"Politik itu tidak selalu bicara tentang sistem pemerintahan. Politik sesungguhnya bicara tentang kuasa."
Menengok dari keterbukaan anak muda GKI masa kini pada pemilu 2014 silam, bagi saya ini adalah sebuah fenomena yang membuat saya merasa bangga pada Gerejaku yang satu ini. Ketika itu, pemuda GKI membuat kampanye agar anak muda turut mencoblos dan menjadi bagian dari berlangsungnya pesta demokrasi negara ini. Hebat! Lima tahun setelah itu pun, GKI masih menjadi gereja yang aktif menyuarakan kepedulian tentang politik kepada anak mudanya. Bahkan Ignite GKI membuat Writing Challenge tentang pemilu tahun ini! Bangga! Tapi cukupkah hal itu? Apakah benar GKI sudah melek politik?
Politik dalam Gereja?
Tidak jarang kita dengar kalimat, “Agama jangan dipolitisasi!” Cukup sering, sampai barangkali kita beranggapan bahwa hal ini menjadi lazim didengar, khususnya di masa-masa pemilu kemarin. Apa lagi di antara kedua calon yang maju sempat ada gejolak populis yang mengangkat isu agama. Kita bisa saja melawan, menentang, dan menegaskan bahwa agama yang digunakan untuk kepentingan politik biasanya memang berbahaya. Kita cukup tahu bahwa pembodohan-pembodohan politik seperti ini sering terjadi karena kuasa yang dimiliki oleh pemuka agama.
Namun, sebenarnya politik itu tidak selalu bicara tentang sistem pemerintahan. Kalau kita pernah baca teori sosial seperti tulisan Michel Foucault, Pierre Bourdieu, dan lain-lain, kita tentu akan menyadari bahwa politik tidak cuma terjadi di pemerintahan kenegaraan saja. Singkat kata, politik sesungguhnya bicara tentang kuasa. Kuasa yang saya maksud di sini sesederhana kalau koster Gereja bilang tidak boleh latihan band di gereja hari ini, anak band terpaksa tidak berlatih di gereja, kecuali anak band lapor ke majelis jemaat kalau kosternya melarang latihan tanpa sebab. Kelihatan bukan hierarki kuasanya? Majelis berada di atas koster, koster berada di atas anak band.
Hal-hal sesederhana ini terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti dosen, guru, atau bos di kantor kita yang belagu, tetapi tidak bisa kita lawan karena nasib kita ada di tangan mereka. Gereja sebagai komunitas pun tidak terluput dari kemungkinan-kemungkinan beroperasinya permainan kuasa ini. Sebagai contoh, koster yang saya jelaskan sebelumnya memang hanyalah contoh kecil dari permainan kuasa. Dia memang sederhana, tetapi mengganggu sekali. Ditambah lagi, masalah di Gereja tidak hanya masalah sepele dan remeh temeh seperti contoh di atas.
Banyak sekali permainan kuasa menggunakan pengalihan cara pandang. Tidak mengherankan kalau kita sering lihat perpecahan antar jemaat yang terjadi cuma gara-gara menentukan rapat berikutnya mau makan lumpia semarang atau lemper! Masalahnya seringkali bukan soal makanannya, tetapi efek kelanjutannya, seperti gosip-gosip yang beredar dan kebiasaan saling menjelekkan hanya karena pertikaian sepele itu. Belum lagi kalau sudah betul bicara pilihan politik kenegaraan. Aduh! Senewen! Kalau begitu apa berarti sebaiknya kita menjadi antipati pada politik?
Dampak dari Antipati Politik
Gereja seringkali kehilangan jemaat karena permasalahan-permasalahan seperti ini. Isu-isu, wacana, dan hegemoni dibuat untuk memeperebutkan kekuasaan di gereja. Dulu bahkan saya sempat dengar ada orang sudah masuk Kristen beberapa bulan, tetapi karena isu palsu yang disematkan ke pendetanya, orang tadi memilih untuk berhenti jadi orang Kristen. Perasaan sesal pada sosok yang ia kagumi muncul karena kebohongan-kebohongan seperti itu. Celakanya, kesadaran tentang permainan wacana seperti ini seringkali tidak dipahami, bahkan tidak ada dalam cara berpikir jemaat. Sah-sah saja rasanya untuk bilang bahwa permainan isu ini jadi seperti bisikan setan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa memang pemuka agama mungkin menjadi semena-mena ketika ia memegang kuasa ‘politis halus’ terkuat. Namun, dengan main isu-isu seperti contoh di atas, nyatanya jemaat dapat menjatuhkan pendetanya. Kalau begini terus, lama-lama orang akan semakin takut untuk menjadi Kristen, karena alih-alih menjadi sarana untuk saling mendekatkan dan beribadah, komunitas agama justru menjadi tempat berebut kuasa dan kepentingan. Siapa yang diuntungkan di sini? Ini pertanyaan retoris.
Oleh karena itu, sebenarnya kesadaran jemaat—khususnya anak muda yang sekarang lebih terdidik—pada politik menjadi semakin relevan, karena tanggung jawab kita adalah untuk menjaga gereja dari permainan kotor politis yang dapat merugikan kepentingan Tuhan dan kepentingan bersama. Melek politik berarti memahami mekanismenya, agar gereja dapat menghindari persoalan-persoalan remeh temeh yang dapat dibesar-besarkan.
Saranku untuk Pemuda GKI se-Indonesia
GKI dalam konfesinya menyatakan bahwa keberadaan GKI adalah sebagai institusi yang kontekstual. Jemaat didorong untuk mengerjakan ladang Tuhan, sesuai konteks zamannya, sesuai konteks kedaerahaannya. Permasalahan seperti ini menjadi karakteristik pekerjaan kita bersama. Karena itu, sebelum mengerjakan ladang ini, lazim bagi kita untuk belajar tentang ilmu-ilmu politik. Ilmu politik tidak melulu serius, kok! Contoh-contoh kasus yang seringkali muncul dalam kelas-kelas ilmu politik malah seringkali menggelitik dan menyadarkan kita akan betapa lucunya kehidupan kita sebagai manusia.
Untuk mewujudkan anak muda GKI yang melek politik, saya rasa perlu sebuah pembaruan dalam program kerja GKI bagian pembinaan. Saya sempat menilik kawan dari gereja sebelah di Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist Salemba, Jakarta yang rutin setiap rabu mengadakan diskusi untuk topik-topik sosial seperti filsafat, sosiologi, dan politik. Ide ini sempat muncul ketika saya ngobrol santai sambil ngopi sedap senja-senja gitu dengan rekan kerja saya di Komisi Informasi dan Komunikasi GKI Manyar, Surabaya. Itu adalah sebuah diskusi politik yang santai, tetapi menjadi pembicaraan yang berfaedah.
Saya berharap GKI, sebagai gereja yang kontekstual, mewujudkan dirinya sebagai gereja yang mendidik anak mudanya tentang ilmu politik. Supaya kelak, gereja kita enggak cuma besar di iman sendiri-sendiri, tetapi juga menjadi terang yang mengayomi banyak orang lewat kemampuan kendali masalah yang lebih hebat dan sistematis.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: