Penyakitmu, wahai kaum beriman: Kalian mudah puas diri, pongah, jumawa, bagai burung merak. Kalian gemar menghakimi! Tubuh yang mengucur darah di kayu itu, bukan burung merak. Ia mengajar kita, tentang cinta, untuk mereka yang disesatkan dan dinista.*
Siapa kira hidup yang berlangsung konstan bisa tercerabut sehelai demi sehelai dari lahan rutinitas. Para insan, pemburu makna dan dana, memeras otak dan tenaga untuk mengupayakan karya. Tadinya keluh dan kesah menyertai jerih lelah, sekarang cuma bisa pasrah. Lihatlah, siapa yang terbiasa?
Biasa berpeluh?
Biasa mengeluh?
Biasa berdiam?
Biasa terbungkam?
Bukan.
Biasa berbeda
Biasa menjadi tidak biasa
Kini, manusia mulai bersahabat dengan sebuah kata: disrupsi. Kata kamus, disrupsi adalah “hal tercabut dari akarnya.” Bak pohon yang dicabut hingga ke akar, tatanan reguler kehidupan sehari-hari dibabat oleh sesuatu yang tak kasatmata: virus. ‘Banyak jalan menuju Roma’ menjadi prinsip sehari-hari menempuh kehidupan dalam masa yang tak tentu ini, sebab ternyata masih banyaklah cara kita bisa belajar, bekerja, dan berdoa. Tidak biasa, bukan?
Tapi,
aku kenal Seorang yang terbiasa menjadi berbeda. Dia terbiasa tidak biasa. Dua puluh abad yang lalu, Seorang ini membuat raja yang bertahta paranoid, menggemparkan petinggi rumah ibadah, menggulingkan meja transaksi gelap, dan berarak bukan dengan kuda. Dialah Sang Pendobrak.
Dalam pikiranku, raja pastilah megah, berjubah, dan memakai mahkota bertatah.
Sang Pendobrak jugalah Raja. Namun, kemegahan-Nya berbeda.
Manuver tutur dan tindak penuh risiko
Penceritaan penuh kode
Keledai jadi kendaraan-Nya
Berjubah kain ungu
Dengan mahkota berhias duri
Namun,
di antara semua itu, tak satu pun mengobrak-abrik batin, menghancurkan hati, sekaligus memulihkan jiwaku
karena
yang paling aku suka adalah bahasa cinta-Nya.
bukan dengan sekuntum bunga atau seucap kata
bukan dengan hadiah semarak atau gombalan norak
apalagi obralan I love you sambil berteriak
No, no, no.
aku tahu
dengan tegas Dia menegur
dengan keras Dia mengajar
dengan bebas Dia mencecar
aku juga tahu
dengan bisik lembut Dia memanggil
dengan peluk erat Dia memberi aman
dengan hening khidmat Dia menganugerahkan tenteram
lebih dari itu
aku sadar dan tahu
cinta-Nya yang akbar tidak sanggup bila hanya dikotaki oleh sabda
atau jasa
atau krida
cinta itu ada dalam tetes darah
untaian peluh
derita sesah
jejak langkah gundah
karena aku adalah objek cinta yang sarat akan salah
luka sebanyak dosa
memar sebesar cemar
Perih, Dia merintih
tapi tak sepedih hati penuh asih
Penyakitmu, wahai kaum beriman:
Kalian mudah puas diri, pongah, jumawa, bagai burung merak.
Kalian gemar menghakimi!
Tubuh yang mengucur darah di kayu itu, bukan burung merak.
Ia mengajar kita, tentang cinta, untuk mereka yang disesatkan dan dinista.*
Ya, aku itu sesat!
Dia cinta hamba yang nista!
Aku yang bermegah seperti burung merak
berubah wujud menjadi lilin;
luluh dan leleh karena api cinta-Nya.
Sang Pendobrak tidak hanya mencabut kecemaran sampai ke akar
tidak hanya menelanjangi kemunafikan
tidak hanya membabat rutinitas sehari-hari termasuk yang nampaknya agamawi
Sang Pendobrak menguras lumbung persediaan kasih
dan membawanya naik ke tingkat paling tinggi:
mati bagi sahabat-sahabat yang dicintai.
Lihatlah, siapa yang berani?
Lihatlah, siapa yang terbiasa?
Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Karenanya, perubahan dan dobrakan pun adalah sesuatu yang niscaya; perubahan akan terus ada dan diadakan. Terkejutkah?
Bisa jadi.
Namun,
Mengapa takjub berlebih kalau Dia, Sang Pendobrak,
adalah Raja yang senantiasa menggebrak?
Karena dalam tangan-Nyalah seluruh elemen dunia bergerak
dan pada tangan-Nyalah kita teguh berpaut hingga Dia panggil kita kelak
dari kekasih hati-Mu
dalam ratap tangis sedu dan haru
*dikutip dari “Jumat Agung” karya Ulil Abshar-Abdalla
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: