(Belajar) Menunggu dengan Percaya

Best Regards, Live Through This, 13 May 2020
“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11)

Teringat kembali tahun 2015, saat ayahku harus menerima diagnosis penyakit langka yaitu “Trigeminal Neuralgia”. Gejalanya adalah merasakan seperti “kesetrum” yang sangat hebat di daerah pipi dan sering kali terjadi dalam jangka waktu yang panjang dan lama. Papaku hanya bisa meraung kesakitan dan tak jarang sampai mengeluarkan air mata karena kesakitannya. Penyebabnya apa tidak diketahui sampai sekarang, karena itu adalah sakit yang sangat berkaitan dengan syaraf sehingga pengobatannya pun dapat dikatakan berisiko tinggi. Kenapa penyakit tersebut bisa dikatakan langka? Karena di Indonesia belum banyak kasus penyakit ini dan pengobatannya pun tergolong sulit karena diperlukan dokter bedah syaraf yang sudah memiliki jam terbang tinggi, juga fasilitas rumah sakit yang harus mendukung karena faktanya tidak semua rumah sakit di Jakarta memiliki fasilitas dan teknologi pisau bedah yang digunakan untuk melakukan operasi penyakit ini.


Singkat cerita, kami memilih fasilitas kesehatan yang disediakan pemerintah untuk mengobat sakit papaku, yaitu dengan BPJS Kesehatan. Jika teman-teman tahu betapa panjangnya proses pengobatan menggunakan BPJS Kesehatan, kalian akan tahu betapa menderitanya orang tuaku yang selalu menunggu paling sebentar 7 jam untuk bisa bertemu dengan dokter syaraf dan konsultasi yang sangat singkat lalu mereka akan pulang dengan kondisi sangat lelah dan khususnya papaku berusaha untuk mengabaikan sakitnya jika kambuh. 

Sampai suatu ketika, karena kasus ini langka dan hanya bisa dilakukan di rumah sakit rujukan nasional yaitu RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Salemba, Jakarta, akhirnya papaku bisa menjalani pengobatan di sana walau sangat jauh dari rumah, tapi mereka berusaha setia dalam pengobatan ini. Akhirnya, dokter syaraf di RSCM menegaskan untuk melakukan operasi terhadap papaku tetapi masih dalam antrian kurang lebih 6 bulan - 1 tahun lagi.


Kami harus menunggu dalam ketidakpastian. Kami hanya bisa berdoa dan berserah kepada Tuhan. Sampai suatu ketika, hari Kamis siang, mamaku dihubungi RSCM bahwa papaku akan dimajukan waktu operasinya ke hari Senin pagi. Merasa jawaban doa kami terjawab tapi bingung dan kaget. Bagaimana mungkin secepat ini, Tuhan?


Diberi waktu lebih cepat malah kaget. Diberi waktu kelamaan juga kesel. Maunya apa sih? Mungkin Tuhan bisa bercanda melihat kami kala itu. Akhirnya, papaku dioperasi selama 10 jam. Pikiran sudah ke mana-mana, apa terjadi sesuatu yang buruk di meja operasi? Apa papaku selamat? Nah kumat, penyakit ga percayaku, ya kan! Finally, papaku selesai dioperasi dan dokter menyatakan semua baik-baik saja. Thank God.

Itu salah satu cerita menungguku yang paling dramatis. Dan, pastinya kita semua pernah atau mungkin sedang mengalami dan menjalani sesuatu yang disebut MENUNGGU. Misalnya: menunggu kapan pandemi COVID 19 ini berakhir, menunggu kapan punya anak, menunggu kapan lulus kuliah, menunggu kapan "ditembak" si dia, menunggu kapan gereja mengunjungi aku yang sudah lama tak aktif, menunggu kapan dia minta maaf, menunggu kapan dikirim uang bulanan dari orang tua, dan sebagainya.


Saat #dirumahaja aku sempat membaca beberapa buku yang isinya sangat bermakna dan menolongku untuk memiliki sikap yang wajar dan bijak di saat situasi “menunggu” ini. Hal-hal yang baik untuk dilakukan dan bisa dilakukan, semoga bisa saling menguatkan ya :


  1. Belajar “Melepas” (Cerita 14 Dari buku “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2!” karya Ajahn Brahm)

“Melepas” di sini adalah membiarkan segala sesuatu berjalan dengan alami. Seringkali saat di posisi menunggu sesuatu, kita berusaha mengendalikan keadaan dan waktu agar apa yang kita harapkan atau inginkanlah yang terjadi. Kita cenderung memaksakan keadaan. Salah satu sikap bijak yang bisa kita lakukan adalah tidak mengendalikan apa yang mungkin tidak bisa kita kendalikan tapi membiarkan semua berjalan apa adanya.

Apakah saat ini kita menunggu ada orang yang berbuat buruk dan meminta maaf kepada kita? Entah sampai kapan kita menunggu dengan dada yang sesak. Lepaskanlah. Itu membuat kita lebih nyaman dan tenang.


Ajahn Brahm juga mengingatkan,“Masa depan itu tidak pasti.” Kadang, menunggu jika disertai dengan sikap yang arogan akan membuat diri menderita lebih lagi.


  1. Hidup dalam Moment SEKARANG (Cerita 15 Dari buku “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2!” karya Ajahn Brahm)

Setiap diri kita memiliki “rak batin”-nya masing-masing yang berisi kenangan pahit di masa lalu, perlakuan tidak menyenangkan sampai merasakan trauma tertentu dari kehidupan yang sudah lewat. Itulah yang memenuhi “rak batin” kita, sehingga di saat kondisi harus menunggu sesuatu, kita cenderung menggunakan “rak batin” itu untuk memaksa kita mengubah situasi yang tidak mau kita hadapi atau alami dalam proses menunggu itu.

Tulisan di bacaan ini mengingatkan kita untuk tidak perlu menyimpan “rak batin” yang penuh luka dan duka untuk hadapi penantian kita. Dan, tidak perlu merasa harus mengubah apapun untuk masa lalu ataupun masa depanmu. Lebih baik, hiduplah dalam hari ini, momen sekarang, apa yang terjadi saat ini juga. Itulah yang niscaya akan membuat kita lebih waras, damai, dan bahagia.


  1. Menjadi “Sahabat Waktu” (Dari buku Labirin Kehidupan 2 karya Pdt. Joas Adiprasetya, dalam Bab 19)

Judul itu adalah karya dari Jean Vanier yang dituangkan dalam “Seeing Beyond Depression” yang sangat indah menurut aku pribadi. Diterjemahkan dan  potongan singkat dari syair tersebut:


“… Nantikanlah dengan kesabaran. Pertumbuhan membutuhkan waktu…

Daun-daun membusuk dan menjadi kompos, yang dipakai untuk mempertahankan kehidupan baru yang akan muncul…”


Dari terjemahan di atas, aku melihat bahwa hidup dalam proses menunggu memang dijalani dengan kesabaran yang akan membuat kita juga bertumbuh dalam banyak hal dalam penantian itu. Tapi, dalam dunia ini kehidupan itu berputar akan menghasilkan kehidupan baru yang diharapkan lebih baik. Sehingga, menjalani proses menunggu juga bisa dipahami untuk (berharap) mendapatkan yang baik untuk hidup kita. Sekalipun, nantinya yang terjadi bisa sesuai atau tidak sesuai dengan angan kita.


  1. Manusia yang “Bermain”! (Dari buku Labirin Kehidupan 2 karya Pdt. Joas Adiprasetya, dalam Bab 26)

Menarik sekali karena ketika aku baca bagian ini, disadarkan bahwa kita ini adalah Homo Ludens atau mahluk yang bermain. Dan hakikatnya dari manusia yang bermain itu adalah kegembiraan yang membuat hidup manusia menjadi lebih manusiawi.

Ternyata, Allah kita pun adalah Allah yang suka bermain. Allah yang bermain dan dalam permainan-Nya, Ia mencurahkan kegembiraan kepada seluruh umat-Nya. Jadi, hidup kita seperti permainan di mana Allah pun ikut bermain dan bergembira bersama kita semua.


Dari permainan dalam kehidupan ini, diperlukan sikap untuk “Letting Go” (melepaskan) dan “Letting Come” (mendapatkan). Kadang kita harus melepaskan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lebih layak. Di dalam proses menunggu, kita juga diajarkan untuk apa yang perlu kita lepaskan dan dapatkan. Pdt. Joas juga mengingatkan kita untuk merayakan kehidupan dengan mensyukuri apa saja yang tersedia dalam hidup kita, sebab hanya dengan cara itulah kita siap untuk membiarkan pergi apa pun yang memang akan hilang (letting go) dan membiarkan datang cinta Ilahi yang mengejutkan kita dengan kehadirannya (letting come). Well said, Prof!


  1. Memercayai yang Mustahil (dari buku Seperti Sungai yang Mengalir karya Paulo Coelho hal. 290-295)

Dalam bagian ini, penulis mencoba memberikan metafora seperti Ksatria Cahaya yang mengetahui ada pertempuran-pertempuran yang layak dilayani, meski mustahil menang. Itu yang membuat si Ksatria itu tidak takut karena yakin pada kekuatan pedangnya dan keteguhan cinta yang ia miliki.


Kita diminta untuk selalu mempersiapkan diri dengan kemungkinan   yang terjadi sebagai akhir dari proses menunggu kita. Jika apa yang terjadi tidak sesuai harapan, maka yang terbaik adalah membiasakan diri dengan hal itu. Badai akan berlalu. Semakin cepat badainya, semakin cepat akan berlalu. Belajarlah untuk menghadapi badai yang sedang dan akan kita hadapi.


Dari kelima poin di atas, aku pun juga belajar untuk bisa menunggu dengan percaya.  Tidaklah mudah dan tak akan pernah mudah, tapi setidaknya tidak lagi memaksakan diri ini untuk harus mendapatkan apa yang baik menurut kita. Belajar “melepas”, hidup dalam moment sekarang, menjadi sahabat waktu, terus bermain, dan percaya sekalipun mustahil. Aku pun sedang menunggu sesuatu yang sangat dirindukan. Dan ternyata, semua tak seperti yang aku mau dan bayangkan. Tapi, aku memutuskan untuk mau berproses. Belajar mengikuti 5 (lima) poin penting yang sudah kubagikan. Dan membuat batinku bisa lebih merasakan damai dan kebesaran kuasa Tuhan atas hidupku.


Tidak sedikit tokoh Alkitab yang juga dipakai Allah di dalam proses menunggu tanpa kepastian, dan Allah bisa memakai hidup mereka menjadi berkat dan teladan hidup kita. Sebut saja :

  • Abram ketika dipanggil Allah,
  • Nuh yang menunggu air bah berhenti juga surut dari muka bumi ini,
  • Nabi Elia yang menunggu 3 tahun 6 bulan agar hujan datang dan ia bisa menunjukkan siapa Allah yang berkuasa,
  • Boas yang menunggu pasangan hidup dan bertemu dengan Rut,
  • dan masih banyak lagi.


Untuk banyak hal yang sedang kita harapkan atau nantikan, belajarlah untuk menunggu dengan percaya. Karena sering kali, kita menjadi hamba yang kurang percaya kepada Tuhan.


“Percayalah kepada Tuhan dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena Tuhan; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang” (Mazmur 37:3-6)


Tuhan menolong kita semua di dalam masa menunggu yang kita alami dan jalani.

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER