Pada akhirnya, kita—yang saat ini sedang larut dalam arus fanatisme sempit mengenai mencintai agama sendiri berarti membenci agama orang lain—sebenarnya sedang sama sekali tidak mengerti mengenai ajaran agamanya sendiri.
Artikel ini aku tulis sehari setelah pulang dari Interfaith Peace Education Camp yang diadakan oleh Komisi Anak GKI Klasis Jakarta II dan bekerja sama dengan Young Interfaith Peacemaker Community. Peserta acara ini adalah para guru Sekolah Minggu GKI Klasis Jakarta II dan dipandu oleh fasilitator dari YIPC yang mayoritas beragama Islam.
Sebagai salah satu penggagas acara ini, aku dan para pengurus Komisi Anak Klasis sepakat bahwa saat ini—entah sejak kapan—masyarakat mulai memperlihatkan pembagian golongan yang sangat tebal antara kaum mayoritas dan kaum minoritas. Entah sejak kapan pula kaum mayoritas dan minoritas ini menjadi seperti identitas tersendiri yang melekat hanya bagi dua agama, yaitu Islam dan Kristen.
Masih segar di ingatan kita mengenai kasus Ahok saat itu maupun kasus UAS yang pemberitaannya baru-baru ini—harus kita akui—berhasil membuat kita (sebagai orang Kristen) akhirnya membuat sebuah prasangka terhadap agama Islam. Saat kasus-kasus seperti itu terjadi, banyak di antara kita yang langsung mengarahkan pandangan pada kelompok tertentu, daripada memilih untuk menyalahkan pribadi.
“Oh, ternyata Islam kayak gitu." Tercipta suatu kesimpulan pendek, dangkal, dan biasanya berakhir permanen.
Satu hal yang aku ingat saat pertama kali bertemu dengan Kak Siti, ketua YIPC Jakarta, adalah pertanyaan yang aku sesalkan sampai hari ini.
“Kak, sejauh mana kami boleh mengenal islam yang aman?”
Kak Siti mengerutkan dahi, lalu berkata, “Sebenarnya dek, sebelum mulai mengenal Islam, lebih penting hilangkan prasangka lebih dulu.”
Wah.. Aku merasa seperti tertangkap basah. Bahkan sebelum mulai mengenal nilai-nilai yang mau diajarkan oleh YIPC, aku sudah menyimpulkan secara tidak langsung bahwa pasti ada niatan mengislamkan di kegiatan ini—membuatku merasa perlu mengatur batas aman agar tidak terjerumus ke dalam ajaran selain ajaran Yesus. Dengan kata lain, aku juga baru saja mencoba menyampaikan kepada Kak Siti bahwa ajaran Islam adalah sebuah ajaran yang salah, sehingga kami hanya perlu "cukup tahu" saja.
Namun dari pertanyaan inilah Kak Siti mulai menjelaskan lebih jauh mengenai YIPC. Menurutnya, YIPC adalah satu-satunya organisasi lintas iman yang berhasil mengkaji Alkitab dan Alquran secara mendalam—sampai akhirnya menemukan nilai-nilai perdamaian yang (ternyata) secara sepakat tertulis dalam kedua kitab suci tersebut. Dengan demikian, YIPC bukan kegiatan mengislamkan atau mengkristenkan, melainkani memang sebuah organisasi yang punya kerinduan untuk menyebarkan perdamaian sebagai salah satu amalan (bagi mereka yang Muslim) dan ladang pelayanan (bagi yang Kristen).
Sesi satu dalam kegiatan peacecamp ini berbicara tentang menerima diri sendiri. Baik Alkitab maupun Alquran mencatat bahwa manusia diciptakan dengan sangat baik, serta memiliki tujuan yang baik di dalam penciptaan-Nya. Secara singkat, sesi ini mau mengajarkan bahwa jika kita sudah bisa menerima diri masing-masing apa adanya, maka kita akan mampu melihat kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sebagai bagian dari kasih karunia Tuhan. Selain itu, kita juga diharapkan melihat orang lain sama seperti kita memandang diri kita sendiri—jika kita percaya kalau kita berharga di mata Allah dan diciptakan untuk kemuliaan nama-Nya.
Apakah kita juga mampu menerima manusia lain tanpa melihat agamanya sama berharga dan sama rapuhnya dengan kita, yang pada hakikatnya sama-sama sebuah ciptaan?
Sesi berikutnya (“Mengatasi Prasangka”) berhasil membuatku mengerti apa yang dimaksud kak Siti pada awal pertemuan kami. Aku akan menyimpulkan satu sesi ini dengan kalimat dari Daeng Ahmad, salah satu fasilitator dari YIPC yang juga adalah mahasiswa pascasarjana jurusan Teologi di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta.
“Kenapa kita selalu dipaksa berada pada posisi "kamu kafir", "aku bukan kafir", "aku masuk surga", "kamu masuk neraka", "ajaranku yang benar", "ajaran kamu salah", "agamaku yang paling baik", "agama kamu tidak baik"? Pernahkah sekali saja terlintas di pikiran kita, bagaimana jika ternyata kebenaran yang sebenarnya adalah Ajaranku dan Ajaranmu sama-sama mengajarkan kebaikan?”
Sampai sejauh ini, aku begitu terpukau dengan apa yang coba disajikan oleh organisasi ini. Di tengah maraknya aksi-aksi massa yang mengatasnamakan Islam (ada juga yang membawa kerusuhan dengan membawa-bawa nama Tuhan ke jalan), ternyata masih ada harapan bagi perdamaian antarumat beragama. Buktinya, masih ada orang-orang yang—tanpa lelah—membisikkan dari telinga ke telinga bahwa Islam adalah ajaran mengenai kebaikan dan perdamaian.
Ketika pembelajaran kami semakin dalam (terutama mengenai Islam dan ajarannya mengenai perdamaian), tibalah aku pada kesimpulan bahwa Islam adalah agama yang indah, dan keyakinan akan hal tersebut tidak lantas mempengaruhi imanku sebagai seorang Kristen. Sebaliknya, aku justru semakin mengagumi kekuasaan Allah—bagaimana ternyata semua konsep mengenai Tuhan adalah tentang kebaikan, perdamaian, dan kasih sayang yang melampaui akal. Aku—yang dulu hanya melihat Islam sebelah mata—tidak akan sampai pada pemikiran ini kalau saja aku berhenti pada prasangka dan tidak mau melangkah untuk membuat pertemuan, bertanya, mengklarifikasi prasangka dan pada akhirnya mencapai sebuah dialog. Sekarang aku telah belajar untuk tidak mencari siapa yang paling benar, atau saling tuding mengenai konsep keselamatan; namun setidaknya menjadi tidak asal dalam memberikan komentar dan malah menyebarkan kebencian yang tidak beralasan.
Acara ini ditutup dengan kotbah oleh Pdt. Bonnie Andreas yang diambil dari Yohanes 4:4-26—mengenai Yesus yang meminta minum kepada perempuan Samaria. Pdt. Bonnie menekankan sikap Yesus yang datang sendiri melewati daerah Samaria adalah langkah awal pertemuan, Yesus menggagas sebuah dialog, menyatakan bahwa Dia Sang Juruselamat juga mau hadir untuk mereka yang disebut kafir pada zaman itu, dan aksi yang dilakukan-Nya tersebut berdampak pada sikap perempuan itu—yang kemudian menceritakan kisah pertemuannya dengan Yesus dan membuat orang-orang di daerah Samaria menjadi percaya kepada-Nya.
Tuhan Yesus memberikan kita teladan bahwa tidak ada satupun bangsa di dunia ini yang patut dikucilkan, apalagi tidak mendapatkan kasih Allah. Kita harus mengingat dan menjalankan hukum kasih-Nya: mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap kekuatan, dan segenap akal budi DAN mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri (Matius 22:37-40). Bahkan pada kisah yang lain Yesus juga menggunakan perumpamaan mengenai orang Samaria yang baik hati, untuk membuat kita bisa memahami konsep "siapa sesama kita manusia" (Lukas 10:25-37).
Pada akhirnya, kita—yang saat ini sedang larut dalam arus fanatisme sempit mengenai mencintai agama sendiri berarti membenci agama orang lain—sebenarnya sedang sama sekali tidak mengerti mengenai ajaran agamanya sendiri. Ironisnya, suara-suara perdamaian yang diteriakan kencang oleh organisasi seperti YIPC ini selalu kalah dengan suara-suara pemecah belah—yang begitu keras—di luar sana.
Bang Riston yang merupakan salah satu perintis organisasi YIPC ini juga menyampaikan harapannya kepada para peserta kegiatan ini, “Semoga suatu hari nanti, saya bisa bertemu dengan seorang anak remaja atau pemuda yang menceritakan kisah bagaimana dulu guru sekolah minggunya adalah orang yang selalu mengajarkan indahnya keberagaman, toleransi, dan perdamaian. Saya berharap kegiatan ini sungguh-sungguh dapat menjadi salah satu cara untuk menghasilkan para duta perdamaian—yang dimulai dari sekolah minggu.”
Ya, semuanya dimulai dari kami—para guru sekolah minggu—yang merasa perlu untuk membekali diri masing-masing dan anak-anak untuk menciptakan generasi yang memiliki hati Kristus—hati yang terbuka menerima perbedaan dan membawa damai. Kami rindu mengajak lebih banyak orang—khususnya para generasi muda yang memegang masa depan bangsa—untuk membuka diri, dan mulai mengenal sesuatu di luar gereja. Karena dengan mengenal, barulah kita bisa menjadi dekat; dari yang dekat, nantinya jadi bersahabat... agar tercipta barisan rapat yang tidak tertembus sekat karena kita sudah menjadi begitu lekat.
Spesial thanks to YIPC (Young Interfaith Peacemaker Community)!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: