"This distinction between the Christ and us ought to keep us from dramatizing our sorrows, however grievous they might be. For we now know that Jesus Christ has destroyed the power of hell, however great it may be." - Karl Barth
IMAN RASULI: MENGENAL SANG PENGUASA SEJATI
Mungkin kita tak sepenuhnya sadar bahwa sebenarnya alasan untuk tidak takut itu kita ucapkan hampir setiap Minggu ketika liturgi sampai pada bagian Pengakuan Iman Rasuli. Mari kita simak bagian ini:
“Disalibkan, mati dan dikuburkan, turun dalam kerajaan maut
Pada hari yang ketiga bangkit pula dari antara orang mati
Naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah, Bapa yang Mahakuasa,”
Mungkin kisah kebangkitan Yesus sudah terlalu kita sering dengar sampai lama-lama terasa seperti dongeng, dan Pengakuan Iman Rasuli sudah terlalu sering kita lafalkan sampai lama-lama terasa hanya sebagai hafalan belaka. Namun coba perhatikan frasa ini: “turun ke dalam kerajaan maut”.
Benar. Yesus turun ke dalam kerajaan maut. Di Sabtu Sunyi, Dia benar-benar tinggal dalam kegelapan terkelam. Apa yang Dia lakukan di sana?
Dia berkuasa. Dia menyatakan kuasa-Nya. Dia sungguh berkuasa.
Sebuah kalimat Hans Urs Von Balthasar yang dikutip dan diterjemahkan Pdt. Joas Adiprasetya dalam status Instagramnya menegaskan kebenaran ini.
“Pada Sabtu Sunyi, kita memperingati pemenuhan misteri keselamatan: sejak sekarang, neraka menjadi milik Kristus”[1]
Kekuasaan atas kerajaan maut itulah yang menjadi landasan atas kebangkitan-Nya di hari ketiga. Dia sungguh menaklukkan kuasa kegelapan. Kematian-Nya bukanlah kekalahan, melainkan awal kemenangan sejati.
Photo by Brett Jordan on Unsplash
Di sisi lain, dalam napas yang sama, Karl Barth pun menginterpretasikan turunnya Yesus ke dalam kerajaan maut dengan begitu indahnya. Dalam tuturannya yang begitu kuat mengenai bagian Pengakuan Iman Rasuli ini, Barth mengaitkan pemahaman soal turunnya Yesus dalam kerajaan maut dengan perkataan-Nya di kayu salib: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46).
Turunnya Yesus ke dalam kerajaan maut menempatkan Yesus dalam keputusasaan dan tekanan hati nurani terdalam, ke dalam perasaan bahwa Bapa melawan-Nya. Dalam pekuburan-Nya, Yesus merasuk ke neraka, ke dalam keterpencilan dari Bapa, ke dalam tempat ketika Bapa hanya bisa menjadi lawan.[2]
Di tempat kita, Yesus sengsara menderita di situasi yang seharusnya layak bagi kita. Kitalah yang layak berputus asa. Namun tidak lagi. Keputusasaan sejati itu diderita Kristus sendiri, dan Dia menang. Dia menaklukkan rasa takut yang hadir karena kejatuhan manusia dalam dosa.
Yesus telah merusak, mengacaukan, menghancurkan, meluluhlantakkan kekuatan maut, seberapa pun kuatnya Sang Maut.
Jadi, masih adakah alasan untuk takut?
MENCOBA UNTUK TIDAK TAKUT
Sebenarnya, dalam segala kemanusiaan saya, jawabannya adalah “ya”. Begitu banyak hal yang menakutkan.
Saya takut “kemajuan” peradaban manusia beserta segala kesombongannya akan membawa kita umat manusia kepada kesudahannya. Saya takut krisis ekologis akan menghancurkan kehidupan manusia-manusia mayoritas seperti saya yang tanpa privilege super untuk menuju kebinasaan tanpa sempat pindah ke planet Mars atau semacamnya. Saya takut pandemi ini bukan yang terakhir dalam hidup saya, dan akan ada bencana-bencana baru. Saya takut akan gesekan geopolitik yang mungkin akan menghasilkan perang-perang baru, yang jangan-jangan akan sampai juga di negeri tempat saya tinggal kini.
Saya pun takut akan masa depan kehidupan pribadi saya. Quarter-life crisis yang semakin lama semakin bertransisi menjadi krisis tiada henti. Kekhawatiran soal penghidupan di masa depan. Soal kesuksesan rekan-rekan seumuran saya sementara saya hingga kini masih terasa tidak banyak berkembang. Soal konflik relasional dengan orang asing maupun orang yang dikenal, termasuk keluarga. Soal kelelahan di tempat kerja yang tiada henti menghadirkan kecemasan dan tekanan baru. Soal passion, panggilan, dan pragmatisme. Soal tabungan yang tidak pernah cukup untuk mencicil rumah. Soal kesepian, pun nasib sebagai jomblo. Hahaha... yang terakhir hanya bercanda. Separuh bercanda, maksudnya.
Photo by Andre Hunter on Unsplash
Manusia akan menghadapi ketakutan dari hal terbesar sampai terkecil. Ketakutan-ketakutan kita adalah mikrokosmos dari ketakutan eksistensial umat manusia atas posisinya di semesta. Ketakutan yang memotivasi manusia untuk berevolusi, menjadi semakin kuat, tetapi juga semakin rapuh. Sampai akhirnya manusia akan sadar, dirinya tidak berarti apa-apa di hadapan semesta yang begitu agung ini.
Perasaan hina itu akan diam-diam hadir, menguasai segenap laku dan kehendak, menghadirkan rasa takut menjelang hidup di depan mata. Rasa takut yang memotivasi itu akan berbalik menguasai kita.
Rasa takut yang ditaklukkan Kristus sepenuh-penuhnya di kayu salib dan di kubur kosong. Kasih-Nya menaklukkan segala ketakutan.
Kita pun diundang untuk mencoba, lagi dan lagi. Mencoba tidak takut. Mencoba untuk berjuang bangkit lagi dan lagi menghadapi kehidupan, menggumuli kebenaran, mengusahakan keadilan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, dalam segala ketidakberdayaan kita bersama-sama. Mengapa? Karena sumber ketakutan sejati, kerajaan maut, telah ditaklukkan Dia yang turun ke dalam kerajaan maut dan bangkit dari antara orang mati. Dia yang bangkit, terus memampukan kita bangkit dalam anugerah Allah Sang Penguasa, Pemelihara, dan Perawat Sejati atas semesta.
Selamat Paskah. Dia telah bangkit! Dia sungguh telah bangkit!
Referensi:
[1] Balthasar, Hans Urs von (1988). Dare We Hope That All Men Be Saved? Ignatius Press.
[2]Barth, Karl (2006). Faith of the Church: A Commentary on the Apostles' Creed According to Calvin's Catechism. Wipf and Stock Publishers.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: