Sebuah Tuntunan menuju Gedung Pakuan

Best Regards, Live Through This, 13 June 2022
Mungkinkah seorang anak Tuhan menjadi representasi kehadiran-Nya bagi orang lain yang sedang berduka, bahkan tanpa dirinya mengalami pengalaman serupa dengan mereka?

Prolog

Aku punya Tuhan yang besar

yang t’lah berjanji dan sanggup menggenapi

Imanku bersepakat percaya kuasa-Nya

Kuterima sekarang kemenangan dari-Mu


(Tuhan yang Besar - Sari Simorangkir)



Chapter I: Keviralan Mendadak Sungai Aare

Sungai yang terletak di negara Swiss itu mendadak viral setelah muncul kabar tenggelamnya Eril, anak sulung dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, karena terbawa arus sungai yang deras ketika sedang berenang di sana.



I. Kehebohan Seisi Kantor

Pengujung Mei 2022, pertama kali saat aku sedang scrolling feed instagram di kantor pagi itu. Tiba-tiba aku melihat salah satu postingan foto yang kurang lebih bertuliskan “Anak Sulung Ridwan Kamil Tenggelam di Sungai Bern Swiss. Pencarian Selama Enam Jam dan Belum Ditemukan”. Hah, yakin? Konon ingin melanjutkan pascasarjana di Swiss, anak orang nomor satu di Jawa Barat itu malah tenggelam di sungai saat berenang sedangkan adiknya selamat.

Terkesan “ada-ada saja” memang. Terlepas dari privilege apapun yang dimilikinya, rasa empati ini haruslah tetap ada.

Beberapa menit kemudian setelah aku melihat postingan foto tersebut, seisi kantorku heboh. Mungkin karena mereka melihat kabar yang kurang lebih sama lewat smartphone masing-masing.

“Aya-aya wae atuh ngojay dina sungai!” (ada-ada aja berenang di sungai)

“Urang mah sieun euy lamun ngojay dina sungai teh..” (kami takut kalau berenang di sungai)

“Kalau enam jam lebih belum ketemu ya itu mah kemungkinan besar sudah pasti meninggal..”

“Sekarang udah ditemuin, belum?”

“Kasian keluarganya atuh, ya..”

Begitulah sepintas respon heboh sesama rekan kantorku di pagi itu.


II. S'perti Bapa Sayang Anak-Nya

Kabar duka itu menghiasi hampir semua media online pada hari itu. dan tiba-tiba aku melihat foto ini beredar cukup banyak di berbagai platform, yakni gambar tiga orang yang sedang menghadap ke sungai. Ya. Tiga orang ini adalah Pak Ridwan Kamil, Istrinya dan juga Zahra, adik Eril. Nampaknya mereka terus berusaha mencari, menanti sambil berharap, kepada Tuhan dan seolah kepada sungai itu.

gorajuara.com

Begitu melihat foto ini, aku tiba-tiba jadi ingat penggalan lirik lagu S'perti Bapa Sayang Anak-Nya, walaupun disini berbeda konteks.


“S'perti Bapa sayang Anak-Nya, demikianlah Engkau mengasihiku.”

Jangankan Allah Bapa yang mengurbankan Anak-Nya yang Tunggal untuk menjadi jembatan keselamatan, bahkan manusia pun tidak ada yang mau menguburkan anaknya sendiri. Aku rasa, mungkin inilah yang juga dirasakan oleh keluarga Pak Ridwan Kamil saat itu.


III: Silih Asih

Aku salut. Kulihat disiarkan di berita televisi ternyata sejumlah masyarakat berinisiatif mengadakan beberapa rangkaian acara pengajian dan shalat untuk menguatkan keluarga yang ditinggalkan di Gedung Pakuan, rumah dinas Gubernur Jawa Barat di Bandung. Aku merasakan adanya “koneksi” yang sangat erat antara rakyat Jawa Barat dengan pemimpinnya (dalam hal ini Gubernur). Inilah keindahan yang dari masyarakat Indonesia, yakni Jawa Barat dalam hal Silih Asih yang berarti saling mengasihi.

Tidak lupa juga dengan rangkaian bunga panjang yang kulihat saat perjalanan pulang dari kantor, mengitari Gedung Pakuan itu sendiri terlepas kenal atau tidaknya dengan Eril. Timbul keinginan untuk mengabadikan deretan rangkaian bunga itu, namun sayang di hari itu belum sempat karena hujan yang deras.


Dokumentasi pribadi

               

IV: Rangkaian Bunga dan Snapgram

Lalu hatiku bertanya, kapan lagi ya bisa turun sebentar depan Gedung Pakuan, hanya untuk mengabadikan deretan rangkaian bunga ini dalam bentuk snapgram? Kan lumayan, biar kelihatan kalau aku adalah warga Bandung yang memang up to date.

Akhirnya hari Minggu pun tiba. Aku berencana untuk sengaja mampir ke Gedung Pakuan untuk mengambil video dan foto rangkaian bunga, pastinya setelah beribadah di gereja dan bertemu dengan teman di sebuah pusat perbelanjaan elektronik di kota Bandung yang jaraknya tidak jauh dengan Gedung Pakuan.

Tetapi sayang sekali, ternyata hujan deras membasahi kota Bandung sesaat setelah aku bertemu dengan temanku. Sebenarnya aku ingin langsung pulang ke rumah saja, namun kalau ditunda terus takut rangkaian bunga itu sudah dipindahkan, pikirku.

Tak lupa memakai jas hujan, kulewati hujan deras itu dengan motor dan akhirnya aku sampai ke depan pagar luar Gedung Pakuan. Smartphone ku keluarkan dari tas dengan keadaan basah, langsung saja aku mengambil beberapa video dan foto dari deretan rangkaian bunga tersebut. Oke, misi (pertama) selesai.




Chapter II: Peace that Comes Easier

Hujan deras, suasana duka dan agak hening, udara sejuk khas kota Bandung yang membuatnya estetik, Gedung Pakuan yang luas dan rimbun cukup membuat diri ini healing dulu untuk sementara waktu. Suasana ini juga yang membuat rasa “damai sejahtera” itu lebih mudah hadir.


Dokumentasi Pribadi


 V: Keingintahuan yang Dalam

Sesaat setelah menjalankan misi (pertama), tiba-tiba kulihat seorang ibu dengan payung yang menutupi kepalanya berjalan masuk ke Gedung Pakuan. Lalu, aku penasaran dan bertanya kepada salah satu penjaga di pagar Gedung Pakuan.

“Pak, punten. Ini boleh masuk, ya, ke dalam? Ada acara apa, ya, Pak?” tanyaku.

“Oh, iya, Neng, ini ada acara pengajian untuk almarhum Eril,” jawabnya.

(pada Minggu itu Eril sudah dinyatakan meninggal oleh pihak keluarga walaupun belum ditemukan jasadnya)

“Pak, kira-kira di dalam ada Bapak (Ridwan Kamil) sama Ibu (Atalia)?” aku bertanya kembali.

“Iya, neng, ada. Tapi kayaknya gak bakal keluar, sih, soalnya kasihan.. Masih capek.”

Seketika aku merasa saat itu ada sesuatu yang menggerakanku untuk bertemu Bapak Ridwan Kamil dan Ibu Atalia. Entah itu rasa empati atau saling merasakan atau.. ah, perasaan itu sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Pokoknya apapun yang terjadi, aku harus bertemu mereka. Sepertinya ada hal yang harus sampaikan. Usaha dulu saja, sampai mentok.

Kemudian, aku mencoba memarkirkan motorku kedalam Gedung Pakuan, tetapi sayangnya tidak bisa karena sudah penuh. Akhirnya aku memarkirkan motorku di luar pagar pelataran Gedung Pakuan yang letaknya cukup jauh dari pintu masuk. Cukup membuat was-was karena takut motornya hilang, tetapi demi “perasaan” itu aku pun rela berlari basah-basahan masuk ke Gedung Pakuan walaupun jaraknya lumayan jauh dan harus memutar arah.



 

VI: Warna-warni Harapan

Sampailah aku di dalam Gedung Pakuan. Aku diarahkan ke satu ruangan, dan di sana terdapat buku tamu dan sticky notes. Jadi setelah para tamu mengisi buku tamu, mereka juga menuliskan harapan dan penguatan untuk keluarga di atas sticky notes yang kemudian ditempelkan di dinding kayu ruangan itu.

Aku pun menuliskan namaku di buku tamu, lalu menulis harapan dan penguatan di sticky note berwarna kuning stabilo, lalu kutempelkan di dinding kayu.


Dokumentasi Pribadi


“Indah pada Waktu-Nya,” tulisku di sticky note itu.

Cukup simpel, tapi bermakna. Tanpa peduli ada yang membacanya atau tidak.

Setelah dari ruangan itu, aku kembali bertanya kepada penjaga.

“Pak, kira-kira kalau warga ketemu Bapak sama Ibunya, apa kira-kira bisa?” tanyaku.

“Wah, engga tau, Neng. Coba saja tunggu acara pengajian beres, siapa tau ada perwakilan keluarga,” ujarnya.

Aku langsung menuju area pengajian dan menunggu di pinggiran. Mungkin orang-orang di sana merasa aneh melihatku yang tidak mengikuti pengajian. Benar saja, ada seorang ibu yang bertanya demikian padaku.

“Neng, gak ikut pengajian?”

“Hmm.. nggak, Bu.. Hehehe…” jawabku sedikit canggung, berharap jangan ada orang yang menanyakan hal itu kembali.


 


VII: Hujan Deras Penjaga Misi


Melihat aku tidak mengikuti acara pengajian, seorang penjaga kembali bertanya kepadaku di area pengajian, “Neng, mau kemana, yah? Ada urgensi apa?”

“Pak, punten. Kira-kira kalau warga biasa ketemu sama Bapak dan Ibu, apa bisa?” tanyaku lagi.

“Wah maaf.. Nggak bisa, Neng. Warga biasa kalau mau ketemu harus daftar dulu, itu juga dari beberapa hari yang lalu.. Neng sekarang sambil nungguin hujan duduk dulu aja di teras, di sana ada banyak bangku merah.. Sok sini saya payungi...” ujarnya.


Lalu aku pun berjalan dengan penjaga itu menuju teras untuk menunggu hujan deras reda, tepatnya dekat ruangan penuh sticky note tadi.

Di sana, aku melihat ada rombongan orang dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Mereka sedang berkomunikasi dengan bagian protokol untuk penjadwalan masuk ruangan demi bertemu dengan Bapak Ridwan Kamil. Lalu, kulihat lagi ada sekumpulan ibu-ibu, dan ternyata mereka juga adalah warga biasa.

“Bu, punten, ini mau ketemu Bapak sama Ibu juga, tapi ini udah pada daftar? Bisa dadakan gak, sih?” tanyaku.

“Iya, Neng, betul, tapi ini ada yang udah daftar sama ada yang belum... Ini saya belum daftar,” ujarnya.

“Ya udah atuh, Bu, nanti kalau mau ketemu Bapak, barengan sama saya, ya,” ujarku mengambil kesempatan.

Lalu, aku bertemu dengan seorang pemuda bagian protokol yang sedang lewat. Aku pun bertanya apakah warga biasa bertemu dengan Bapak dan Ibu?

Ia pun mengambil walkie talkie dan berbicara kepada rekannya, dan beberapa menit kemudian...

Kami ternyata diperbolehkan masuk untuk bertemu langsung Bapak Ridwan Kamil dan Ibu Atalia.



Chapter III: Sambutan Serambi Gedung Pakuan

Ketika aku masuk ke dalam beserta rombongan ibu-ibu tadi, aku disambut oleh megah, tinggi, dan luasnya serambi Gedung Pakuan. Langit-langitnya tinggi juga disana terdapat teras yang luas, serta dihiasi oleh banyak lukisan potret Bapak Ridwan Kamil dan Ibu Atalia, juga foto almarhum Eril yang dicetak besar.


 

VIII: Perjumpaan yang Tidak Terduga

Aku pun berjalan menyusuri lorong yang menghubungkan ruangan penuh sticky note tadi dengan serambi Gedung Pakuan. Di depan serambi, aku melepas sepatu—sama seperti yang lain. Ketika masuk ke serambi yang luas itu, ada dua sosok orang berpakaian serba hitam berdiri di ruangan menyambut kami yang mengantri. Ya, dialah orang nomor satu di Jawa Barat beserta istrinya, Bapak Ridwan Kamil dan Ibu Atalia.

Saat tiba giliranku bertemu Bapak Ridwan Kamil dan Ibu Atalia, aku langsung menyalami dan menepuk bahu mereka, serta mengucapkan turut berduka cita. Tidak lupa juga aku memberikan salam fist bump ala pandemi COVID-19. Mereka terlihat sedih, mata mereka terlihat sembab dan kurang tidur, tetapi tetap tegar menyambut kami.

‘Teh, terima kasih banyak, ya,” ucap Bapak Ridwan Kamil ramah kepadaku.

“Iya, pak, sama-sama,” balasku.

Agar suasana cair, aku pun berbincang sebentar dengan Ibu Atalia.

“Bu, baru sampai ke Indonesia kapan?” tanyaku.

“Dua hari yang lalu,” jawabnya ramah.

Mereka memang sangat ramah dan baik hati, apa mungkin ini yang membuat masyarakat Jawa Barat “deeply connected” dengan mereka?

Setelah itu, aku berpamitan kepada Bapak Ridwan Kamil dan Ibu Atalia, mengingat ada satu antrian lagi di belakangku. Saat aku hendak memakai sepatu kembali, kulihat mereka sudah tidak ada. Sangat cepat perginya.

Aku tidak menyangka, hari itu aku akan bertemu orang nomor satu di Jawa Barat itu beserta istrinya. Semua bermula dari mengabadikan rangkaian bunga.

Saat menyusuri lorong yang sama untuk pulang, anehnya aku merasa ada yang kurang dari pertemuan tadi. Sepertinya ada hal yang belum sempat aku sampaikan.


 

IX: The Spontaneity

Di luar, aku bertemu lagi dengan rombongan ibu lainnya yang hendak bertemu Bapak Ridwan Kamil dan Ibu Atalia di hari cuti terakhirnya sebelum keesokan harinya beliau akan bekerja kembali sebagai gubernur.

Begitu rombongan ibu lainnya masuk menyusuri lorong, aku langsung berlari menyusul mereka untuk kembali bertemu Bapak Ridwan Kamil dan Ibu Atalia. Tidak peduli “ditandai” karena bertemu dua kali, herannya malah aku disangka teman almarhum Eril dari ITB.

Aku kembali melepas sepatu, memasuki serambi, dan menunggu selama kurang lebih 20 menit bersama rombongan lainnya. Hatiku bimbang ingin meninggalkan serambi karena berpikir itu adalah acara pengajian, tapi kuurungkan karena ingin menjawab rasa penasaran.

Setelah menunggu 20 menit, Bapak Ridwan Kamil dan Ibu Atalia kembali menyambut kami. Aku sengaja mengambil barisan paling belakang, agar tidak mengganggu yang lain.

Setelah tiba giliranku, spontan aku memegang tangan Bapak Ridwan Kamil dan Ibu Atalia dan kemudian berdoa kurang lebih demikian:

“Ya Tuhan, kau pimpin, beri penghiburan dan kekuatan kepada keluarga ini, Kami percaya Tuhan, mereka adalah perpanjangan tangan-Mu bagi Jawa Barat. Kiranya kuasa-Mu nyata atas mereka. Dalam nama-Mu kami berdoa. Amin.”

Aku berdoa dengan sangat cepat karena takut ketahuan pengawal yang berjaga di serambi.

“Terima kasih buat doanya, ya, Teh..” Ujar Ibu Atalia ramah.

Aku kagum mendapat sambutan seperti itu darinya. Oh, iya, aku tidak lupa mengucapkan satu kalimat pamungkas terakhir.

“Pak, Bu, Rancangan Tuhan itu yang terbaik, walau kadang gak sesuai dengan ekspektasi kita. Tetap semangat ya Bapak dan Ibu.”

Iya teh, kami mengerti.. terima kasih banyak ya sekali lagi,” balas mereka berdua dengan ramah.

Aku kembali memberikan “fist bump kepada mereka sebelum pulang. Hatiku lega, selega-leganya.


 

X: Intimacy and Peace

Damai sejahtera dan kelegaan melingkupiku setelah mengucapkan doa dan kalimat pamungkas itu. Semua berlangsung dengan “privat” dan “intim”, tanpa sorotan kamera. Pada saat itu, aku tidak hanya melihat Bapak Ridwan Kamil dan Ibu Atalia sebagai pemimpin dan publik figur, tetapi melihat figur mereka layaknya rakyat biasa, terutama sebagai ayah dan ibu juga orang tua. Seolah-olah kami (dan dengan banyak orang yang mungkin tidak berinteraksi secara langsung dengan mereka) ingin mengucapkan, “Hey, Sir and Mam, don’t worry because we—the citizens—are here to support you!”

Entah apa yang diperbuat Tuhan pada Minggu, 5 Juni 2022 itu benar-benar di luar ekspektasi dan pikiran. 

Dan pastinya tidak akan kulupakan seumur hidup.



FIN.


Dokumentasi Pribadi



Epilog

Ask and it will be given to you; seek and you will find;

knock and the door will be opened to you.

-Matthew 7:7-

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER