Menanti Lampu Hijau dari Orang Tua Bagiku dan Dia

Best Regards, Live Through This, 07 May 2019
Aku mulai belajar berdoa bagi dia lagi dan membangun pengharapan di dalam Tuhan di atas puing-puing idealismeku—karena hei, aku tidak dapat menaruh kepercayaanku pada pribadi selain Tuhan, bukan?

Aku yakin ada banyak ulasan mengenai “bagaimana mencari pasangan hidup yang tepat”, “memaksimalkan masa lajang”, maupun “menjaga kekudusan hidup selama berpacaran”. Tapi menurutku, ada satu yang jarang dibahas kebanyakan orang: apa yang harus dilakukan selama menunggu lampu hijau dari orang tua bagi seseorang untuk berpacaran. Ya, satu topik yang sering dipertanyakan, namun tidak ada jawaban secara bakunya. Akan kucoba membagikan pengalamanku. Enjoy it. :)


--**--


25 Februari 2013 adalah awal cinta kami bersemi. Saat itu, aku mendiskusikan permasalahanku kepadanya dalam sebuah acara yang diadakan gereja kami. Kami sudah saling kenal sebelumnya, namun peristiwa itu menjadi momen pertama kalinya aku curhat padanya.

Siapa sangka, obrolan kami terus berlanjut. Dia tetap mau berbalas pesan denganku, dan terutama saat aku dan teman lelakiku itu perang dingin. Setelah itu, hubungan kami justru menjadi semakin dekat. Pendek kata, aku benar-benar merasakan kehadirannya sebagai seorang kakak yang mengayomi adiknya.

Tapi yang membuatku speechless adalah ketika aku menangis karena tidak sanggup mempelajari avertebrata sebelum UAS Biologi. Si kakak tidak mengirimiku SMS motivasi semangat yang “lucu”. Tidak. Dia justru mengirimiku ayat dari Roma 5:3—5 dan memintaku beristirahat kalau memang sudah sangat lelah.

Di situlah aku mulai tertarik padanya.


Photo by Siora Photography on Unsplash 


Beberapa minggu kemudian, 18 Juli 2013 malam, akhirnya kami saling jujur tentang perasaan kami. Aneh rasanya kalau mengakuinya hanya lewat Whatsapp, tapi aku merasakan kelegaan karena semuanya jadi jelas: aku dan dia saling memiliki rasa terpendam. Setelah itu, kami berkomitmen saling mendoakan dan menggumulkan selama dua tahun (sampai aku lulus SMA) sebelum memutuskan langkah selanjutnya.

Lalu semuanya berlanjut bahagia, bukan?

Tidak juga.

Justru itulah satu titik yang mengubah kehidupan kami: mengenai persetujuan orang tuaku (khususnya).


--**--


Siapapun pasti membenci ketidakpastian, terlebih aku yang melankolis ini. Kesal ketika kupikir harus menunggu dua tahun. Belum lagi ada banyak naik-turun dalam pergumulan kami; salah satunya mengenai kondisi fisiknya yang berbeda—meskipun kerohanian maupun karakternya membuatku salut padanya.

Kami juga harus memberitahu orang tua dan pembimbing rohani masing-masing, tentang masa mendoakan sebagai calon pasangan hidup. Masalah semakin rumit karena banyak orang mulai “mencium” hubunganku dengan nyateman lelakiku itu. Begitu berat rasanya buatku menyampaikannya, sampai aku merasa perlu membuat surat bagi Papa dan Mama. Awalnya orangtuaku kaget atas surat itu, tapi respons mereka berbeda jauh.


Photo by Daniel Cheung on Unsplash 


Mama memintaku untuk memikirkannya lagi, sekaligus jadi lebih sayang pada dia. Sedangkan Papa justru mengatakan, “Ya kalau ada apa-apa bilang langsung, dong. Nggak mau pakai surat begini.” Rasanya seperti ada panah menghujam jantung. Yang lebih parah, suatu waktu dia memberi kami bandeng sebagai oleh-oleh. Aku memang tidak memberitahu keluargaku langsung karena mereka sedang tidur siang. Tapi apa respons Papaku? “Bilang sama dia, besok lagi nggak usah kasih apa-apa kalau ke sini!” ujarnya dengan keras—mengakibatkan air mataku mengalir deras.

Respons keras Papaku adalah satu dari dua alasan mengapa aku takut berjalan bersamanya. Berulang kali aku minta berhenti dari masa pergumulan, dan dia selalu membalasnya dengan cara yang sama, “Nggak. Aku nggak mau kita berhenti, Vin.” Entah berapa kali aku menganggapnya sebagai pria yang egois dan tidak mau peduli pada kondisiku. Saat aku curhat pada pembimbingku, dia hanya berkata, “Sabar, ya. Dijalani aja dulu sambil terus doa ke Tuhan.” Aku protes dalam hati, “Orang bisa bilang gitu karena mereka nggak ngerasain apa yang kurasain!”

Ironis, seorang pengurus Komisi Remaja—yang seharusnya bisa mengayomi teman-teman—justru terlibat dalam permasalahan cinta rumit seperti ini. Mungkin itu sebabnya seorang pembimbing kami pernah berkata untuk tidak pacaran dulu bila belum siap, dan itu benar. Jangankan pacaran, untuk masa pergumulan ini saja aku berulang kali ingin berhenti—meskipun pada akhirnya masa itu selalu bisa berlanjut lagi.

Photo by Ken Treloar on Unsplash 


Tapi apa dia memang seegois itu? Kalau ya, kenapa kamu nggak berhenti dari awal?


Sebenarnya dia tidak seperti itu. Hanya saja, otakku yang pesimis dan malu ini beranggapan demikian. Pada kenyataannya, dia sangat peduli. Dia (dan pembimbingku) pula yang memberiku semangat untuk mendaftar dan melayani sebagai penulis Saat aku bergumul dengan suicide thoughts, dia juga ada bersamaku. Aku menyadari, Tuhan memakainya untuk mengingatkanku betapa berharganya aku di hadapan-Nya.

Pelan tapi pasti, aku mulai mengubah skema di otakku tentang dia: he is not perfect, but he is loved by Heavenly Father. Why should I hurt him? Aku mulai belajar berdoa bagi dia lagi dan membangun pengharapan di dalam Tuhan di atas puing-puing idealismeku—karena hei, aku tidak dapat menaruh kepercayaanku pada pribadi selain Tuhan, bukan? Lewat lagu, doa, dan bacaan kami, Tuhan terus kuatkan kami untuk tidak menyerah, walaupun Papaku bereaksi keras.


Setelah dua tahun terlewati (dengan naik-turunnya emosi), akhirnya hari untuk memperoleh lampu hijau itu tiba

.

.

.
atau setidaknya, begitulah pemikiranku.


Photo by Annie Spratt on Unsplash 


Ternyata, Papaku berkata, “Jangan pacaran dulu. Kamu masih perlu mengenal teman-teman di tempat kuliah, kan? Cowok baik itu nggak cuma dia.”

Perkataan beliau langsung membuatku kabur ke kamar dan menangis keras—sampai membuat Mamaku (yang baru saja pulang dari persiapan guru sekolah Minggu) heran. Belakangan, Mamaku mengetahui banyak hal tentang temanku itu. Yap, aku langsung menceritakan semua yang terjadi dalam “obrolan kursi panas” antara aku dan Papaku pada teman laki-lakiku itunya. Dia ikut kaget, tapi dengan segera dia juga menyemangatiku untuk tetap bertahan. Aku bersyukur karena dia bersedia menunggu selama satu tahun lagi.

Pertengahan 2015 menuju pertengahan 2016 berjalan dengan sangat cepat. Mungkin karena asyiknya proses adaptasi di kampus dan dinamika pergaulan dengan teman-teman baru. Akhirnya pada awal Juli 2016, aku kembali menanyakan pendapat orangtuaku mengenai hubunganku dengan dia. Puji Tuhan, mereka memberikan lampu hijau. Penantian kami akhirnya terjawab dengan manis. Tanggal 14 Juli 2016, empat hari sebelum tiga-tahun-masa-pergumulan kami, menjadi hari di mana kami memulai hubungan sebagai kekasih :) It’s only by His grace, dan karena itulah kami rindu untuk menolong teman-teman lainnya dalam proses pergumulan akan pasangan hidup.


Photo by Inna Lesyk on Unsplash 


Proses selanjutnya dalam hubungan kami tentu tidak mudah juga, termasuk untuk mendapat penerimaan lebih jauh. Namun, aku bersyukur karena Tuhan masih menyertai kami untuk berproses bersama hingga sekarang, ketika Papaku juga mulai bersedia menerima. Selain Mamaku yang sangat menyayangi calon menantunya ini, aku juga bisa melihat keramahan orang tua pasanganku. Bila menoleh ke belakang, aku tidak bisa memungkiri bahwa bukan karena usaha kami yang membuat kami bertahan; melainkan hanya karena kasih karunia Tuhan. Aku juga percaya, lebih baik bagi kita untuk jujur pada otoritas kita (baik orang tua, pembimbing, pendeta, dll.) mengenai relasi kita dengan “si dia” daripada backstreet seterusnyaterlalu lama. Pertimbangan dari mereka mungkin agak menyakitkan, namun bukankah justru di situlah kita dapat belajar untuk menaati otoritas.

Cerita cinta kami masih belum selesai, namun kami percaya Sang Penulis setia dan selalu mengarahkan kami untuk tetap berjalan dalam rencana-Nya. Bagaimana denganmu? Apakah kamu ingin menyerahkan pena cerita cintamu pada Tuhan, meskipun jalannya tidaklah selalu mulus?


Percayalah kepada TUHAN selama-lamanya, sebab TUHAN ALLAH adalah gunung batu yang kekal. (Yesaya 26:4 TB)




Kepadamu, wahai calon pangeranku,
terima kasih karena telah bersedia duduk dan berproses bersama di ruang tunggu itu :)
Selamat memasuki ruang tunggu berikutnya, di mana di dalamnya Sang Maestro Kehidupan akan terus membentuk kita menjadi seperti yang Dia inginkan.



LATEST POST

 

Respons terhadap Progresive ChristianityIstilah progresive Christianity terdengar belakangan ini. Ha...
by Immanuel Elson | 19 May 2024

 “…. terpujilah kebijakanmu dan terpujilah engkau sendiri, bahwa engkau pada hari...
by Rivaldi Anjar | 10 May 2024

Tanpa malu, tanpa raguTanpa filter, tanpa suntinganTiada yang terselubung antara aku dan BapaApa ada...
by Ms. Maya | 09 May 2024

TAGS

 

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER