Tuhan tak pernah janji langit selalu biru, tetapi Dia berjanji selalu menyertai
Ketundukan dan ketaatan merupakan sikap hidup yang Allah kehendaki untuk kita lakukan. Setidaknya itulah sikap hidup yang saya pegang dan usahakan untuk senantiasa saya jalani setiap waktu. Sampai suatu ketika saya menyadari bahwa ketundukan dan ketaatan ternyata dapat dilakukan bukan semata karena komitmen pribadi. Ada kekuatan yang lebih besar yang memampukan.
Semua dimulai ketika awal tahun 2018 saya divonis positif TBC. Di usia yang masih muda, merasa pola hidup baik-baik saja dan normal layaknya orang sehat lainnya, saat kehidupan rohani sedang berapi-api dan merasakan persekutuan yang begitu intim dengan Allah, justru Dia memberikan “kejutan” baru di tengah kenyamanan hidup yang sedang saya rasakan.
Terdiam. Reaksi saya pertama kali mendapati vonis dokter. Menjadi penderita TBC membuat saya menjadi sosok yang menjalani hidup penuh dengan ketakutan, ketidakrelaan, dan kemarahan.
Ketakutan. Dengan maraknya berita bahwa TBC merupakan penyebab kematian terbesar di Indonesia khususnya, makin menciutkan nyali saya untuk menjalani hidup. Mulai timbul pemikiran “buat apa semangat hidup lagi kalau ujung-ujungnya mati?” Yap, seputus asa itu saya menghadapi kenyataan pahit yang saya alami di depan mata. Stigma masyarakat akan penyakit TBC sudah semakin membuat saya enggan menjalani hidup bersosialisasi di tengah masyarakat.
Photo by Kinga Cichewicz on Unsplash
Ketidakrelaan. Oh tentu, saya masih tidak bisa merelakan dan berbesar hati menerima vonis dokter atas saya. Bagaimana mungkin saya bisa rela kehilangan lebih dari 10 kg berat badan, mengalami kerontokan parah hingga 50% volume rambut akibat efek samping dari banyaknya obat yang saya konsumsi, kehilangan nafsu makan yang drastis, dan melewati setiap jam dengan mual dan mengeluarkan semua isi perut yang sudah saya telan. Kenapa harus saya yang “terpilih”? Bahkan ketika saya merasa baik-baik saja, ketika saya berusaha hidup dan berjalan dalam track Allah, ketika saya merasakan begitu hebat dan amat sangat baik Allah bekerja dalam hidup saya, seketika semuanya runtuh.
Kemarahan. Saya belum pernah merasakan kemarahan yang memuncak seperti yang sedang saya rasakan kala itu. Hampir setiap hari saya lalui dengan protes, menangis, protes lagi, menangis lagi dan begitu seterusnya hingga akhirnya keluarlah perkataan “Apa mau Tuhan? Kurang taat kah aku? Kurang benar kah hidupku? Apa artinya aku berusaha hidup benar kalau kesusahan yang aku dapati?”
Tuhan Tidak Sedang Memanjakan Iman Anak-anakNya
Menjalani hidup dengan penuh kekhawatiran lantas membuat saya mulai meragukan eksistensi Allah, seolah Ia sudah tidak mau tahu lagi akan kelanjutan hidup saya. Namun di saat yang bersamaan, kisah Ayub menghampiri saya kembali. Meneladani dan menghidupi iman sejati seperti yang Ayub miliki bukanlah perkara mudah untuk kita lakukan. Di tengah kelimpahan dan kehangatan keluarga yang Ayub miliki, dalam waktu sekejap musnah tak bersisa sedikitpun. Harta dan ternaknya habis terbakar, anak-anaknya meninggal, istrinya memilih meninggalkannya, bahkan sahabat-sahabat terdekatnya pun mulai meragukan Allah yang Ayub sembah.
Bila kita mengamati keseluruhan kitab Ayub maka yang kita dapati bukanlah sebuah diagram singkat: Ayub memiliki harta duniawi – harta Ayub musnah seketika - iman Ayub diuji – Ayub tetap taat dan setia kepada Allah – Allah memulihkan keadaan Ayub. Nyatanya dalam perjalanan imannya, Ayub pun mengalami kesedihan dan dilema yang mendalam akan duka yang sedang menimpanya.
Sebagai manusia yang serba terbatas, seringkali eksistensi Allah dikaitkan dengan ketaatan hidup manusia di dalam menjalani dan melakukan kehendak Allah. Namun nyatanya dari kitab Ayub kita justru mendapati hal sebaliknya, yakni bagaimana kita tetap melihat eksistensi, keterlibatan, dan kedaulatan Allah justru pada masa penderitaan yang dialami manusia. Dalam masa dukanya, kita mendapati bahwa Ayub meratapi dan mengutuki hari kelahirannya, bahkan menangis keras akan penderitaannya yang seiring berjalannya waktu bukannya semakin ringan namun justru semakin besar dan berat. Ketaatan Ayub tidak secara instan muncul. Keluh kesah dan ratapan kerap kali hadir di dalamnya (Pasal 16)
Photo by Yaoqi LAI on Unsplash
Kendati demikian, saat mengeluhkan keadaannya tidak pernah sekalipun didapati Ayub meragukan kebesaran Allah, Ia justru semakin menyatakan kebesaranNya. Sekalipun dikenal sebagai sosok yang saleh dan taat, Ayub tetap menyadari bahwa kedaulatan Allah tidak bisa dilawan melalui peristiwa memilukan dalam hidupnya. Ayub bukan hanya menunjukkan bahwa ia mempertahankan imannya lewat sikapnya, bahkan ia menemukan kesempatan untuk memuji dan mengakui kuasa Allah kala itu (9, 12:7-25 ; 26:6-14)
Puncak penghiburan bagi Ayub datang dari seorang Elihu. Pemahaman Elihu yang mendalam membawa pernyataan yang semakin meyakinkan Ayub akan pemeliharaan Allah (Pasal 32-37). Namun, penghiburan terbesar Ayub justru tidak datang dari sahabat-sahabat terdekatnya bahkan Elihu sekalipun, melainkan Allah sendirilah yang hadir untuk menghiburkan Ayub. Allah tidak secara eksplisit menjelaskan semua pertanyaan Ayub akan penderitaan yang dialaminya, yang dilakukan Allah justru Ia hadir menyatakan diriNya untuk memulihkan keadaan Ayub. Hal ini jelas menjadi fokus dari kitab Ayub. Bukan tentang tragedy yang ada, melainkan kepada siapa kita akan menempatkan peristiwa pilu di dalam hidup (Pasal 42). Di tengah pergolakan kepedihan yang dialami Ayub, terbukti bahwa Allah menepati janjiNya untuk tidak membiarkan Ayub benar-benar tergeletak dan memulihkan keadaannya jauh berkali-kali lipat lebih baik.
Untuk menumbuhkan iman anak-anakNya, Allah tidak akan membiarkan kita hidup di dalam zona nyaman masing-masing. Peristiwa hidup yang terjadi semata-mata bukan untuk menjauhkan kita dari kasih Allah, justru sebaliknya Allah mau kita merasakan persekutuan intim denganNya dan menempatkan Dia menjadi landasan satu-satunya untuk kita pegang melewati peristiwa hidup yang Dia izinkan terjadi.
Allah Tidak Ambil Semuanya
Bila dibandingkan, tidak ada sejengkal dari kisah hidup saya yang mampu dipadankan dengan kisah hidup Ayub. Sementara Ayub yang sudah mengalami tingkat keterpurukan yang paling buruk masih saja menerima kedaulatan Allah bahkan memujiNya, bagaimana mungkin saya yang hanya “disentil” sedikit sudah meronta-ronta sedemikian rupa bahkan menyombongkan iman saya di hadapan Allah?
Photo by rawpixel on Unsplash
Satu hal yang saya teladani dari sikap hidup Ayub: percaya penuh akan kedaulatan Allah di dalam hidup. Tidak mudah memang, akan tertatih-tatih, mungkin bahkan tidak lagi sanggup melanjutkan langkah ke depan. “Tuhan tak pernah janji langit selalu biru, tetapi Dia berjanji selalu menyertai” begitu kata penggalan salah satu lirik lagu dan saya mengimaninya. Tidak pernah sedetikpun kita lepas dari pandanganNya. Untuk apa harus berlelah-lelah memikirkan kekhawatiran sementara lenganNya yang kuat senentiasa menopang kita?
Saya mungkin mengalami kedukaan untuk dihadapkan pada sebuah penyakit namun terlebih dari itu semua, Tuhan tidak ambil harta berharga saya lainnya: keluarga dan support dari orang-orang terkasih. Saya memohon untuk dimampukan melewati peristiwa ini, tapi nampaknya Allah memang berbelas kasih pada saya, setelah tiga bulan masa pemulihan, saya dinyatakan bebas TBC.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: