Apresiasi yang Yesus berikan pada Zakheus mengingatkan saya pada suatu pendekatan dalam mengembangkan organisasi yaitu Pendekatan Appreciative Inquiry (AI).
Appreciative Inquiry dipakai sebagai nama atas metode yang diterapkan oleh Cooperrider dan Srivastva, dua orang yang bergerak di bidang Organizational Behavior , saat melaporkan hasil penelitian mereka tentang mengembangkan kinerja di suatu klinik yang mereka teliti. Awalnya mereka melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan problem solving , tetapi ternyata prosesnya menjadi melelahkan karena ada banyak kekurangan yang ditemukan dan tidak mudah untuk menemukan solusinya. Satu selesai, tetapi masih banyak masalah serta kekurangan yang lain.
Terinspirasi dari pemikiran A. Schweizer mengenai hormat terhadap kehidupan, mereka kemudian mengganti fokus penelitian mereka. Mereka berfokus pada apa saja yang menghidupkan, yang memberdayakan dan mendinamisasikan sistem, serta yang meningkatkan dan mengoptimalkan kinerja di klinik tempat mereka meneliti. Mereka memfokuskan pertanyaan dan galian mereka pada akar keberhasilan, bukan lagi akar masalah ataupun kekurangan. Dengan metode demikian, muncul hasil yang berbeda. Relasi dan hasil kerja berkembang sangat baik. Metode ini pun banyak dipakai untuk mengembangkan organisasi-organisasi serta komunitas di berbagai bidang.
Apa yang Yesus lakukan pada Zakheus adalah sebentuk pendekatan AI. Ia berfokus pada potensi kebaikan yang ditunjukan oleh Zakheus. Yesus bahkan berani datang ke rumahnya meski banyak orang jadi menghina dan menyangsikan apa yang Yesus lakukan. Namun, kita bisa melihat bahwa Zakheus bertobat setelah menerima perlakuan Yesus! Lukas 19:8 menceritakan bahwa Zakheus bertekad membagikan setengah dari hartanya kepada orang miskin. Selanjutnya, ia juga akan mengembalikan empat kali lipat jika ada sesuatu yang ia peras dari seseorang.
Photo by ZSun Fu on Unsplash
Zakheus, sang kepala pemungut cukai yang identik dengan sosok yang mengutamakan kepentingan golongannya/dirinya sendiri, kini berani melepaskan hartanya; ia bahkan jadi memikirkan orang-orang miskin. Ia mau berbagi dengan mereka. Apa yang menggerakkannya? Cinta kasih dan penerimaan dari Yesus atas dirinyalah yang mengubahnya. Cinta kasih dan penerimaan dari Yesus yang ia lihat sebagai apresiasi atas kesediaannya mencari Yesus mengubah kehidupannya. Ia bertobat, ia mengarahkan hidupnya pada Allah, ia percaya bahwa hidupnya akan baik-baik saja meski hartanya berkurang atau mungkin hilang. Itulah pertobatan Zakheus yang mewujud dalam tindakan.
***
Ada banyak orang yang terus-menerus merasa kecil dan berdosa karena tidak dapat melakukan tindakan besar atau hebat semacam puasa penuh selama 40 hari. Bagaimana aku bisa bertobat jika menahan lapar saja aku tidak kuat? Bagaimana aku mengarahkan diri kepada Tuhan jika aku tidak bisa menjadi rohani seperti orang lain? Aku dilahirkan di keluarga yang hidup dengan kekerasan, selalu menekan dan menghina orang lain, mungkinkah puasaku membuatku benar-benar jadi sosok yang bertobat?
Photo by Ben White on Unsplash
Ada banyak orang yang patah semangat untuk bertobat karena melihat pertobatan sebagai sesuatu hal yang tidak dapat diraih. Itu sangat sulit! Ada banyak hal buruk dalam diriku dan aku lelah memperbaiki semuanya! Jika kita berfokus pada hal-hal buruk, pada ketidakmampuan kita untuk berpuasa, pada kisah masa lalu yang menyakiti banyak orang, dan pada kesalahan-kesalahan yang selalu berulang padahal sudah kita cegah, maka kita akan lelah dan berhenti bertobat. Kita akan merasa tidak mampu mengarahkan diri pada Allah. Pada akhirnya, kita akan berhenti berelasi dengan Allah. Hal terburuknya: kita akan berhenti merasakan kebaikan-kebaikan Allah dalam kehidupan kita. Sungguh menyedihkan jika itu yang terjadi pada kita.
Sebagaimana Yesus yang memfokuskan perhatian pada kebaikan dan potensi, alangkah baiknya jika kita memulai langkah yang sama. Sekelam apapun pengalaman manusia, seburuk apapun kebiasaan manusia, dan seberdosa apapun manusia, tetap saja ada kebaikan yang dapat dilahirkan. Pertobatan adalah suatu kombinasi antara niat dan usaha yang tidak pernah putus. Niat dan usaha untuk apa? Untuk melakukan kebaikan. Sekecil apapun itu. Setiap hari kita harus bertobat. Namun, bukankah itu melelahkan? Tergantung cara pandang kita terhadap diri kita. Jika cara pandang kita seperti orang banyak melihat Zakheus, tentu kita tidak akan mampu bertobat. Akan ada banyak hal yang kita ubah, kita hapus, atau kita hilangkan dari diri kita. Dan itu tidak dapat kita lakukan. Kemudian, pertobatan hanyalah utopia bagi kita. Namun demikian, jika kita melihat diri kita seperti Yesus melihat Zakheus, pasti beda ceritanya. Yesus memberikan apresiasi yang besar pada kebaikan kecil yang dilakukan Zakheus! Yesus melakukan pendekatan AI untuk mendorong Zakheus pada pertobatan, dan hasilnya begitu memukau.
Kalender 40 Hari Niat Baik dapat dimaknai dalam kerangka demikian. Ketika niat dan usaha kita untuk bertobat kita wujudkan dengan terus menghargai dan mengapresiasi kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan, kita tidak akan lelah bertobat. Kita akan terus bergerak dan bergerak. Kita tahu bahwa kebaikan yang kita lakukan adalah sebuah upaya kita untuk mengarahkan diri pada Allah. Sekarang mungkin baru kebaikan kecil, tapi besok dan selanjutnya kita semakin mendorong diri kita pada kebaikan yang tidak hanya berdampak pada diri sendiri tetapi kepada orang banyak seperti Zakheus yang merasa diberkati Yesus kemudian memberkati orang lain.
Photo by Arnaud Jaegers on Unsplash
Kalender 40 Hari Niat Baik yang dibuat oleh beberapa gereja di masa Pra-Paskah tahun ini merupakan upaya yang sangat baik untuk membangun paradigma yang berbeda tentang bertobat. Bertobat merupakan panggilan bagi kita setiap umat Tuhan yang lemah dan terbatas. Namun, jika kita terus berfokus pada kelemahan, keterbatasan dan kesalahan, kita tidak akan mampu melihat hal baik yang bisa kita lakukan sebagai upaya pertobatan. Menjadualkan tindakan kebaikan sederhana di tiap hari adalah suatu cara bagi kita untuk melihat bahwa ada banyak kebaikan yang sebenarnya mampu kita lakukan meskipun kita orang yang berdosa. Kita bisa melakukan kebaikan bagi diri sendiri, orang-orang terdekat, ataupun tumbuhan dan hewan di sekitar kita. Kita bisa melakukan kebaikan bagi negara kita meski kita hanya rakyat biasa.
Kebaikan yang kita lakukan adalah upaya kita untuk mengarahkan diri kepada Allah. Tidak apa jika kebaikan itu belum berdampak besar, jangan cepat-cepat mengeluh dan membandingkan diri dengan orang lain. Percayalah, kebaikanmu itu berkenan di hadapan Allah. Ia mengapresiasimu! Lakukanlah kebaikan lagi dan lagi, bukan hanya 40 hari namun setiap hari!
Photo by Arnaud Jaegers on Unsplash
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: