Langit tak akan selamanya mendung, akan ada saatnya pelangi muncul menjemput sang mentari
Hari ini beranda Instagramku masih penuh dengan snapgram coklat, bunga, dan video dinner romantis a la Valentine. Duh, so sweet deh lihatnya. Jadi iri nih kalau dibandingkan dengan kehidupan percintaanku. Emang sih, anak Tuhan gak boleh iri. Anak Tuhan harus bersyukur atas segala sesuatu yang telah terjadi dalam kehidupannya. Namun, dapatkah aku masih tetap bersyukur pada Tuhan di tengah-tengah kehidupan percintaanku yang cukup toxic? Bukan hanya aku, tapi kita semua! Aku jadi rindu untuk berbagi pengalaman percintaan yang toxic dalam kehidupanku.
TOXIC LIFE
Teman-teman masih ingat dong kisahku di tulisan Me & My Suicidal Thoughts? Betapa suramnya malam-malamku kala aku masih kecil. Hampir tiap hari melihat ayah dan ibu bertengkar dan berujung KDRT. Bahkan tak sekali aku mendapati ibuku menangis di tengah derita keadaan rumah tangga yang ia hadapi. Bukanlah sebuah pranata keluarga yang layak dijadikan panutan untuk memberi perlindungan dan afeksi pada anak.
Beranjak dewasa, teman-teman suka mem-bully aku dengan menyebutku banci kaleng, padahal aku perempuan tulen. Guru Matematikaku suka menjewer kupingku karena gak bisa Matematika, padahal tidak bisa Matematika bukanlah sebuah kesalahan. Supir jemputan yang suka melecehkan, hingga berujung diperkosa mantan pacar sendiri. Dalam kehidupan perkuliahan, hampir setiap malam kulalui harus bersama dengan teman. Aku sama sekali tak bisa sendiri. Mengundang beberapa teman untuk menginap, bercanda-tawa hingga lelah, lalu tertidur. Tak jarang aku merokok dan minum minuman keras untuk sejenak melepas penat. Mungkin, bukan hanya hubungan percintaanku saja yang toxic, mungkin saja hidup ini adalah toxic. Habisnya, tidak ada satu pun lingkungan yang mendukung aku untuk berkembang menjadi orang yang baik.
BETTER LIFE
Mungkin ini terdengar klise, tapi bagiku kata-kata temanku (semoga dia jadi teman hidupku) adalah kata-kata yang paling bijaksana. Dia berkata seperti ini, “Setiap orang punya masa lalu yang buruk. Aku pun punya masa lalu yang buruk. Tapi, kita masih punya masa depan. Kita tidak mungkin mengubah apa yang terjadi di masa lalu. Tapi, kita bisa mengambil pelajaran dari yang kita alami dan merubahnya di kemudian hari. Hal-hal tersebut bisa kita tolak agar tak terulang di kemudian hari.”
Se-toxic apapun hubungan kita saat ini, kita masih bisa merubahnya di hubungan selanjutnya. Buang semua pertemanan toxic dan pertahankan orang-orang yang baik. Putusin pacar toxic itu sekarang juga dan carilah orang dengan karakter yang baik. Tapi bagaimana dengan hubungan toxic antar keluarga? Tidak mungkin kan kita ganti keluarga?
BELAJAR DARI YUSUF
Bagiku, hubungan Yusuf dan saudara-saudaranya adalah salah satu contoh hubungan toxic antarkeluarga. Begitu benci saudara-saudara Yusuf padanya, bahkan menyapa saja tidak. Lebih dari itu, Yusuf bahkan dijual oleh saudaranya sendiri. Yusuf pun menghadapi masa-masa yang cukup sulit sampai harus dipenjara. Kalau dilihat-lihat, ada banyak alasan untuk Yusuf membalas dendam atau memperkarakan saudaranya, tetapi, Yusuf tidak melakukan itu. Yusuf malah bersyukur atas apa yang ia alami, karena dengan begitu ia mampu menangani bencana kelaparan di Mesir. Meskipun Yusuf punya masa lalu yang buruk tapi, ia punya masa depan yang lebih rukun dengan saudara-saudaranya. Yusuf tidak menyimpan kesalahan saudaranya. Ia memilih untuk mengampuni mereka.
Jadi, kita perlu ingat bahwa semua orang punya masa lalu yang buruk dan pernah berada dalam situasi yang toxic, tetapi kita masih punya masa depan yang lebih baik.
Pertanyaan selanjutnya, masihkah kita ingin hidup di bawah bayang-bayang masa lalu atau memilih move on? Aku sih memilih untuk move on dan mengampuni mereka semua. Bagaimana dengan kamu?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: