Mungkinkah kita menolong orang “asing” yang hadir di depan kita dengan kadar seperti mengasihi orang-orang yang masuk dalam daftar favorit?
Pilih yang Mana…?
Pilih pacar atau adik?
Pilih melakukan ini atau itu?
Pilih dia atau dia?
Berbagai pertanyaan pilihan akan selalu muncul dalam hidup. Ada yang mudah, seperti pilih makan pecel atau rawon, atau dicampur saja jika kita mau. Namun ada juga pilihan yang tak mudah untuk dijawab.
Seperti ilustrasi komik yang dibuat oleh Jevon Jeremy di atas, pilihan juga hadir dalam hal mengasihi. Ketika bersama yang lain, mungkin kita hanya bisa mewujudkan kasih sekitar 30%; namun bersama kekasih, semuanya bisa kita berikan: uang, tenaga, waktu, pikiran. Tidak bisa dipungkiri, kita–saya dan (mungkin) sebagian Ignite people–pernah mengasihi orang lain dengan kadar favoritisme yang beragam.
Favoritisme dalam Mengasihi, Wajarkah?
Dalam mendengarkan karya musik di gawai, kadang-kadang kita membuat playlist kita sendiri, atau memberi tanda favorit pada lagu yang disukai. Sortir-menyortir terjadi, dengan alasan jenis musiknya menurut kita asyik untuk joget, mungkin karena lirik lagunya cocok dengan pengalaman hidup, atau mungkin juga rupa dari penyanyi maupun pemain musiknya punya fisik yang memesona.
Hal yang–kurang lebih–sama juga terjadi ketika kita memilih beberapa orang yang masuk dalam kategori favoritisme untuk kita kasihi; tersusun pula dari beragam variabel. Mungkin kita akan lebih mau mengasihi seseorang karena dia telah banyak membantu kita, dan berpotensi membantu kita lebih lagi di jauh hari. Mungkin juga kita akan mau menolong orang lain karena telah lama mengenalnya. Bisa jadi kita juga cenderung memilih meminjamkan telinga kepada orang yang memiliki sebuah identitas yang sama–bukan berbeda–dengan kita: mulai dari satu kantor kerjaan, satu kampus, satu kelas, satu persekutuan... dan masih banyak variabel lain yang menjadi kemungkinan lainnya.
Realitanya, jika orang-orang yang penuh kepenatan (bisa dilihat dari jumlah tulisan anonim yang semakin bertambah) termasuk dalam daftar teman favorit, tentu kita berusaha menolong–setidaknya dengan menjadi pendengar yang baik. Entah orang tersebut pacar maupun sahabat dekat–yang kita anggap spesial pakai telur–maka kita akan selalu ada bagi mereka–layaknya asuransi dengan jargon, “Always listening, always understanding.” Sekali lagi, ada favoritisme dalam mengasihi yang–tidak bisa dipungkiri (mungkin)–pernah kita hidupi.
Namun apa yang terjadi jika ada seseorang yang kita baru saja kenal, belum pernah berjasa bagi kita dan tidak berpotensial membantu kita di waktu mendatang, dan berbeda identitas dengan kita, datang dan menyatakan bahwa dia membutuhkan kasih dari kita–setidaknya untuk didengarkan? Akankah kita mengasihi orang tersebut? Mungkinkah kita menolong orang “asing” yang hadir di depan kita dengan kadar seperti mengasihi orang-orang yang masuk dalam daftar favorit?
Bisakah Kita Mengasihi Melampaui Sekat Favoritisme?
Sekat-sekat favoritisme dalam mengasihi sudah ada sejak zaman dahulu kala, mungkin sejak era manusia hidup dalam kesukuan mereka; yang tentu mendahulukan suku asal mereka. Hal yang sama terjadi di zaman ketika Yesus hidup; di mana terdapat sekat-sekat antarkelompok sosial yang terbentuk, yaitu Kaum Zelot, Kaum Sicarii, Kaum Herodian, para ahli Taurat, para imam, orang Farisi, orang Saduki, orang Proselit, Kaum Eseni, dan rakyat jelata. Setiap kelompok hidup dalam budaya yang mereka bentuk dan memiliki pilihan untuk lebih mengasihi kelompoknya masing-masing.
Suatu hari, percakapan antarkelompok sosial itu pun terjadi, diwakili oleh para ahli Taurat dengan Yesus (Lukas 10: 25-37). Sebagai intinya inti, ahlinya ahli dalam membaca kitab dalam bahasa Yahudi maupun Aram, mampu menafsirkannya dalam berbagai aturan budaya Yahudi dan dianggap petinggi bidang kerohanian, sosok tak bernama tersebut menanyakan, “Siapakah sesamaku manusia, yang layak kukasihi?” Pertanyaan tersebut dilontarkan kepada Yesus orang Nazaret, orang dari kota kecil dan yang pengikut-Nya juga sebagian besar adalah orang-orang kelas bawah. Yesus pun menjawabnya dengan narasi cerpen (pasti seru kalau Yesus masih di dunia dan nulis cerpen di Ignite GKI!) tentang orang Samaria yang murah hati.
Kisah itu dimulai dengan seseorang yang menjadi korban perampokan dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Nahasnya, imam dan orang Lewi–yang juga punya kedudukan tinggi dalam keagamaan Yahudi seperti ahli Taurat–memilih untuk tidak menolong orang malang tersebut; entah karena perbedaan status sosial, alasan ketahiran mereka sebagai petinggi agama, ataupun ragam alasan lain.
Cerita pun bergulir dengan penambahan tokoh Samaria, yang kelasnya lebih rendah dibandingkan para petinggi agama tadi. Seolah tidak peduli akan isu identitas, ketika orang Samaria melihat orang yang terluka parah di depan matanya langsung, dia tergerak oleh belas kasihan. Dia merawat dan menginapkan korban perampokan itu, tanpa ada alasan dia memilih untuk menolong dan berbelas kasih. Bisa dilihat, tidak ada sekat favoritisme yang tergambar dari kisah orang Samaria tersebut.
Yesus pun mengakhiri ceritanya dengan balik bertanya kepada sang ahli Taurat. Sebuah pertanyaan bukan tentang siapa yang layak dikasihi, melainkan tokoh manakah yang mewujudkan kasih bagi sesama. Jawaban yang tepat pun tersampaikan dan Yesus memintanya untuk berbuat sesuai apa yang dia pahami: Mewujudkan kasih bagi sesama tanpa memandang sekat-sekat sosial.
Kasih yang Melampaui Kewajaran Favoritisme
Tentu bukanlah hal yang salah ketika kita memiliki favoritisme dalam mengasihi, itu sesuatu yang wajar dan manusiawi. Namun akan jauh lebih baik lagi ketika kita bisa mengasihi melampaui batas favoritisme. Kita tidak perlu bertindak muluk-muluk bisa menolong semua orang seperti superhero, tapi kita bisa belajar mengasihi orang yang telah Tuhan tempatkan di sekitar kita–di manapun dan kapanpun itu. Kita bisa memulainya dengan memekakan diri sendiri terhadap lingkungan, menggunakan pancaindra yang kita miliki, serta menggunakan hati dan hikmat yang bersumber dari Tuhan dalam mengasihi.
Sosok Desmond Doss, salah seorang prajurit Amerika–yang kisahnya diangkat dalam film Hackshaw Ridge–menginspirasi saya akan daya juang untuk mengasihi melampaui batasan favoritisme. Pada awal pengalamannya saat berada di camp pelatihan, banyak rekannya yang menghina, mem-bully dan memukulnya karena tidak mau mengangkat senapan. Meski demikian, pengalaman pahit tersebut tidak berpengaruh pada peran Doss sebagai tentara medis ketika berada di medan perang. Dia tetap menolong orang-orang yang terluka, padahal dulu mereka meremehkannya. Lebih dari itu, di luar batasan sosial sebagai warga negara Amerika, Doss pun juga tercatat menolong tentara Jepang, musuh negaranya, yang terluka parah–bahkan mengobatinya! Doss hanya berpikir, jika dia melihat, mendengar dan merasakan adanya orang yang membutuhkan pertolongan medis, maka dia akan berusaha sebisa mungkin berjuang mengobatinya.
Kisah yang tak masuk akal, itulah yang terjadi pada Desmond Doss (yang kehidupan nyatanya diangkat jadi film), maupun tokoh dalam cerita orang Samaria. Narasi kehidupan untuk mengasihi lebih dari batasan favoritisme juga dapat terjadi dalam diri kita, ketika kita belajar terus-menerus menghidupi kasih Allah yang lebih dahulu bersifat universal. Jika kita telah berhasil mengasihi orang yang terpilih dalam daftar favorit, maka kita juga harus berjuang menyediakan diri bagi orang-orang di sekitar kita–yang jiwanya berteriak membutuhkan pertolongan. Brighten the corner where you are!
Collaboration:
Article by Ari Setiawan
Comic by Jevon Jeremy
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: