Tidak heran pada masa pandemi ini, banyak orang yang lebih sering mengapresiasi pencapaian atau keadaan orang lain daripada mengapresiasi pencapaian atau keadaan diri sendiri.
Pagi itu, aku hendak berangkat ke gereja dan melihat ada yang berbeda dari helm papaku. Ada stiker bertuliskan “Syukuri Apa yang Ada Itulah Bahagia”.
Aku yang penasaran pun akhirnya bertanya, kenapa papaku membeli dan menempelkan sticker itu di helmnya. Lalu papaku menjawab, “Supaya kamu, atau mamamu, atau siapapun yang membaca stiker ini, mengingat untuk selalu bersyukur, dan tidak lupa untuk bahagia atas apapun yang dimilikinya.”
Karena tak jarang sekarang banyak orang yang berputus asa karena memberi standar dirinya agar seperti orang lain dan mulai sibuk hingga melupakan kebahagiaan mereka. Bahkan lebih parahnya, mereka lupa untuk bersyukur atas banyak pencapaian di hidupnya.
DI masa pandemi ini, selain sibuk dengan padatnya kuliah online dan tugas, banyak waktu yang kita habiskan untuk men-scroll media sosial, untuk hiburan ataupun kepentingan lainnya. Namun, tak jarang saat kita melihat media sosial seperti TikTok, Instagram, Facebook dan media sosial lainnya, menjadikan kita insecure. Insecure atau perasaan minder atau bahasa sehari-harinya “tidak pede” atau percaya diri, muncul setelah kita melihat teman kita, baik fisiknya maupun pencapaiannya. Hal itu membuat kita melupakan diri kita dan bahkan merasa kecewa pada diri kita sendiri karena kekurangan kita.
Tak jarang kita bertanya, “Aku mah apa, kalau dia sudah pasti bisa dia kan pandai?” atau yang paling sering dijumpai “Aku ingin seperti dia, tapi aku bisa apa?”
Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang terbersit. Kadang terlalu sering melihat media sosial membuat kita semakin membandingkan diri kita dengan teman kita. Sampai-sampai akhirnya kita berusaha sama seperti teman kita, berjuang supaya bisa mengerjakan apa yang teman kita kerjakan. Pertanyaannya, ketika kita sudah bisa mencapai atau menjadi sama seperti teman atau siapapun itu yang membuat kita terobsesi padanya, “Apakah kita bahagia?”
Ketika kita bisa menjadi sama seperti teman kita, harapannya kita akan merasa lebih bahagia, tapi rupanya kebahagian yang kita rasakan itu adalah kebahagiaan yang semu. Di saat kita bisa menyamai teman kita, mereka juga sudah berkembang lagi dan membuat pencapaian yang baru lagi. Hal itu akan terus terjadi dan ketika kita melihat itu akan membuat kita lebih putus asa karena merasa tidak pernah bisa menjadi seperti mereka.
Ignite People, sadarkah jika kadang kita seperti itu? Kita tidak akan pernah merasa puas atau yang ada justru kita akan semakin putus asa dan insecure. Namun, pernahkah kita berefleksi dan melihat sejauh mana kita berkembang dan bertumbuh sejak kita kecil?
Sebenarnya banyak perkembangan dan pertumbuhan yang kita alami, dari saat kita kecil. Yang awalnya tidak bisa membaca jadi bisa membaca, dari yang awalnya tidak bisa berjalan menjadi bisa berjalan, dan masih banyak perkembangan dan petumbuhan lainnya. Langkah atau pencapaian kita memang berbeda dengan teman-teman kita, bagi kita teman kita itu sangat pandai atau sangat bahagia dengan banyak pencapaian atau keadaannya, namun kita tidak pernah melihat mungkin saja, mereka juga belajar mati-matian, atau berbagai usaha lainnya sebagai bagian dalam proses mereka..
Mungkin yang lebih tak terduga, mereka melihat kita enak-enak saja, melihat kita sebagai orang yang hidupnya sungguh rileks dan membahagiakan. Kalau kata dalam bahasa jawa kita akan mendengar istilah kata urip iku sawang sinawang, yang berarti hidup itu saling melihat. Kita bisa melihat orang lain hidupnya enak, orangnya pandai, hidupnya bahagia. Bisa juga orang lain melihat kita hidupnya rileks dan bahagia.
“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” (1 Tesalonika 5:18)
Seperti kutipan Alkitab di atas, kita diingatkan untuk selalu bersukur dalam segala hal, karena itulah yang kehendaki-Nya bagi kita, bukan memandang atau membandingkan pencapaian atau diri kita dengan teman kita. Dengan mencoba mensyukuri setiap langkah dan perubahan yang sudah kita lewati, kita patut bersyukur, karena masih diberi hari baru, kesempatan yang baru.
Apalagi dalam masa pandemi ini, kita biasanya mengeluh karena padatnya kelas dan tugas yang semakin hari semakin bertambah. Namun, pernahkah kita bersyukur sudah diberi kesempatan untuk bisa melalui semua ini? Jika belum, mari kita mencoba berefleksi bersama dan mensyukuri setiap kesempatan yang Tuhan beri. Kebahagiaan berasal dari diri kita, tidak perlu kita sulit-sulit untuk berpura-pura bahagia, karena kebahagiaan bisa kita dapatkan saat kita mau tau dan mensyukuri apapun yang ada pada diri kita.
Tidak heran pada masa pandemi ini, banyak orang yang lebih sering mengapresiasi pencapaian atau keadaan orang lain daripada mengapresiasi pencapaian atau keadaan diri sendiri. Kita selalu membanding-bandingkan yang semua hal itu akan berujung pada keputusasaan saja atau bisa juga kebahagiaan semu. Mari dalam masa pandemi yang kita harapkan bersama agar cepat selesai ini, menjadi momen yang pas untuk kita bisa mengapresiasi diri kita dan pencapaian yang sudah kita lakukan, tanpa membanding-bandingkannya dengan orang lain. Karena perjalanan atau pencapaian orang berbeda satu sama lainnya. Janganlah kita membanding-bandingkan hal itu, karena semua orang punya prosesnya masing-masing.
Seperti pada stiker di helm papa saya, mari kita mensyukuri apa yang ada; apa yang terjadi; pencapaian yang kita miliki, mari kita mengapresiasi diri kita yang sudah berjuang sampai dengan saat ini, karena itulah kebahagiaan yang sebenarnya. Di saat kita bisa bertumbuh dan berproses tanpa harus fokus membandingkan diri dengan orang lain. Kita bisa menciptakan kebahagiaan kita dari hal-hal yang sederhana. Saya percaya, kita mampu mewujudkannya jika kita benar-benar fokus dan berproses sesuai porsi kita. Untuk semuanya, saya dan kalian yang membaca tulisan ini, jangan lupa bersyukur dan berbahagia. Tuhan memberkati .
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: