Ternyata menanti tak selalu menghasilkan sambutan yang baik
Tak terasa hari begitu cepat berlalu, dan kita, umat Kristen, mulai memasuki masa penantian akan perayaan hari lahirnya sang Juruselamat manusia. Injil mencatat adanya kehadiran beberapa tokoh dari pihak yang berbeda turut mewarnai kisah heroik, Allah menjadi manusia ini. Saya tergelitik untuk melakukan perenungan berbasis telaah komparatif terhadap dua tokoh yang terlibat dalam momen kelahiran Kristus. Sebuah ironi yang memilukan ketika yang menanti malah tidak menyambut, dan sebuah sukacita ketika yang tidak menanti justru menyambut Dia sang Raja Damai.
Matius 2:1-12 mencatat tentang beberapa tokoh yang turut mewarnai narasi kelahiran Kristus, yaitu orang majus, imam kepala, ahli Taurat, dan Herodes, namun saya memilih memfokuskan pembahasan terhadap orang-orang majus dan ahli-ahli Taurat.
Banyak sarjana yang berpendapat bahwa orang-orang majus adalah kelompok Zoroaster yang identik dengan astrologi. Menurut Keener, pada zaman kelahiran Kristus, yaitu pada masa Greco-Roman, astrologi sudah menjadi populer sebagai ilmu pengetahuan dari Timur. Tetapi mengenai identitas orang-orang majus sampai hari ini masih dipenuhi berbagai perdebatan.
Bagi saya, yang terpenting adalah, informasi yang kita dapatkan cukup untuk menunjukan bahwa mereka (orang-orang majus) berasal dari luar Yahudi. Berbeda dengan orang-orang majus, ahli-ahli Taurat sudah sangat jelas identitasnya, yaitu berasal dari kaum Yahudi, bahkan memegang jabatan-jabatan penting dalam keagamaan Yahudi.
Photo by Patrick Schneider on Unsplash
Secara historis, kelahiran Yesus, bahkan Kekristenan, tidak dapat dipisahkan dari Yudaisme. Janji akan kedatangan sang Mesias merupakan hal yang sangat dikenal dan sangat dinantikan oleh komunitas Yahudi, dapat dilihat dari begitu banyaknya catatan dalam Perjanjian Lama yang mereka percaya sebagai nubuatan akan kedatangan sang Mesias. Ironisnya, ahli-ahli Taurat yang memegang teguh Tanakh (Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani) yang di dalamnya nubuatan mengenai Kristus terus berkumandang justru kehilangan momen kelahiran Dia yang dinantikan.
Matius 2:5 menyuguhkan informasi bahwa ahli-ahli Taurat tidak hanya mengetahui tentang Yesus akan lahir, bahkan mereka mengetahui tempat kelahiran Yesus berdasarkan nubuatan nabi Mikha (Mikha 5:1). Mengetahui ternyata sepenuhnya berbeda dengan menghayati dan memaknai. Setidaknya itu dapat kita simpulkan dengan begitu banyaknya pandangan mengenai alasan penolakan kaum Yahudi terhadap Kristus.
Dalam konteks ini, berdasarkan perspektif kelahiran Yesus dan sebelum masa saat sang Mesias telah mengukirkan karya-Nya sebagai rabi, nampaknya alasan ahli-ahli Taurat tidak menyambut sang Mesias berkaitan dengan otoritas Herodes, entah takut kepada Herodes, atau karena jabatan-jabatan politik mereka, bahkan bisa pula didasari konservatisme doktrinal mereka. Menanti yang tidak disambut. Frasa ini rasanya tepat untuk menggambarkan ironi ahli-ahli Taurat tersebut.
Jika ahli-ahli Taurat menanti yang tidak disambut, maka berbeda dengan orang-orang majus dari Timur, mereka menyambut yang tidak dinanti. Ya, pasalnya kepada mereka tidak dipercayakan segala nubuatan yang dimiliki komunitas Yahudi. Sehingga, menjadi sulit dipercaya jika mereka menantikan sang Mesias. Tetapi, Allah yang begitu besar mengarahkan mereka untuk dapat menemukan-Nya dan membawa mereka untuk dapat menyambut sang Raja yang tidak mereka nanti melalui dunia astrologi yang mereka geluti. Datang ke negeri orang dengan sebuah perjalanan yang jauh menjadi kerelaan mereka agar dapat menyambut sang Juruselamat Agung yang telah lahir di Betlehem.
Orang-orang majus yang mungkin lekat dengan identitas “kafir” dalam perspektif Yudaisme memilih sebuah tindakan yang begitu jelas dan tepat, yaitu menyambut sang Raja yang telah lahir. Sekalipun tidak dinyatakan seperti pada ahli-ahli Taurat dan tidak dinantikan sebelumnya, tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan mengabaikan Allah yang menyatakan diri-Nya lewat dunia pengetahuan mereka. Bagi mereka, kedatangan Yesus sangat penting dan harus dihayati dengan sambutan mereka. Bahkan, tidak dengan tangan kosong mereka datang menyambut sang Raja, tetapi dengan persembahan yang menunjukan penghormatan, kasih dan sukacita mereka kepada Kristus Tuhan. Ini menunjukan bahwa, Allah tidak dapat didomestifikasi oleh satu agama saja. Allah sendiri mendongkel diri-Nya dari takhta agama, dalam hal ini Yahudi.
Photo by Nicolas Moscarda on Unsplash
Jika kita lihat kedua pihak ini, baik orang-orang majus atau pun ahli-ahli Taurat, terdapat persamaan yang jelas antara mereka. Orang-orang majus mau pun ahli-ahli Taurat sama-sama mendapat penyataan akan kelahiran sang Juruselamat. Jika orang majus mendapatkan penyataan tersebut melalui pengamatan bintang-bintang, maka ahli-ahli Taurat mendapatkan penyataan melalui catatan teks suci yang mereka miliki.
Allah yang begitu besar tidak hanya menyatakan diri-Nya kepada bangsa pilihan-Nya, tidak juga hanya kepada orang di luar bangsa pilihan. Penyataan Allah akan diri-Nya adalah universal dalam konteks ini, sehingga menyambut atau mengabaikan kedatangan sang Mesias merupakan pilihan dari pihak-pihak yang ada dalam kisah kelahiran Kristus tersebut.
Bagaimana dengan kita? Menanti pertolongan Tuhan sudah menjadi keharusan bagi umat yang menyatakan dirinya percaya kepada Kristus. Akan tetapi, apakah betul yang kita nantikan adalah Dia? Ataukah penantian kita hanyalah sebuah egosentrisme yang berselimutkan nama Tuhan? Kisah ahli Taurat mengabaikan kelahiran Kristus dan bahkan menolak-Nya dalam masa pelayanan serta menjadi inisiator dari penyaliban Kristus menyadarkan kita, bahwa menanti tidak selalu menghasilkan sambutan yang baik.
Photo by Warren Wong on Unsplash
Ya, karena yang dinanti sesungguhnya bukanlah Allah, melainkan kepentingan pribadi yang “dipaksakan” agar terwujud, kemudian dibungkus rapi dengan nama Allah. Penantian bukanlah pemaksaan, dan pemaksaan jelas menghancurkan penantian itu sendiri. Ketika kepentingan pribadi menjadi lebih penting dari Allah, maka cepat atau lambat sang Mesias yang dinantikan justru terlupakan. Seringkali dalam hidup ini kita menantikan Allah dan karya-Nya bukan karena pribadi-Nya, tetapi karena kebutuhan kita sendiri.
Ini adalah dosa yang tak sadar merasuk diri kita, merusak mata hati kita untuk memandang kepada Kristus yang telah lahir. Dosa ini membuat kita menilai diri kita selalu benar, dan yang lain selalu salah, bahkan Allah pun disalahkan.
Mari belajar dari orang-orang majus. Mereka menyambut sang Mesias, bukan karena kebutuhan mereka, tetapi murni kerinduan hati yang melihat penyataan Allah yang begitu mengagumkan. Kekaguman mereka kepada Allah tidak lahir dari kisah-kisah historis dan heroik sebagaimana yang dimiliki oleh kaum Yahudi. Kekaguman mereka adalah terhadap pribadi sang Mesias itu sendiri.
Photo by Batang Latagaw on Unsplash
Jika hari-hari ini kita menanti pertolongan ataupun jawaban Allah atas hidup kita, maka pastikan yang kita nanti tak luput adalah pribadi-Nya. Iman yang sejati tidak berorientasi kepada diri sendiri, tetapi berorientasi kepada Allah di dalam anak-Nya. Dengan iman yang sejati itulah kita mampu berserah kepada kehendak dan keputusan Allah, bukan memaksa Allah mengikuti kemauan kita.
Iman yang sejati membawa kita menemui segala kebaikan Allah yang begitu besar dan mengagumkan, bahkan sekalipun itu awalnya tidak kita nantikan, atau bahkan lebih besar dari yang kita nantikan. Penantian harus lekat dengan penyerahan diri dan lepas dari pemaksaan. Dengan demikian, kita sedang menyambut Allah dan karya-Nya dalam kehidupan kita.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: