Bukankah pencarian pasangan hidup seharusnya menjadi pencarian penuh penantian akan seseorang yang dengannya kita dapat menjalankan misi Allah dan berbagi kasih Allah?
Bukankah pencarian pasangan hidup seharusnya menjadi pencarian penuh penantian akan seseorang yang dengannya kita dapat menjalankan misi Allah dan berbagi kasih Allah?
Hidup di tengah derasnya perkembangan teknologi masa kini, mungkin menjadi tantangan tersendiri bagi kita. Tak dapat dipungkiri, peran sosial media menjadi semakin besar dalam membentuk cara pandang kita terhadap berbagai hal. Tak terkecuali relasi kita dengan pasangan, dalam hal pernikahan misalnya. Coba lihat saja, betapa media sosial yang sudah menjadi makanan sehari-hari kita menumbuhsuburkan fantasi dan ekspektasi kita terhadap suatu pernikahan—menciptakan hiperealitas yang sesungguhnya tak lebih penting daripada janji suci pernikahan itu sendiri. Jujur saja, siapa yang tak tergiur untuk menggelar pernikahan mewah ala selebriti, memiliki foto-foto lamaran yang romantis, memakai gaun pengantin rancangan desainer ternama, dirias oleh makeup artistkenamaan, atau melakukan foto pre-wedding kekinian di negara Sakura atau pekarangan Menara Eiffel?
Lalu mendadak semua teman dan kenalan seakan berlomba-lomba menggelar pernikahan, mengejar target kapan akan melamar atau dilamar—bahkan mereka yang masa pacarannya masih dapat dihitung dengan jari tangan dalam bulan. Lalu muncul pertanyaan skeptis, “Apakah sebenarnya mereka-mereka ini sudah siap untuk menikah, atau kini menikah hanya menjadi sebuah tren?”
Bukan mendiskreditkan, kuantitas memang tak selalu menjamin kualitas. Namun, tak dapat dipungkiri, waktu merupakan salah satu teman terbaik untuk menguji sebuah hubungan. Perasaan jatuh cinta atau kasmaran pada awal hubungan tentu tak dapat menjadi tolak ukur yang tepat untuk menilai sebuah hubungan. Karena tak ada awal sebuah hubungan yang tak indah, maka penilaian kita terhadap pasangan pun tak dapat didasarkan pada masa-masa yang sangat menggetarkan hati tersebut. Lalu pertanyaannya, apakah pernikahan pada zaman kini sudah terdegradasi dari sebuah janji kudus menjadi sebuah ajang pemenuhan kepuasan mental semata?
Photo by Alvin Mahmudov on Unsplash
Plato, kita, dan romansa masa kini
“Sudah punya pacar belum?”, “Kapan menikah?”, “Sudah dilamar?” pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin sudah terlalu sering kita dengar—baik serius maupun basa-basi semata, terlontar pada setiap acara kumpul keluarga maupun temu kangen antar kerabat. Tak sampai disitu, pertanyaan pun akan berlanjut, “Siapa calonnya? Kerjanya dimana? Kedudukannya apa?” Dunia ini kerap menganggap bahwa menemukan pasangan hidup adalah sebuah keharusan—sebuah pencapaian menuju keutuhan hidup, sebuah tolak ukur yang mendefinisikan diri seseorang.
Konon, menurut Plato, pada mulanya manusia merupakan makhluk androgini. Diciptakan dengan dua jenis organ seksual, dua wajah, empat tangan, dan empat kaki. Keberadaan keturunan ‘ras super’ yang utuh ini mengancam para dewa, hingga pada akhirnya Zeus mengambil sebuah keputusan. Ia kemudian membelah manusia menjadi dua bagian untuk membuatnya menjadi lebih lemah. Manusia yang terbagi dua ini menjadi menderita dan merindukan pasangannya yang hilang untuk bersatu kembali. Dari sinilah muncul konsep ‘belahan jiwa’ atau ‘soulmate’ yang dikenal dunia sekarang.
Allah, kita, dan konsep diri yang utuh
Percakapan pertama saya tentang konsep pasangan rasanya bermula saat saya duduk di bangku SMP. Saat itu banyak teman-teman saya yang mulai berpacaran, lalu dalam seketika, rasanya pacaran menjadi ‘tren’. Dan selayaknya sebuah tren, saya yang waktu itu belum pernah pacaran jadi bertanya-tanya juga seperti apa sih rasanya pacaran. Sebuah kalimat dari seorang teman pada jam istirahat siang waktu itu masih membekas dalam ingatan saya hingga sekarang, “Lucu sih, gue dapat pacar justru di saat gue lagi nggak mikir mau pacaran”.
Waktu itu saya tak terlalu menanggapinya, sementara sebagian diri saya menganggap pernyataan tersebut aneh. Baru beberapa tahun setelahnya, setelah saya duduk di bangku kuliah, saya memahami perkataan tersebut. Saya mulai berpacaran justru di saat pacaran mungkin menjadi concern terakhir saya. Saya mulai dekat dengan seseorang justru saat saya sedang giat-giatnya ‘mencari Tuhan’.
Sebuah buku yang saya baca kala itu terus-menerus menekankan Matius 6:33, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”
Photo by Kristina Litvjak on Unsplash
Satu hal menarik yang saya pelajari adalah, sementara dunia ini menganggap bahwa terpisahnya kita dengan manusia lain adalah kelemahan, Alkitab justru mengingatkan bahwa sumber kelemahan kita sesungguhnya berasal dari keterpisahan kita dengan Allah oleh dosa. Dan pengorbanan Yesus di kayu salib yang memperdamaikan kita dengan Allah membuat kita menjadi utuh sebagai manusia.
Pernikahan memang merupakan hal yang indah—bahkan suci dan agung, namun identitas rohani kita sebagai anak Allah tentu lebih penting. Oleh karena itu, bukankah pencarian pasangan hidup seharusnya menjadi pencarian penuh penantian akan seseorang yang dengannya kita dapat menjalankan misi Allah dan berbagi kasih Allah?
Photo by rachael crowe on Unsplash
Hubungan kita dengan pasangan seharusnya memperkaya kita secara rohani. Memang akan ada banyak masalah, sakit hati, kebingungan, frustrasi, keraguan, namun hubungan yang didasarkan pada kasih Allah akan sanggup melewati itu semua. Hubungan yang berpusat pada Allah seharusnya dapat menghidupkan semangat. Bayangkan menghabiskan hidup kita bersama seseorang yang memiliki misi yang sama dengan kita, berbagi memori dan momen menyenangkan dan menyebalkan bersama seumur hidup, berdoa bersama, melayani Tuhan bersama, bergumul dan bertumbuh bersama. Menyenangkan? Tentu! Jika kita mau mencari Allah lebih dulu.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: