Bagaimana jika larangan ke gereja justru menjadi kesempatan bagi kita untuk "menemukan Tuhan" dalam hidup sehari - hari?
Beberapa waktu lalu saya memesan sebuah buku berjudul "Labirin Kehidupan" karya Pdt. Dr. Joas Adiprasetya (GKI Pondok Indah dan Dosen STFT Jakarta). Saya pertama dikenalkan pada buku ini saat dibahas sebagai bahan renungan di Persekutuan Pemuda kami.
(Sumber: Goodreads)
Pdt. Joas melalui buku ini mengajak kita semua untuk "berjumpa" dengan Tuhan pada kehidupan keseharian kita. Buku ini berisi tulisan - tulisan singkat, dalam 30 bab terpisah yang sangat indah untuk dihayati. Buku ini sudah tersedia juga edisi keduanya.
Momen isolasi COVID-19 ini, barangkali menjadi momen terbaik untuk melaksanakan isi dari Labirin Kehidupan.
DILARANG KE GEREJA DAN KUMPUL - KUMPUL !
Saat saya mempelajari tentang pola penyebaran COVID-19, sebenarnya virus ini tidaklah terlalu berbahaya jika tubuh kita bugar dan tidak mempunyai riwayat penyakit. Bahkan pada korban berusia muda, kemungkinan sembuhnya masih tinggi.
(kemkes.go.id)
Hanya saja, yang jadi masalah terbesar sebenarnya tingkat kecepatan penyebarannya yang sangat tinggi. Terlihat sekali di Indonesia, dari awalnya 2 orang yang positif, sekarang meningkat jadi ratusan; hanya karena ada riwayat kontak saja dengan yang terjangkit, dari tempat konser, tempat wisata, hingga kapal pesiar.
Tempat hiburan ditutup sementara, kegiatan yang berpotensi mengundang khalayak ramai seperti konser, pameran, ibadah, semua dihentikan.
Oh bentar, tempat ibadah ? Iya, bahkan Ibadah Mingguan rutin saja tidak boleh, segala aktivitas yang terkait dengan kumpul orang lebih dari 50 juga dihentikan sementara.
Di awal pengumuman larangan ini sempat menuai kritikan dan protes di kalangan jemaat. Jangankan soal larangan ibadah, dilarang bersalaman saja sudah menuai protes dan "nyinyir". Kok gereja takut ? Kok gereja tidak percaya Tuhan melindungi kita ? Kok salaman tidak boleh ?
"Kan Saya Masih Muda, Saya baca Penelitiannya Gakpapa Kok, Bisa Cepet Sembuh"
Kita yang berusia di bawah 50 tahun tak sedikit yang jumawa karena tidak terlalu rentan dengan virus ini, apalagi jika kita rajin berolahraga dan sudah menjalani pola hidup sehat, sudah pasti kekebalan tubuh baik dan tidak rentan.
Masalahnya di gereja kita bertemu dengan orang dari berbagai macam latar belakang riwayat penyakit, pekerjaan, dan tempat tinggal, yang tidak kalah rentannya. Sekali lagi, yang berbahaya dari virus ini adalah tingkat penyebarannya.
(hidupkatolik.com)
Mungkin kita sehat, andai kita terjangkit virus paling hanya seperti flu atau demam biasa, tapi bayangkan andaikata kita duduk di gereja dengan kakek / nenek kita, atau di sebelah kita seorang lansia dengan riwayat penyakit khusus yang akan makin parah jika sampai tertular virus. Atau setelah dari gereja, kita bertemu dengan kakek / nenek kita dan bersalaman dengan mereka.
Inti dari ibadah Mingguan di gereja adalah kita bersekutu menyembah Tuhan dengan saudara seiman, tapi hal itu tentu saja tidak mengabaikan aspek kepedulian terhadap saudara seiman.
Malah sebaliknya : Karena ini ibadah komunal, harusnya kita lebih peduli dengan mereka yang rentan. Bukankah menghindari kontak supaya tidak menyebarkan penyakit juga bentuk kepedulian terhadap saudara seiman yang lebih rentan ? Bukankah Yesus mengajarkan kita mengasihi mereka yang "rentan" ?
"Ke Gereja kok Live Streaming ? Kan Saya ke Gereja Mau Ketemu Tuhan! Tidak ke Gereja berarti Tidak Bertemu Tuhan, terus Pelayanan Saya Gimana ?"
Suka tidak suka, ada banyak orang yang memang menganggap ibadah itu ya di gereja, di luar gereja itu ibadahnya "nggak sah". Di gereja, orang merasa lebih merasakan hadirat Tuhan. Gereja menjadi satu - satunya tempat dimana banyak orang merasa "ketemu Tuhan".
(crosswalk.com)
Ironisnya, orang yang berpikir seperti ini seringkali juga menganggap ke gereja sebagai pelarian spiritual karena lelah dengan yang "duniawi". Akibatnya, jadi muncul pemisahan antara yang rohani dan non-rohani / sekuler. Hal - hal rohani itu tempatnya di gedung gereja, di luar gereja ya tidak rohani.
Selain itu, mari kita berpikir ulang tentang motivasi kita ke gereja. Kepada siapa kita berfokus ? Semua ngakunya fokus ke Tuhan, padahal jika kita amati :
"Saya ke gereja karena saya ingin bertemu Tuhan, saya ke gereja karena saya ingin melayani Tuhan. Saya tidak suka kalau kebaktian live streaming karena saya merasa tidak khusyuk."
Fokusnya adalah saya, bukan Tuhan. Karena jika fokus kita beneran kepada Tuhan, kita tak akan membatasi relasi kita denganNya hanya sebatas di dalam tembok gereja.
Pdt. Joas di buku Labirin Kehidupan, mengajak kita untuk melepaskan pemikiran itu. Tuhan itu ya ada dimana - mana, ia tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu.
Seringkali bukan Tuhan yang tak berbicara kepada kita, kitanya yang membatasi kapan dan dimana Tuhan berbicara.
Bukankah peristiwa terbelahnya tirai bait suci saat Yesus wafat di kayu salib menyiratkan sebuah pesan, bahwa Allah dapat ditemui oleh siapa saja, dan kapan saja (Di saat peraturan Agama Yahudi saat itu memberi batasan bahwa yang boleh masuk ke Bait Suci adalah para imam dan pemimpin agama)?
Nas : Mat 27:51
Terbelahnya "tabir Bait Suci" (bd. Kel 26:31-33; 36:35) menunjukkan bahwa jalan kini terbuka lebar untuk menghampiri Allah. Tabir yang memisahkan Tempat Kudus dengan Tempat Mahakudus sebelumnya menghalangi orang menghampiri hadirat-Nya. Melalui kematian Kristus, tabir itu disingkirkan dan jalan menuju Tempat Mahakudus (yakni kehadiran Allah) kini terbuka bagi semua orang yang percaya kepada Kristus dan Firman-Nya yang menyelamatkan (bd. Ibr 9:1-14; 10:19-22).
(dikutip dari alkitab.sabda.org)
Ibadah di Rumah : Momen "Sabat" bagi Kita Semua
Hari Sabat atau hari perhentian, adalah hari yang "dikhususkan" Tuhan untuk kita nikmati bersamaNya, momen kita berhenti sejenak dari rutinitas, dan barangkali, bergereja juga sudah menjadi sebuah rutinitas yang tak lagi istimewa.
Bagi kita yang "anti tidak ke gereja", pada masa - masa dilarang ke gereja ini, mari kita merenungkan pertanyaan lebih penting :
Apa yang ingin Tuhan Sampaikan pada Kita melalui Peristiwa Ini ?
Untuk saya, momen perhentian seperti ini justru bagus untuk merenungkan relasi kita dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan.
"Apakah selama ini Tuhan hanya saya batasi dalam bayang tembok gereja dan benda - benda yang saya khususkan untukNya ?"
"Apakah saya sudah memperdulikan sesama saya ? Apakah selama ini saya hanya memuji Tuhan dengan semangat dan salaman dengan sebanyak mungkin orang, tanpa memikirkan dampak negatif dari euforia ibadah saya ? Siapa saja yang selama ini terlewat saya perdulikan karena terlalu sibuk dengan rutinitas?"
"Apakah selama selama ini rutinitas saya, seringkali tidak membawa dampak positif, tapi justru merusak apa yang sudah Tuhan karuniakan untuk saya kelola dengan baik ?"
Marilah kita merenungkannya.
Selamat melakukan "Sabat".
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: