“Saya mau jadi Ultraman.. “ ujar Reita dengan mantap dan tanpa malu sambil membentuk tanda salib dengan tangan di depan dadanya sambil berdiri di tengah-tengah teman sekelas dan mengatakan cita-citanya saat perpisahan kelas 6 SD.
Luna hanya bisa memalingkan wajahnya sambil menutup mata, menghindari kumpulan debu ringan yang beterbangan dan menyerangnya tepat di wajah ketika habitatnya mulai diusik oleh Luna yang ingin membereskan gudang - ruangan berdebu yang menyimpan berbagai barang yang penuh memori dan cerita dengan berbagai rasa yang mengiringi.
Ada rindu yang berkumpul dan berkembang ketika ia menemukan foto lawas yang memang sedari tadi dicarinya. Foto dua orang anak perempuan yang seumuran dengan tangan membentuk salib di depan dada. Foto lama itu cukup untuk membuat Luna mengacuhkan sekumpulan debu yang sedari tadi menyerangnya dan menganggap mereka tidak pernah ada.
**
Luna tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya yang sakit karena terus-menerus tertawa melihat tingkah laku Reita yang sedari tadi sibuk menerjang anak laki-laki yang lewat sambil membentuk simbol salib di depan dadanya.
“Mati kamu monster.. “ ujar Reita penuh semangat. Beberapa anak laki-laki ‘menangkis’ serangan Reita dengan membentuk tanda salib yang sama, namun tidak sedikit juga yang langsung terkapar dan pura-pura mati seolah mereka terkena serangan Reita dengan telak.
“Yee.. Ultraman menang,” ujar Reita penuh semangat ketika melihat mereka jatuh dan ‘kalah’.
Luna dan Reita saling mengenal sejak mereka masih duduk di sekolah dasar dan menjadi sahabat dekat meskipun memiliki karakter dan latar belakang yang sungguh bertolak belakang. Reita adalah anak yang bersemangat, tomboy, dan penggila Ultraman nomor satu. Orang tuanya adalah salah satu pengusaha besar yang terkenal. Sementara Luna hanyalah anak pendiam dan kutu buku yang suka berenang. Ia bisa bersekolah di sekolah itu karena ayahnya yang notabene adalah salah seorang pegawai tata usaha di sekolah tersebut.
“Saya mau jadi Ultraman.. “ ujar Reita dengan mantap dan tanpa malu sambil membentuk tanda salib dengan tangan di depan dadanya sambil berdiri di tengah-tengah teman sekelas dan mengatakan cita-citanya saat perpisahan kelas 6 SD. Ucapan tersebut disambut oleh tawa keras dari seisi kelas, termasuk dari Luna kala itu.
Namun siapa sangka kalau Reita terus memegang teguh cita-citanya. Dari SD, SMP, SMA, hingga ia masuk Perguruan Tinggi Negeri, Ia selalu memberikan jawaban yang sama kepada siapapun yang bertanya tentang mimpi dan cita-citanya tanpa peduli bagaimana reaksi orang atas jawabannya yang memang agak nyeleneh tersebut.
“Jadi cahaya.. “ jawab Reita suatu ketika saat Luna menanyakan apa maksud menjadi Ultraman yang selalu didengungkannya sejak kecil. Ya, bagi Reita, Ultraman bukan hanya sosok superhero berbadan raksasa yang bertugas melawan monster. Ultraman adalah representasi cahaya yang berarti simbol sebuah harapan untuk suatu hal yang lebih baik nantinya.
Reita lalu menceritakan pengalamannya dulu ketika sering diajak ayahnya berkeliling ke kampung-kampung dimana banyak anak sebayanya sudah bekerja dari pagi hingga malam, tanpa tahu bagaimana rasanya bersekolah; hanya modal tenaga atau keahlian tertentu, entah itu jadi tukang, berkebun, atau menjadi pembantu rumah tangga. Bahkan ada beberapa orang yang memilih kerja di negeri orang tanpa dokumen dan surat-surat yang jelas. Ada beberapa yang sukses, ada juga yang memilih untuk kembali pulang, atau ada juga yang hilang tanpa kabar, hingga pulang tanpa kehidupan. Ayahnya terlalu sering menunjukkan sisi lain kehidupan orang yang jauh dari kehidupannya sehari-hari yang penuh dengan kecukupan. Bagi Reita, kehidupan mereka terlalu gelap dan kelam, padahal mereka sebenarnya punya kesempatan yang sama, toh Tuhan Maha Adil kan?
“Jadi intinya sih, gue cuma mau bisa berguna untuk mereka.. Gue nggak terlalu peduli soal karir, ato mungkin gaji gue berapa nantinya.. “ ujar Reita mantap menjelaskan mengenai konsep Ultraman dan cahayanya.
Luna hanya bisa menarik nafas panjang mendengar cerita temannya dan arti dari kata Ultraman yang baru dipahaminya. Ada sebersit rasa iri di hatinya mengetahui kalau Reita bisa mengejar mimpinya tanpa harus pusing soal uang dan menghitung berapa banyak biaya yang telah diinvestasikan untuk pendidikannya, berbanding terbalik dengan dirinya yang harus merelakan mimpinya untuk menjadi atlet renang, karena ayah tidak mengizinkannya, mengingat masa depan atlet –utamanya untuk cabang olahraga yang tidak populer- yang kebanyakan suram dan tidak jelas.
“Tapi lu enak ya, bisa ngejar mimpi lu, nggak kaya gue... Haha... tukeran yuk?“
“Percaya deh, lu nggak akan mau jadi gue... haha...“
Dan waktu pun terus berjalan, Reita mantap dengan mimpi Ultraman dan konsep cahayanya. Ia bekerja pada sebuah yayasan non-profit yang berfokus pada pendidikan anak-anak yang berada di daerah pedalaman Indonesia, sementara Luna berakhir di meja kerja kantoran dengan setumpuk kertas dan data yang sejujurnya tidak disukainya namun harus dijalaninya. Enam tahun sudah Reita bekerja di yayasan tersebut lalu kembali pulang ke Jakarta dengan penampilan yang berbeda. Reita mencukur habis semua rambutnya.
“Gimana, gue bercahaya gak? Hahahaha..." Reita berujar dengan penuh semangat pada Luna sambil menunjukkan kepalanya yang gundul bak lampu taman. Badannya terlihat lebih kurus dari enam tahun lalu, meskipun semangatnya masih menunjukkan ia Reita yang sama. Kedua sahabat itu bertukar banyak cerita mereka masing-masing. Reita banyak mengeluhkan peran negara yang minim di berbagai daerah pedalaman yang dijumpainya, sementara Luna bercerita mengenai kehidupannya setelah ia berkeluarga dan kerinduannya akan kehadiran seorang anak.
**
Jika menyerah adalah sebuah pilihan yang tidak ingin dipilih meskipun itu menjadi satu-satunya pilihan yang ada, maka anggaplah menyerah sebagai sebuah jawaban untuk sedikit berkompromi dengan idealisme soal pilihan. Jawaban atas sebuah keadaan yang memang tidak bisa dipaksakan, untuk belajar berdamai dengan berbagai cerita dalam kehidupan.
Reita hanya bisa terbaring lesu di ranjang sebuah rumah sakit dengan kondisi tubuh yang tidak memungkinkannya untuk keluar dan kembali ke pedalaman, walaupun kepalanya sudah melayang jauh ke sana.
“T**i lu Rei, bisa-bisanya lu nggak cerita sama sekali soal penyakit lu.. “ ujar Luna sambil mengelap matanya yang basah.
“Gue udah lama sembuh Lun, ini mah apes saja.. “ ujar Reita pelan sambil mencoba bangun dari tempat tidurnya, namun gagal. Tubuhnya terlalu lemah untuk bangun dan duduk menemani sahabatnya bercengkrama seperti biasa.
Luna bak tersambar petir ketika tahu kalau Reita selama ini ternyata mengidap kanker yang menggerogoti tubuhnya pelan-pelan. Ia marah, namun tidak tahu harus bagaimana. Toh, orang tua Reita pun tidak pernah tahu kalau anaknya selama ini memiliki penyakit kanker. Reita benar-benar menyimpan rapat penyakitnya.
Sendirian....
Jika implementasi kasih dari seorang sahabat adalah memberikan nyawanya seperti yang tertulis di Alkitab, maka Luna rela memberikan nyawanya untuk Reita jika ia berkuasa untuk melakukan tukar-menukar nyawa. Setiap hari ia datang menjenguk Reita, mendoakannya, dan berharap Tuhan meluluskan permintaannya untuk tukar-menukar nyawa dengan Reita. Ada rasa perih di hatinya melihat kondisi fisik Reita yang semakin menurun setiap harinya, meskipun Reita tidak pernah lupa melepas tawa hingga secuil senyum di wajahnya untuk melepaskan ketegangan di wajah Luna.
“Kita berdoa ya Rei... “ ujar Luna sambil menggenggam tangan Reita.
“Gue yang doa ya, gantian. Jangan lu melulu..” balas Reita pelan.
Luna mengangguk. Reita memulai doanya dengan suara pelan, namun masih dapat didengar Luna. Satu kalimat, dua kalimat, hingga akhirnya Luna menangis ketika Reita menutup doanya dengan amin. Tidak ada yang didoakan Reita selain agar Luna segera memiliki momongan seperti yang sudah lama diinginkan Luna. Reita tidak berdoa untuk kesembuhannya, ia sudah cukup berterima kasih kepada Tuhan atas kesempatan yang telah diberikanNya sehingga ia bisa mewujudkan mimpinya. Toh, ia sadar tidak banyak orang yang hidup dan menjalankan mimpi seperti dia karena berbagai keadaaan yang memaksa mereka untuk membuat pilihan dengan berbagai konsekuensi yang memang harus dipikirkan matang-matang.
Beberapa bulan kemudian Reita meninggal dengan tenang, dan Luna diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk memiliki momongan. Kehamilan pertama setelah bertahun-tahun usia pernikahannya.
**
“Itu foto siapa, Ma? “
Luna menyeka matanya yang sembab; anaknya yang sudah berumur 5 tahun tiba-tiba ada di depan pintu gudang. Ia sekilas membersihkan foto tersebut dari debu dan menghampiri anaknya, mencegah agar ia tidak masuk lebih jauh ke dalam gudang yang berdebu, lalu menggendongnya
“Ini foto mama sama kamu dulu.. “
“Sama aku... ???“
“Iya, sama kamu.. Ca ha ya. Nama kamu Cahaya kan..?? “
Luna menamai anaknya Cahaya, berharap agar anaknya bisa menjadi seperti Reita yang mampu bercahaya sepanjang hidupnya.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: