Kalau membuang kantong sampah saja bisa butuh tiga orang, apalagi "kantong sampah" hati!
Bagi teman-teman yang pernah menikmati kehidupan asrama, tentu tidak asing dong, dengan jadwal piket bulanan Ada piket kamar mandi, piket lorong, piket dapur, piket kelas, dan piket-piket lainnya. Nah, begitu pula dengan saya yang memperoleh jadwal piket dapur aspri (asrama putri) pada tanggal 7 Februari lalu. (FYI, piket dapur memang dijadwalkan setiap hari Selasa dan Jumat)
Salah satu job description dari piket dapur adalah membersihkan dua tong sampah yang ada di depan ruangan tersebut. Berhubung saya baru piket di malam hari, saya baru bisa membuang sampah ke tempat penampungan sampah keesokan sorenya (alias hari Sabtu, karena dari pagi hujan deras dan saya juga harus pergi ke gereja untuk mengikuti seminar).
Meskipun saya sudah bisa menduga bahwa bau sampahnya cukup menyengat, tapi saya tidak menyangka kalau kantong sampahnya akan terasa sangat berat. Padahal saat itu saya harus membuang dua kantong (satu untuk sampah daur ulang, dan satu lagi (yang bau sedapnya semerbak) untuk sampah makanan (seharusnya)). Kantong pertama sih, tidak masalah karena lebih ringan.... tapi kantong kedua? Saking beratnya, saya sampai harus menyeretnya—dan membuat kantong sampahnya jadi bocor sehingga memerlukan kantong tambahan sebagai dobelan.
Tidak berhenti di situ, dari dapur yang ada di lantai tiga, saya mengangkat kantong tersebut bersama seorang teman aspri. Kami cukup kewalahan untuk mengangkat kantong sampah itu ke tempat pembuangan sampah. Bahkan teman saya itu sampai berkata, "Ini berat banget sih, Tab. Biasanya kantong sampahnya nggak seberat ini, kok." Akhirnya ada seorang teman aspra (asrama putra) yang menyelesaikan drama si-kantong-hitam ini—dengan menolong kami membuangnya ke tempat yang seharusnya. Tapi setelah membuang sampah, saya masih harus mengepel lantai yang terkena kantong (dan cairan) sampah.
Satu jam kemudian, saya dan tiga teman aspri makan malam di dapur. Tapi bau sampah yang tertinggal masih tercium (padahal saya sudah mengganti kantong sampahnya), sehingga saya (mau tidak mau) harus mengepel lantai lagi. Ternyata bau tersebut tidak kunjung hilang, sampai salah satu teman saya bertanya, "Tong sampahnya udah kamu cuci belum, Tab?"
"Oh, iya. Belum kucuci." :))
*gubrak*
Setelah mengetahui penyebab bau sampah yang tidak segera hilang itu, saya segera mencuci tong-tong tersebut agar bau busuk itu bisa (setidaknya) mulai berkurang. And yeah, hasilnyapun mulai terlihat. Te-he. Padahal ini bukan pertama kalinya saya piket dapur, lho. Bisa-bisanya saya lupa mencuci tong sampah, tapi untunglah ada teman yang mengingatkan saya!
Sambil mencuci dua tong sampah yang "wanginya" setengah mati itu, saya jadi berefleksi,
Bukankah hati manusia juga seperti kedua tong sampah ini?
Meskipun kita, manusia, sudah membuang banyak "kantong" dosa yang membusukkan hati, tapi kita tidak bisa memungkiri bahwa masih ada "sisa-sisa sampah" yang meninggalkan jejak. Padahal kita yakin kalau tidak akan ada dosa yang tertinggal, lha wong kita aja udah rajin beribadah, setiap hari bersaat teduh dengan sungguh-sungguh, mengizinkan Tuhan mengoreksi hidup kita... Harusnya hati kita udah bersih, dong (kinclong plus wangi kayak pakai K*spray). Mungkin kita merasa sudah bisa menaklukkan dosa favorit sampai ke akar-akarnya... padahal belum tentu demikian.
Justru saat kita merasa sudah hidup baik-baik saja, Iblis bisa menggunakan celah yang ada untuk menjatuhkan kita!
Baru-baru ini, ada seorang dosen yang berkata, "Iman Kekristenan itu adalah iman komunal, karena kita selalu membutuhkan orang lain untuk bertumbuh bersama." Well, meskipun pertumbuhan iman adalah tanggung jawab setiap orang percaya, tapi agar bisa bertumbuh, kita juga memerlukan komunitas pertumbuhan iman itu sendiri! Ingat, kita adalah makhluk sosial—makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Hal yang sama juga ditekankan Paulus pada jemaat di Galatia, yang saat itu sedang bertikai (salah satunya tentang "apakah orang non Yahudi yang menjadi Kristen harus tunduk pada hukum Taurat, atau tidak?"):
Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu jangan kena pencobaan. Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. - Galatia 6:1-2
Dalam versi New English Translation, kata "rohani" di atas ditulis "spiritual restore", sementara versi Terjemahan Sederhana Indonesia dikatakan "yang hidupnya dipimpin Roh Kudus". Artinya, bagi yang secara kerohanian (bisa dibilang) sudah cukup dewasa, seharusnya kita tidak leha-leha saat melihat ada yang tidak beres dengan keadaan rekan pertumbuhan kita. Apalagi kalau cuma cuek (bahkan sungkan menegur) terhadap "bau busuk" dari orang tersebut!
Siapa bilang bertumbuh bersama itu mudah?
Siapa bilang mendapatkan evaluasi dari orang lain itu menyenangkan?
Siapa bilang mengizinkan Tuhan "mencuci bersih" hati itu tidak akan melukai hati?
Siapa bilang diproses menjadi rendah hati dan tunduk di hadapan Tuhan itu bisa selesai dengan instan?
Mana ada yang kayak gitu?
Semuanya membutuhkan waktu yang tidak sebentar, Ignite People. Apalagi ketika kita bersikukuh bahwa kitalah yang benar, sementara orang lain salah. Padahal bisa saja apa yang mereka katakan tentang diri kita adalah cermin keadaan kita yang sebenarnya... dan itu menyakitkan. Ya, saat kita bersedia untuk bertumbuh bersama orang-orang yang juga memiliki "kantong sampahnya" masing-masing, kita harus siap terluka. Tapi percayalah, ketika kita meresponi luka itu dengan kerelaan hati untuk berbenah diri, perlahan-lahan kita (dengan pertolongan Tuhan, tentunya) akan pulih.
Well, membuka diri pada orang lain tentu juga memerlukan persiapan, ya. Tidak semua orang bisa langsung siap mendengarkan "kantong sampah" yang kita pendam selama ini. Mungkin saat kita membuka semua "kantong" itu, mereka bisa terlanjur pingsan saking "semerbaknya" hati kita. Itu sebabnya kita perlu meminta hikmat Tuhan, sebelum membuka satu per satu "kantong sampah" yang mulai mengendap itu. Jangan lupa juga untuk berdoa bagi orang-orang yang mendengarkan kita, agar merekapun diberikan hikmat-Nya dalam menanggapi pergumulan kita. Yaps, tentunya kita tidak ingin "kantong-kantong" busuk ini jadi konsumsi publik, kan? Last but not least, mintalah Roh Kudus untuk melembutkan hati kita saat menerima teguran maupun evaluasi dari orang lain.
Sekali lagi, ditegur itu tidak enak... tapi itu bukti konsistensi kasih Tuhan pada kita, umat-Nya yang mbeling-nya nggak karuan ini. Tanpa kehadiran komunitas pertumbuhan iman di sekitar kita, bagaimana kita sadar bahwa masih ada jejak dosa yang belum hilang? Bagaimana kita bisa memulihkan hati yang hancur kalau tidak ada support system yang berjalan bersama kita di dalam tuntunan Tuhan? Bagaimana bisa kita bersikap tegar seorang diri, padahal sebenarnya di dalam hati kita berseru meminta pertolongan?
Ketika kesempatan untuk melakukan U turn itu ada di hadapan kita,
apakah kita masih ingin menjalaninya dengan pemikiran sendiri?
Atau kita menundukkan ego di hadapan Tuhan, dan mengizinkan-Nya memimpin kita untuk bertumbuh bersama orang percaya lainnya... sekalipun jalannya penuh lika-liku dan ditutupi awan gelap?
Lebih baik saya berada di lembah kekelaman bersama Tuhan, daripada saya berjalan sendirian di padang berumput hijau. - Pdt. Yuzo Adhinarta
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: