“Tuhan sendiri menjalani hidup pelayanan di dunia dengan cara mengajak orang yang terpinggirkan menjadi pengikut-Nya, bagaimana dengan kita?”
Ketika mendengar kata inklusif, apa yang terbersit di pikiran para pembaca? Tidak, atau merupakan lawan kata dari, eksklusif; merangkul semua orang; mencakup semua orang. Bisa dibilang semua orang memahami bahwa menjadi inklusif berarti tidak memandang latar belakang orang lain, dan tetap mau terbuka dengan orang-orang tersebut. Menurut KBBI, inklusif berarti 'termasuk; terhitung'. Penjelasan lebih lengkap diungkapkan oleh Oxford Dictionary, dengan definisi "Deliberately including people, things, ideas, etc. from all sections of society, points of view, etc." (dengan sengaja mengikutsertakan orang, benda, ide, dan hal lainnya dari semua bagian masyarakat, pandangan, dan lain-lain.)
Di gereja, sering kita mendengar seruan untuk menjadi anggota jemaat yang inklusif. Bahkan pada tahun 2013, hal ini diutarakan oleh PGI, bahwa gereja harus menjadi komunitas yang inklusif, dengan melihat dari besarnya keberpihakan gereja kepada mereka yang terbelakang, seperti orang miskin dan penderita HIV/AIDS. Seruan ini mendorong gereja untuk melayani ke luar dan melayani kaum yang “tidak seberuntung” kita, which is a good thing to do.
Tapi bagaimana dengan jemaat gereja itu sendiri?
Menjadi orang yang inklusif bukanlah hal yang mudah, dengan kecenderungan kita untuk tinggal di zona nyaman kita dan memilih untuk berteman dengan orang yang sama dengan kita. Kita cenderung susah untuk berteman, apalagi melayani orang-orang yang tidak seberuntung kita. Jika melayani orang di luar gereja saja susah, bagaimana dengan pelayanan kepada sesama jemaat?
Ya, mungkin kita sering mendengar adanya kegiatan pelawatan, salah satu bentuk pelayanan yang inklusif ke dalam gereja. Tapi sering ngga, kita ikutan dalam pelawatan tersebut? Atau sering kita hanya mengandalkan penatua-penatua gereja, dan berharap ketika kita yang butuh dilawat, kita akan dilawat oleh orang lain? Bagaimana dengan pelayanan-pelayanan khusus gereja, misalnya kepada orang yang memiliki disabilitas atau penyakit kronis?
"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Lukas 4:18-19)
Jika kita renungkan kembali kisah pelayanan Yesus selama Ia berada di bumi, kita dapat melihat bahwa Ia sering kali melayani orang yang “berbeda” dari Dia, mulai dari keadaan fisik (Contoh: Pentahiran orang kusta dimana salah satunya bukan orang Yahudi – Luk. 17:11-19), perbedaan suku (Contoh: Perbincangan dengan perempuan Samaria – Yohanes 4:1-42), dan usia (bnd. Lukas 18:15-17). Jika kita berbicara tentang "inklusivitas" ke dalam gereja, Yesus menunjuk nelayan, yang merupakan masyarakat kelas bawah, menjadi murid-murid pertama-Nya, dan bahkan memberikan Amanat Agung untuk menyampaikan Injil sampai “ke ujung bumi” (Kisah Para Rasul 1:8) dan “kepada segala makhluk” (Markus 16:15).
Yesus tidak membeda-bedakan latar belakang orang yang Ia layani, Ia tetap ingin membantu dan bergaul dengan orang-orang yang berbeda dengan-Nya. Pelayanan Yesus di dunia seharusnya menjadi dasar motivasi pelayanan kita juga, dengan tidak membeda-bedakan kondisi maupun latar belakang diri kita satu dengan yang lainnya.
Aku bersyukur aku mendapatkan kesempatan untuk mengenal salah satu kelompok yang melayani orang-orang yang memiliki kondisi fisik yang berbeda denganku, yaitu Komisi Tuna Rungu GKI Pasir Koja. Menurutku, adanya komisi ini di salah satu gereja di Bandung saja sudah cukup untuk mewadahi orang-orang yang kesulitan beribadah karena gangguan pendengaran, dan hal itu merupakan salah satu bentuk pelayanan inklusif ke dalam gereja.
Aku teringat ketika pembina komisi tersebut berbicara kepada peserta IGNITE Conference pada 7 Maret lalu, bahwa dasarnya melayani dan membentuk komisi tuna rungu adalah karena kebutuhan beberapa jemaat, dan adanya compassion dari dirinya untuk mendirikan komisi tersebut. Ketika aku berbincang dengannya, ia menyatakan bahwa ia sampai belajar bahasa isyarat secara otodidak untuk melayani orang-orang yang membutuhkan.
Itu hanya satu contoh. Banyak hal lain yang bisa kita lakukan kepada orang-orang, terutama sesama jemaat, yang mungkin kurang beruntung seperti kita. Mungkin mempelajari bahasa isyarat ataupun huruf Braille bisa menjadi dasar pelayanan kita yang bersifat “inklusif” di gereja bagi teman-teman kita, tapi kita juga harus bisa melihat kebutuhan gereja masing-masing, dan dasar kita melakukan pelayanan tersebut adalah dengan memiliki compassion.
Selamat menjadi jemaat gereja yang inklusif.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: