Makanan paling enak terkadang bukan masalah apa yang dimakan, namun apakah makanan itu memiliki nilai sejarah dalam kisah hidup kita
“Memperingati hari ulang tahun orang yang kita kasihi tentu sesuatu yang sangat baik, apalagi memperingati ulang tahun Sang Penyelamat kita, bukan hanya baik, bahkan sudah seharusnya dilakukan”
Berapa banyak dari kita mungkin sering mendapat pertanyaan: “Mengapa tetap merayakan Natal, bukankah itu tidak terdapat dalam Alkitab?” Tentu kita tahu, bahwa tidak semua hal disebutkan di dalam Alkitab. Namun, jangan lupa juga bahwa Alkitab pun tidak pernah menuliskan larangan untuk merayakan Natal, karena nyata dengan jelas bahwa peristiwa kelahiran Yesus tercatat di dalam Alkitab. Perayaan Natal adalah hal yang sangat baik, karena seluruh orang percaya memperingati belas kasih Allah yang tidak terbatas bagi dunia, bagi manusia, serta menghidupi makna inkarnasi Tuhan terhadap alam semesta ini. Namun, sangat disayangkan akhir-akhir ini ada sebagian orang Kristen yang tidak lagi merayakan Natal, hanya karena salah kaprah terhadap sejarah Natal itu sendiri.
Ada begitu banyak orang membuat banyak teori, spekulasi, yang ingin menunjukkan bahwa hari raya Natal di tanggal 25 Desember berasal dari kebiasaan Pagan. Namun Jika dilacak, anggapan tersebut sebenarnya bermula pada tahun 1743 M, dari karya seorang teolog Jerman yang bernama Paul Ernest Jablonski, yang mengatakan bahwa, perayaan Natal adalah perayaan Pagan yang di-Kristenkan, dimodifikasi substansinya, bahkan dikontekstualisasikan. Padahal, perayaan jauh sebelum itu sudah ada.
Secara sederhana, penanggalan Natal yang kita adopsi sekarang ini adalah penanggalan kesesuaian antara kalender Gregorian, Julian yang memakai sistem solar dengan Kalender Yahudi yang memakai sistem lunar. Sehingga terdapatlah penanggalan Natal antara pertengahan Desember sampai dengan pertengahan Januari. Bagi umat Katolik (kalender Julian), Yesus mati disalib pada tanggal 14 Nisan (kalender Yahudi), sama dengan 25 Maret (kalender Julian yang dipakai di Gereja Barat). Maka hari kematian Yesus tersebut disamakan dengan hari saat ia mulai dikandung Maria, sehingga ditambah 9 bulan (umur bayi dalam kandungan), maka diperoleh hari kelahiran 25 Desember. Sedangkan bagi Ortodoks (kalender Gregorian), Gereja Timur merayakan Natal pada 6 Januari karena yakin bahwa tanggal 14 Nisan (kalender Yahudi) sama dengan tanggal 6 April (kalender Julian), merupakan hari awal pertama Maria mengandung Yesus yang kemudian ditambah 9 bulan dalam rahim Maria, maka Yesus dilahirkan 6 Januari.
Jika kita melihat sejarah Natal dalam Gereja Timur, maka dengan mudah kita akan menemukan begitu banyak manuskrip, dokumen, dan tokoh gereja yang berbicara mengenai hari raya Natal sebelum abad ketiga dan abad kedua. Seperti Clement dari Alexandria (150—215 AD), Hippolytus dari Roma (170-236), seorang tokoh Kristen Koptik (murid Irenaeus yang adalah murid Polikarpus, yang adalah murid Yohanes, yang adalah murid Tuhan Yesus), dan Baba Dimitri dari Alexandria (189-232 AD), dsb.
Baba Dimitri menetapkan Penanggalan Natal pertama kali pada tahun 198 AD di Mesir. Perhitungan akurat tersebut dilakukan oleh seorang astronom dari Gereja Koptik, yakni Batlimeus. Ia melakukan perhitungan berdasarkan penampilan bintang Siriuz & Kalender Mesir, yang akhirnya menemukan kelahiran Yesus terjadi pada tanggal 29 pada bulan Khiahk, atau pada tanggal 25 bulan Tebeth (kalender Yahudi). Maka Gereja Timur kemudian menetapkan perayaan Natal pada tanggal 7 Januari, perbedaannya adalah tiga belas hari dari tanggal 25 Desember, yang merupakan Hari Natal bagi Gereja Barat yang merupakan cikal-bakal perayaan Natal di Indonesia sekarang ini.
Lalu bagaimana penanggalan Natal menurut Alkitab? Mari kita sejenak menengok kepada Injil Lukas 1. Berdasarkan catatan seorang sejarawan Yahudi Flavius Yosepus, maka Alfred Edersheim dalam bukunya The Life and Times of Jesus the Messiah, menghitung bulan “keenam” (Lukas 1:26-38) jatuh pada tanggal 15 Nissan 3756 (Maret-April). Sehingga pada saat itulah Maria mengandung dan melahirkan sembilan bulan kemudian yakni pada bulan Tevet (Desember-Januari), tepatnya jatuh pada tanggal 25 Desember seperti yang kita rayakan sekarang ini.
Selanjutnya, jika malaikat Gabriel datang kepada Maria pada bulan yang “keenam” (merujuk pada bulan keenam dalam pasal yang sama dalam kitab Lukas) yakni bulan Nisan yang sejajar dengan bulan Maret-April kalender kita, maka tepatlah kelahiran Yesus tersebut sembilan bulan kemudian pada bulan Desember-Januari. Tidak hanya itu, jika merujuk pada Lukas 1:36-43, maka jelas kelihatan bahwa kandungan Elisabet lebih tua enam bulan dari kandungan Maria. Umat Katolik pun menggelar hari perayaan terhadap Yohanes Pembaptis pada bulan Juni, sedangkan kematiannya diperingati pada bulan Agustus. Sehingga jelas, bahwa enam bulan dari perayaan Santo Yohanes tersebut jatuh pada bulan Desember.
Fakta bahwa kabar gembira kepada Maria tersebut “Id al-Bishara” (Lukas 1:26-38), sebenarnya juga telah tercatat oleh Irenaeus (130-202 M), murid dari Polikarpus, murid langsung dari Yohanes (salah seorang dari keduabelas murid Yesus ). Dengan demikian menjadi jelas, bahwa dokumen tertinggi mengenai perayaan Natal bukanlah pertama kali di Roma seperti anggapan banyak orang selama ini, melainkan di Anthokia dan Alexandria yang pada saat itu menjadi salah satu kantong Kekristenan. Seperti pengakuan Mar Theophilus, Patriakh Gereja Ortodoks Syria di Anthokia (168-183 M), yang mengatakan bahwa perayaan hari kelahiran Tuhan kita diadakan setiap tanggal 25 Desember, meskipun jatuh pada hari apa pun. Kemudian selanjutnya, Baba Demitrius dari Koptik Alexandria (seperti yang dijelaskan di atas) memasukkan perayaan Natal tersebut ke dalam dokumen kuno, “Adasquliya, Ay Ta’alim Ar-Rusul”, atau sering disebut dengan Konstitusi Rasul-Rasul.
Berbeda dengan Anthiokia dan Alexandria, agaknya Roma baru melembagakan Natal pada masa Paus Yulius I (336-352 M), sebelum Konstantin Agung mengeluarkan Edic Milan yang menjamin kebebasan beragama. Kala itu orang-orang Kristen sudah terbiasa mengenang kelahiran Yesus di Katakombe-katakombe (makam bawah tanah) untuk menghindari penganiayaan.
Jadi, perayaan Natal pada tanggal 25 Desember bukan sekedar “cocoklogi”. Para “pembela iman pertama” dan para Bapa Gereja pun menyadarinya, dan tidak akan membiarkan ketidakbenaran diperkenalkan dalam liturgi gereja pada waktu itu, sehingga tanggal kelahiran Kristus ditransmisikan oleh mereka sebagai tanggal 25 Desember sangatlah tepat seperti yang kita rayakan sekarang ini.
Mempelajari semangkok sejarah tentang Natal memang nikmat rasanya. Segenggam perayaan yang kita jalani terasa lebih bermakna setelah menyelami akarnya. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita memaknainya dan menghidupi artinya, di mana makna inkarnasi Allah mengejawantah dalam hidup kita kepada yang lainnya.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: