Bagaimana jika rencana Tuhan tidak sesuai dengan harapan dan doa-doa kita selama ini?
Setiap orang tentu punya rencana, punya impian, dan harapan yang ingin diraih bersama orang yang dikasihi. Kata demi kata yang ada dalam tulisan ini mengalir bukan pada saat yang teduh untuk menulis, tetapi mengalir dari hati yang hancur di tengah harapan yang pupus. Ya, sembari menulis ini, linangan air mata pun senantiasa membanjiri diri melihat mama saya yang amat sangat saya kasihi, harus terbaring lemah tanpa harapan. Tim medis pun angkat tangan, tanda tak ada lagi harapan.
“Iman...”
sebuah kata yang saya puja-puja selama ini, sebagai sebuah harapan untuk membawa mama keluar dari titik hitam ini seakan menjadi kata tanpa makna. Tuhan.. Pribadi yang saya andalkan untuk membawa mama kepada terang kesembuhan seakan berada sangat jauh dan tersembunyi, entah di mana kasih-Nya. Namun saya sebenarnya tahu bahwa itu semua hanyalah langkah awal dari sebuah perjalanan iman yang teguh.
Sebelum segala situasi menjadi tak terkendali dan raga mama saya terbaring lemah tak berdaya, ada banyak rencana dan harapan yang telah kami rangkai bersama. Setelah gagal hadir dalam wisuda kelulusan saya sebagai seorang sarjana Teologia, karena situasi fisik mama yang sangat menurun saat itu, kami pun kembali merencanakan untuk mama saya hadir dalam wisuda Magister Teologia. Harapan saya pun tumbuh semakin kokoh akan rencana yang telah kami buat, sebagai penebus kegagalan pertama.
Selain itu, melalui sebuah relasi yang serius dan dengan kekasih saya, kami sedang merencanakan sebuah pernikahan. Figur mama tak hanya memberi restu namun juga penuh antusias dalam acara pernikahan yang sedang kami persiapkan. Indah bukan setiap rencana yang telah kami susun bersama. Masih ada banyak rencana, harapan, dan impian saya bersama mama yang telah terangkai meski belum sempat kami pijaki untuk menjadi nyata.
Dalam situasi mama yang kian memburuk, doa-doa kami semakin kencang dan semakin mendalam memohon anugerah kesembuhan dari Allah pemilik kehidupan. Sebagai seorang anak laki-laki semata wayang, dan ditambah harapan yang telah terangkai, membuat saya pun semakin mendambakan kesembuhan mama. Doa saya pun sekilas menjadi doa yang seakan lebih sungguh-sungguh dari siapa pun. Akan tetapi, dalam hati kecil saya, dengan sangat teduh dan lembut, muncul sebuah tanya, “Bagaimanakah jika rencana Tuhan tidak sesuai dengan harapan dan doa-doa selama ini?”
Pertanyaan ini awalnya langsung saya abaikan, dan saya anggap sebagai pertanyaan seorang yang tidak memiliki iman yang teguh. Waktu berlalu, kondisi mama pun tidak kian membaik, dan pertanyaan yang sama kembali menyentuh hati kecil saya. Kali ini, pertanyaan tersebut tidak cepat saya abaikan, tetapi coba saya renungkan. Namun, karena mengarahkan kepada hasil yang tidak saya inginkan, akhirnya saya pun kembali mengabaikan pertanyaan tersebut, dengan bekas perenungan yang membercak di dalam nalar maupun hati saya.
Pada akhirnya, saat pertanyaan tersebut kembali menyapa saya untuk yang ketiga kalinya tanpa henti, saya pun hanya dapat terdiam dengan tetesan air mata, dan hati serta pikiiran saya langsung tertuju kepada Firman Tuhan. Matius 6:9-13 Mencatat tentang doa yang diajarkan Yesus, yang kita kenal dengan doa “Bapa Kami.” Pembukaan doa tersebut, yakni ayat 10, tercatat sebuah kalimat yang menarik, “jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di Sorga.” Yesus mengajarkan sebuah doa dalam sikap berserah kepada kehendak Allah. Tidak hanya mengajarkan, Injil sinoptik (Matius, Markus dan Lukas) mencatat bahwa dalam Inkarnasi-Nya, tepatnya pada saat berada di taman Getsemani, Yesus pun merealisasikan apa yang Ia ajarkan.
Di tengah pergumulan yang hebat di mana masa sengsara dan kematian serta keterpisahan dengan Allah Bapa untuk menebus dosa manusia, Yesus mengajukan sebuah permohonan agar Ia dibebaskan dari sengsara tersebut. Akan tetapi, Ia menutup doa-Nya dengan pernyataan yang sangat menggugah hati, “Janganlah seperti yang Kukehendaki” yaitu tanpa menghadapi sengsara kematian dan keterpisahan dengan sang Bapa, “melainkan seperti yang Engkau kehendaki” yakni Yesus harus menghadapi sengsara tersebut dengan sebuah tujuan Allah yang mahamulia, untuk menebus dosa umat Manusia.
Alkitab yang saya pelajari selama ini, sedang menuntut saya untuk merealisasikan setiap gagasan menjadi tindakan nyata. Kedaulatan Allah dan Iman adalah pokok bahasan dalam studi saya yang sudah sangat tidak asing dipelajari. Apa yang diajarkan Yesus dan yang dilakukan-Nya pula dalam doa-Nya sekarang dipertemukan dengan segala harapan saya. Dengan segera, harapan saya pun pupus. Namun justru, dalam pupusnya harapan, iman yang teguh dan yang sejati segera tumbuh. Harapan yang pupus adalah benih untuk iman yang teguh. Akhirnya, saya mengerti hal ini tidak hanya sebagai sebuah ide atau teori, tetapi juga menjadi sebuah pengalaman nyata bahwa, Iman bukanlah sebuah usaha mendesak Allah, tetapi sebuah sikap penyerahan penuh kepada kedaulatan Allah, sekalipun tidak sesuai dengan harapan yang selama ini dirangkai.
Iman sejati membuat kita mampu berdiri teguh menghadapi kenyataan, bahwa kehendak Allah, sekalipun tidak sesuai dengan harapan kita, itu adalah yang terbaik, jauh lebih baik dari segala harapan kita. Oleh karena itu, sembari memegang tangan mama, saya pun dapat menanti dalam penyerahan penuh kepada kedaulatan Allah bagi mama, wanita yang teramat sangat saya kasihi, tanpa duka yang berlebihan. Sebab saya yakin, jika memang kehendak Allah berbeda dengan harapan saya, maka suatu hari kami akan bersama di dalam sebuah pertemuan tanpa ada lagi harapan yang pupus.
(Keterangan: Senin, 15 April 2019, pukul 10:00 WITA, tulisan refleksi iman ini saya selesaikan dan kirimkan ke editor IGNITE. Kurang dari dua jam, yakni pukul 11:25 WITA, Mama saya menghembuskan nafas terakhirnya.)
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: