"Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih." -1 Korintus 13:13.
Saya yakin jangankan di level Presiden Joko Widodo, seluruh lapisan masyarakat juga sudah cukup pusing menghadapi dampak dari pandemi ini. Seolah tantangan ini datang dengan tiba-tiba, serta berkembang dengan sangat pesat. Berbagai upaya dilakukan oleh penentu kebijakan, mulai dari menabuhkan genderang peperangan hingga ajakan berdamai, tentu dengan perhitungan dampak keuntungan dan kerugian yang sudah dipikirkan masak-masak.
Saya terkejut dengan pesatnya kesadaran dan perilaku kesehatan masyarakat kita yang secara signifikan makin melek kesehatan, dari perilaku hidup bersih dan sehat, menggunakan masker untuk sehari-hari, mencuci tangan, hingga istilah desinfeksi yang sudah tidak asing lagi. Hal ini merupakan sisi baik di tengah isu-isu yang hanya menjual keresahan. Istilah The New Normal oleh pemerintah sendiri mengacu pada perubahan perilaku kita dalam menghadapi pandemi ini, dalam fase-fase tertentu yang ditetapkan secara bertahap.
Iman
“Faith is prior to understanding,” artinya orang beriman melihat sesuatu melebihi dari penglihatan matanya, dan bukan “Kalau saya melihat, baru saya akan percaya”. Iman tidak hanya soal percaya, namun juga ketaatan. Pada masa-masa awal pandemi, terasa sangat sulit bagi para tenaga kesehatan untuk melakukan pelayanan secara berkualitas karena krisis alat pelindung diri (APD) yang terjadi secara global, ditambah dengan panic buying dari beberapa pihak. Apakah hal ini menghentikan kita dari panggilan pelayanan, dan membuat kita hanya kabur & mengurung diri di kamar?
Tidak, beberapa bahkan menggunakan jas hujan sebagai alternatif; dengan bermunculannya gerakan dari pemerintah untuk memproduksi lebih banyak APD serta dari masyarakat dan berbagai organisasi untuk mengumpulkan dan mendistribusikan APD, kini APD mulai terdistribusi dengan baik, masker medis juga tak lagi langka.
Di tengah masyarakat, iman secara eksplisit ditunjukkan dengan ketaatan pada kebijakan-kebijakan yang ditetapkan dalam penanggulangan pandemi. Kekhawatiran akan ada, namun sedekat-dekatnya bahaya, Allah selalu lebih dekat untuk menjaga. Di dalam krisis dan kesulitan, alangkah baiknya iman kita menengadah ke atas.
“If you failed to look around, now look upward.”
Pengharapan
Beberapa tahun yang lalu, dalam tugas jaga malam saya, polisi mengantar seorang pemudi ke Instalasi Gawat Darurat dengan patah tulang terbuka serta luka hebat pada kaki kirinya akibat kecelakaan lalu lintas. Dalam kasus limb threatening, maka tindakan yang dilakukan jika tidak memungkinkan untuk menyelamatkan ekstrimitasnya adalah menghindari pasien jatuh dalam kondisi life threatening. Dengan perhitungan Mangled Extrimity Severity Score (sebuah skoring penilaian secara objektif untuk menentukan apakah trauma pada ekstrimitas perlu dilakukan amputasi atau tidak) yang mengindikasikan amputasi, serta didukung dengan kesimpulan dari analisa kondisi pasien secara menyeluruh, singkat cerita setelah pasien dan keluarga setuju, malam itu saya melakukan operasi emergency amputasi pada kakinya. Sejak pertama kali datang, hingga beberapa hari perawatan, saya tidak melihat satu pun senyuman menyimpul dari wajahnya. Dengan pendampingan psikiater sebelum dan sesudah operasi, pemudi tersebut juga ditangani dengan diagnosa gangguan penyesuaian serta depresi.
Beberapa bulan kemudian, saya bertemu dengannya di lorong rumah sakit, namun kali ini penampilannya berbeda. Ia berdiri menggunakan kaki palsu dan tersenyum lebar. Setelah menyapa dan memulai obrolan, ia bercerita bahwa masa-masa terberatnya adalah beberapa bulan pertama, saat dia tidak bisa menerima kondisinya yang mengalami disabilitas secara tiba-tiba, namun hal-hal berangsur berubah akibat pendampingan dan dukungan keluarga dan kerabat serta harapan untuk bisa beraktivitas mandiri, hingga pada akhirnya dia bisa kembali bekerja. Menurut Kublerr-Ross grief cycle, saat saya berjumpa dengannya di lorong rumah sakit adalah fase acceptance.
Tidak seperti bencana, pengharapan tidak datang tiba-tiba, butuh proses, pemupukan iman, dan ujian yang kadang tidak mudah. Dalam hubungannya dengan produktivitas hingga harapan hidup, orang yang menghadapi masalah dengan optimis, scientifically proven memiliki outcome yang lebih baik dari mereka yang mudah putus asa. Jadi memang benar, Hati yang gembira adalah obat bukan?
Kasih
Tidak akan pernah datang, waktu yang tepat untuk mementingkan diri sendiri. Jika membuka sosial media atau membaca media massa, muncul perasaan kecewa pada beberapa orang yang secara egois melanggar aturan-aturan pemerintah dengan tujuan mengedepankan kepentingan tersiernya. Hal ini tidak hanya meningkatkan resiko penularan antarindividu, namun juga bisa mengancam sistem kesehatan yang berjalan.
Kasih menuntut pengorbanan, termasuk kepentingan pribadi, dalam hal waktu, tenaga dan hal hal yang diberi tanggung jawab kepada kita. Tidak perlu menunggu kaya untuk memberi, tidak perlu bergelar sarjana untuk mengajar. Setiap kita bisa menunjukkan kasih dalam rupa dan upaya yang spesifik dan unik. Di tengah pandemi, kasih menjadi soal ujian yang paling sulit. Namun tidak dibenarkan untuk tidak menjawab.
Akhirnya iman, pengharapan dan kasih, biarlah tetap menjadi hal normal dan bukan sesuatu yang baru bagi orang percaya, di tengah dinamika perubahan dan tantangan new normal.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: