot mata Kak Denzel penuh penyesalan, dan intonasi suaranya lebih rendah daripada biasanya. Beda sekali dari yang selama ini aku ingat dari Papa yang tidak pernah meminta maaf atas perselingkuhannya yang mengecewakan Mama dan kami, begitu pula dengan mantan pacarku yang (sepertinya) hingga detik ini masih merasa bahwa aku berhak menerima kekerasan sebagai bentuk “kasih sayang dan kepeduliannya”, tanpa menyadari bahwa kondisi mentalku justru makin hancur.
“Maaafkan aku karena semalam aku melukaimu dengan perkataan kalau kamu nggak mengenalku. Padahal… mungkin sampai sekarang, cuma kamu yang mau mengenal dan menerimaku sebagai kakakmu—bahkan saat aku hampir nggak ada keinginan untuk hidup lagi.”
Aku ingat ketika Kak Denzel pernah menyatakan keinginannya untuk bunuh diri ketika Mama meninggal dan Papa sama sekali tidak memedulikan kami sebagai anak-anak kandungnya. Bahkan dia sudah tahu akan melakukan apa untuk mengakhiri hidupnya, tetapi tiba-tiba dia menghentikan niatnya.
“Aku nggak bisa bayangin kalau aku beneran mati, karena mungkin nanti… aku bakal jadi orang yang paling nggak bisa kamu percayai,” katanya saat itu.
Sekarang, Kak Denzel yang sama memperjelas perkataannya, “Aku nggak mau kamu jadi sendirian dan nggak punya termpat untuk pulang, Win. Dulu aku gagal melindungimu dari pukulan Papa saat mabuk. Aku juga nggak ada di dekatmu waktu mantanmu memaki-makimu. Sebenarnya aku nggak mau jadi kayak mereka, tapi… ternyata semalam aku mengulanginya lagi. Aku sama aja bejatnya kayak mereka.” Terdengar tawa sedih di sela-sela ujarannya.
Padahal sebenarnya Kak Denzel juga sudah berulang kali berusaha melindungiku ketika Papa mabuk atau mengamuk karena pekerjaannya, meskipun harus berakhir dengan lebam di sekujur tubuhnya (dan aku tidak luput dari pukulan beliau). Dia pula yang mendorongku untuk segera mengakhiri relasi yang penuh kekerasan verbal (dan sesekali ada pukulan maupun tamparan), karena tidak ingin aku terjebak dalam pernikahan yang kacau seperti Mama. Aku yakin bahwa Kak Denzellah yang lebih menderita dibandingkan diriku.
“No, they are not your fault totally, Kak,“ balasku sambil memeluknya. “Aku memaafkanmu.”
Sebodo amat dengan physical distancing, tapi aku tidak ingin Kak Denzel makin menyalahkan dirinya sendiri karena “kegagalannya” sebagai seorang kakak di hidupku. “Aku tahu dan lihat kalau Kak Denzel mau melindungiku. Kakak nggak sepenuhnya gagal, kok…”
Mendengar perkataanku, Kak Denzel pun menangis dan memelukku. Awalnya terasa canggung karena sudah lama kami tidak memeluk dengan erat seperti ini, tetapi makin lama aku bisa merasakan bahwa bebannya mulai berkurang, apalagi setelah dia berkata, “Sampai aku punya keluarga sendiri, kayaknya cuma Winona aja yang jadi rumahku…”
“Tapi kita sama-sama terluka, Kak, dan kita nggak bisa mengobati luka ini sendirian,” selaku. “Aku juga bisa aja melukai Kak Denzel, tapi aku nggak mau kita biarin aja luka ini lewat. Karena kalau gitu, seberapa banyak pun orang yang sebenarnya bisa hadir sebagai rumah, kita nggak akan pernah puas.”
“Gitu, ya?” gumamnya, lalu berpikir. “Hmm… kayaknya kamu bener, Win. Kita butuh bantuan.”
Aku mengangguk. “Mau, nggak, Kak Denzel konseling bareng aku?”
Tawaran itu membuat Kak Denzel membelalakkan mata. “Serius, nih?”
“Iya…” jawabku dengan ragu-ragu. “Maksudku konseling sama konselor atau psikolog…”
“Astaga, Win. Kamu tahu, nggak?” Kak Denzel melepaskan pelukanku, dan sambil menghapus air matanya, dia melanjutkan, “Beberapa hari ini aku mikir kalau aku butuh bantuan buat bisa mengontrol emosiku. Kamu tahulah kalau kita dibesarkan dalam keluarga yang keras, kita bisa jadi orang yang sama kerasnya atau malah menarik diri, dan aku nggak mau kayak gitu. Aku mau jadi cowok yang bisa punya peran yang sehat, entah untuk jadi kakak buatmu, suami buat calon istriku nanti, dan ayah buat calon anak-anakku… yah, walaupun sampai sekarang aku masih belum tahu mau nikah sama siapa, sih…”
“Ehehehe… bagus, dong, Kak,” aku tertawa kecil. “Mungkin kita harus pulih, atau seenggaknya mulai berjuang pulih dulu, sebelum ketemu sama orang yang tepat. Ya nggak, sih?”
“Iya. Itu juga yang aku pikirin akhir-akhir ini,” jawabnya. “Tapi bukan berarti kalau udah pulih, kita langsung dapet pasangan. Hahaha… Terserah Tuhan ajalah, kan, Win, Dia mau kasih kapan ke kita?”
“Setuju.” Aku tersenyum. “Jadi, Kak Denzel mau konselingkah?”
Dia mengangguk. “Kabarin aja nanti kira-kira bisa konseling dengan siapa atau di mananya, ya. Biar aku bisa bikin appointment di sana.”
“Oke!”
“Win, can I hug you once again?” Tiba-tiba Kak Denzel bertanya dengan ragu-ragu.
“Hmm… why not?”
“Siapa tahu kamu takut kalau aku kena virus…”
“Haiyaaa, tadi aku juga nggak nanya dulu, sih, kamu ada gejala sakit atau nggak, Kak… Hahaha… boleh, deh. Sebelum nggak tahu lagi kapan kita bisa ketemu, kan?”
Kami pun berpelukan dengan erat, dan out of nowhere Kak Denzel mengusap kepalaku lalu berkata, “Makasih, Winona… karena kamu udah jadi adik yang suportif buatku. Pasanganmu nanti pasti bersyukur banget karena bisa mengenal dan berelasi sama kamu.”
“He’em… Kita berjuang pulih sama-sama, ya, Kak.”
Mungkin benar bahwa aku tidak bisa mengharapkan orang lain untuk menjadi rumah yang sempurna, tetapi setidaknya dengan pemulihan yang masih akan terus dijalani, aku berharap suatu hari nanti kehadiranku bisa menjadi rumah bagi mereka yang mencari tempat untuk pulang.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: