“Di tengah kegelisahan yang menggerogot, sebuah fakta penting dapat menjadi pemantik semangat yang ampuh: bahwa kita tidak sendiri. “
Rumah yang hidup dan saling membutuhkan
Pagi hari itu kami mengadakan bazaar sembako murah. Seratus paket kami siapkan, dan setiap peserta pemuda mengambil bagian untuk mendistribusikan masing-masing bahan pokok kepada pembeli yang berbaris rapi. Sebuah penanda bahwa setiap dari kita—tanpa terkecuali, dibutuhkan dalam komunitas. Pdt. Ima Frontatina Simamora—dari GKI Gatot Subroto, Bandung, pun menggarisbawahi hal ini dalam studi kasus yang dibawakannya sore hari. Sebuah gestur “aku membutuhkanmu” menjadi krusial untuk tetap menjaga jiwa-jiwa yang sudah ada dalam sebuah komunitas.
Tim Dokumentasi Acara
Studi kasus yang dibawakan oleh Pdt. Ima membawa kami pada penggalian yang lebih dalam untuk ‘menghidupkan’ kembali rumah kami. Pada sesi ini kami diminta untuk mendiskusikan kebutuhan pemuda GKI Kavling Polri dan menganalisanya dengan metode SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, and Threats). Diskusi berjalan menarik dan membuahkan berbagai ide baru—memantik semangat melalui kesadaran bahwa ternyata kami masih memiliki kerinduan yang sama, yaitu menjadikan ‘rumah’ kami tempat yang lebih nyaman untuk ditinggali.
Tim Dokumentasi Acara
Diakhir sesi, Pdt. Ima juga mengingatkan untuk berhati-hati agar tidak kehilangan ‘roh’ ditengah kegigihan kami mengupayakan komunitas. Sebuah penelitian dalam buku berjudul You Lost Me: Why Young Christians are Leaving Church and Rethinking Church menunjukkan bahwa salah satu alasan para pemuda meninggalkan gereja adalah karena mereka merasakan kekosongan dalam kehidupan bergereja.
Tim Dokumentasi Acara
Kasih yang memulihkan
Sesi dedication service dibuka dengan sangat apik oleh Pdt. Yael Lamorahan dari GKI Kavling Polri, dengan sebuah pernyataan:
Jesus died for you, knowing that you might never love him back. That is true love.
Allah yang sama juga, yang tetap beserta di sepanjang perjalanan hidup kita, sekalipun kita tidak merasakannya. Ia adalah Allah yang tetap setia dalam setiap gelap dan buntu hidup kita. Maka, tetap melayani adalah sebuah sikap yang pantas karena Ia telah lebih dulu melayani kita.
Tim Dokumentasi Acara
Pelayanan tidak akan pernah menjadi sesuatu yang menguntungkan, karena sejatinya pelayanan adalah untuk kebahagiaan, kepentingan, dan kebutuhan orang lain.
“Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa. Berilah tumpangan seorang akan yang lain dengan tidak bersungut-sungut. Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah.” - 1 Petrus 4: 8-10
Saat kita diciptakan untuk melayani, maka ukuran kebesaran seseorang bukanlah dari seberapa banyak pelayan yang ia miliki, melainkan dari seberapa banyak yang sudah ia layani. Kita bangkit dengan cara menopang orang lain untuk bangkit, bergiat dengan menjadikan pelayanan sebagai bahan bakar kita. Oleh karena itu, sebagai tekad, pemuda diajak untuk berhenti melihat kekurangan dan meragu atas kemampuan diri. Malam itu, pemuda GKI Kavling Polri diajak berkomitmen untuk membuat perubahan sekecil apa pun itu. Kami membawanya dalam doa dan menyalakan lilin sebagai simbolisasi semangat kami yang kini tak lagi padam.
Tim Dokumentasi Acara
Gereja sebagai basecamp
Dalam sharing penutup di hari terakhir, Pdt. Hendra mengingatkan bahwa altar gereja tak hanya terbatas pada sebuah mimbar. Altar-altar kita adalah mereka yang di luar sana menunggu untuk dilayani, dan kita—sebagai laskar Kristus, sudah sepatutnya untuk ‘berperang’ di luar. Di sinilah gereja memegang peran, untuk menjadi basecamp bagi para laskarnya yang lelah ketika selesai berperang. Untuk menjadi rumah sebagai tempat ‘me-recharge’ diri, agar pelayanan kita tak kemudian kehilangan ‘roh’nya, agar pelayan kita tetap menjadi nafas yang menghidupi gereja itu sendiri.
Baca Part lainnya:
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: