Dalam situasi yang tidak diduga dan tidak diinginkan, terlihatlah sisi-sisi diri yang masih perlu direnovasi.
Matahari yang terik menembus tanpa malu kaca jendela “kamar belajar & ruang kuliahku” yang selama 14 hari pertama aku di Sumba menjadi kamar isolasi mandiriku. Jam menunjukkan waktu 06.00 atau 07.00 WITA. Kubuka Alkitabku dan memulai saat teduh. Setelah selesai, kutulis rangkuman saat teduh dan kubagikan ke beberapa teman serta grup selain kuposting di IGstory. Lanjut setelah itu aku mengambil waktu doa syafaat sebelum menyantap roti buatan istri dan mertua atau makanan ringan (snack) sebagai pengganjal sebelum sarapan. Kusantap sambil menikmati secangkir kopi hitam yang panas. Sembari menghabiskan kopi, membuka-buka laptop sambil juga melihat-lihat media sosial mencari berita-berita.
Semakin terik, sebelum kuliah atau mencicil mengerjakan tugas, aku mengajak Juan, anakku pergi jalan kaki di sekitaran rumah, kurang lebih 1 km jaraknya. Menapaki jalan aspal yang selalu tidak terlalu ramai, dengan memakai masker, disambut sesekali dengan anjing-anjing yang menggonggong ketika kami melewati depan rumah orang, semua rutinitas ini menjadi ritual setiap hari, kecuali hari Minggu.
Tidak terasa, sudah satu bulan lebih aku tinggal di Waikabubak. Rutinitas yang kuceritakan di atas sebenarnya tidak jauh beda dengan rutinitas selama aku masih di asrama kampus. Hanya yang berbeda mungkin waktu (1 jam lebih awal dari WIB) serta lokasinya. Selain juga tentu olahraga paginya ditukar dengan bentuk kerja bakti dan jalan ke ruang kelas atau perpus yang jaraknya kalau dilakukan seharian lebih dari 8.000 langkah dan yang pasti lebih dari satu kilometer.
Perbedaan signifikan adalah interaksi langsung dengan dosen, teman kampus serta adik-adik yang dilayani di pos Sabtu yang sementara hilang. Apa lagi? Tidak ada lagi kesempatan untuk ngopi gratis di coffee shop deket kampus atau yang murah dengan wifi gratis. Heehe…
Bersyukur di Waikabubak tidak diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sehingga masih “bebas” jika pergi membeli sesuatu di pasar atau supermarket.
Nyaman di rumah? Tentu, dekat dengan orang-orang yang kita sayang. “Lebih bebas?” Hmm… bisa jadi… tidak ada kerja bakti jam 5 pagi. Tidak ada jam makan pagi, siang dan malam. Tidak lagi lagi jam mematikan lampu. Keteraturan hanya jam kuliah saja. Olahraga saja tidak bisa bersama-sama seperti biasa, misalnya bermain futsal.
Waktu terus berjalan dan tugas-tugas kuliah selain juga kuliah itu sendiri tetap menjadi tanggung jawab yang harus dilakukan.Memang tidak sesuai harapan awal, tetapi tugas-tugas tersebut yang memberikan kesempatan untuk menulis dan membaca, kusadari tidak perlu dibungkus dengan hiperbola karena situasi Corona. Entah di asrama atau di rumah, tetapi bisa membaca dan menulis. Menulis memang tidak pernah dibatasi oleh waktu dan tempat. Begitu juga membaca. Lalu?
“Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan,” 2 Petrus 1:5-6 TB
Dalam Alkitab Bahasa Inggris NIV ayat ini ditulis: "For this very reason, make every effort to add to your faith goodness; (and to goodness), knowledge; (and to knowledge), self-control; (and to self-control), perseverance; (and to perseverance), godliness."
Di dalam dua ayat ini dijelaskan bagaimana aku perlu melakukan segala cara yang tepat (make every effort) alias berinisiatif bukan menunggu, untuk menambahkan beberapa karakter dalam imanku. Jadi, sebagai orang Kristen aku perlu punya iman plus-plus. Aku belajar bahwa situasi berbeda yang kualami ini adalah bagian dari sarana yang Allah berikan untuk menambahkan imanku satu karakter yang harusnya ada sebagai bagian dari pertumbuhan rohaniku, yaitu ketekunan.
Pertumbuhan rohani bukanlah masalah yang orang Kristen dapat perlakukan dengan ringan; itu adalah tujuan yang kita butuhkan untuk memberikan tubuh dan jiwa kita, setiap hari dalam hidup kita.
Setiap situasi selalu memberi kontribusi untuk mengoreksi diri dan mengembangkan diri. Dalam situasi yang tidak diduga dan tidak diinginkan, terlihatlah sisi-sisi diri yang masih perlu direnovasi.
Kiranya hatiku terus terbuka untuk menerima renovasi sisi-sisi diri yang sesuai kehendak Sang Pencipta Diri.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: