Perjalanan menjadi orang percaya yang menerima janji Kristus di satu titik akan menemui keraguan. Mempertanyakan keputusan-Nya dalam hidup kita.
Masa menderita atau tidak menyenangkan dalam hidup tiap orang akan menimbulkan satu tanda tanya, baik itu dari diri sendiri atau dari orang lain. “Salahku apa Tuhan sehingga hidupku seperti ini?” atau “kamu melakukan dosa apa hingga ditimpa masalah semacam itu?”. Baik yang terlontar dari diri sendiri atau orang lain, semua tidak mempermanis penderitaan. Orang buta sejak lahir yang dicatat dalam alkitab tahu persis hal tersebut.
Pada zaman dulu bahkan mungkin hingga saat ini, kekurangan fisik dan penderitaan selalu dikaitkan dengan dosa yang telah dilakukan oleh orang yang mengalami penderitaan tersebut atau oleh keluarganya. Orang yang buta sejak lahir mendapatkan stigma tentang dosa yang seakan-akan menjadi penyebab kondisinya yang buta. Murid-murid Yesus juga memiliki pendapat yang serupa. Namun tidak dengan Yesus. Ia justru merespon kebutaan orang itu sebagai cara menyatakan kemuliaan Allah.
Penderitaan sebagai sarana memuliakan Allah seakan klise bahkan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin? bagaimana caranya? Apakah Yesus sudah gila, menawarkan penderitaan yang beresiko menurunkan pamornya saat itu? Sampai di titik ini kita dapat melihat bahwa paradigma tentang dosa dan penderitaan sungguh melekat di pikiran kebanyakan orang. Konsep yang masuk akal dan adil. Jika salah maka dihukum, jika berdosa maka akan menderita.
Pemulihan yang Melampaui Stigma Dunia
Sebagai orang yang buta sejak lahir, tentu harapan terbesarnya adalah dapat melihat seperti kebanyakan orang. Dalam Yohanes 9 tidak dituliskan bahwa orang buta itu meminta kesembuhan. Yesus-lah yang berinisiatif meludah ke tanah danmengoleskan tanah yang telah diaduk itu ke mata sang orang buta. Setelah orang buta itu mencuci wajahnya di Kolam Siloam seperti yang diperintahkan Yesus, ia kemudian dapat melihat.
Banyak orang bertanya-tanya bagaimana mata orang itu dapat melek dan siapa yang melakukannya. Hal itu terasa mustahil. Pertama, karena pemahaman kebutaan sejak lahir yang adalah akibat dosa. Kedua, momen hari sabat sebagai latar waktu peristiwa tersebut. Kesembuhannya menimbulkan pertentangan dan konflik masyarakat terutama Orang Farisi. Alkitab mencatat bagaimana respon orang Farisi menilai Yesus tidak menguduskan hari Sabat dengan melakukan suatu mujizat di hari itu.
Kesembuhan yang orang buta itu dapat nikmati adalah pemulihan berdasarkan kasih karunia semata. Bahkan karya itu melampaui stigma dan aturan yang melekat di masyarakat.
Meresponi Anugerah Iman
Sebuah kebimbangan meliputi orang buta yang dapat melihat tersebut. Karena pertentangan tersebut, Orang Farisi yang juga ahli hukum dan agama mengajukan serentet pertanyaan kepada orang buta yang telah melihat itu, bagaimana matanya menjadi melek dan siapa yang telah mengerjakan karya tersebut.
“Ia adalah seorang nabi.” begitu jawab orang buta itu.
Orang Farisi yang tidak puas lantas memanggil dan meminta keterangan lebih lanjut kepada orang tua dari orang buta itu. Mereka takut dan melemparkan “bola panas” kembali ke anaknya. Ketakutan mereka bukan tanpa alasan. Mereka tahu betul bahwa yang dapat menyembuhkan dan mengampuni dosa hanyalah Mesias dan yang melakukan itu adalah Yesus. Di sisi lain, saat itu orang-orang Yahudi sepakat bahwa siapa pun yang mengaku Yesus sebagai Mesias akan menerima sanksi sosial yaitu dikucilkan (ayat 22).
Orang Farisi kembali bertanya kepada orang buta yang telah melihat itu. Kali ini, jawaban yang diberikan justru bernada menantang tanpa takut ancaman sanksi sosial. Jawabnya: “Telah kukatakan kepadamu, dan kamu tidak mendengarkannya lagi? Barangkali kamu mau menjadi murid-Nya juga?” (ayat 27). Terjadi perdebatan di antara mereka. Orang Farisi menolak Yesus dan menyatakan bahawa mereka tidak tahu dari mana kedatangan Yesus, sebaliknya mereka menyatakan bahwa mereka adalah murid Musa karena mentaati segala hukum-hukum Musa. Satu yang mengagumkan adalah bagaimana orang buta itu membalas dengan menyatakan imannya kepada Yesus yang adalah Allah. Pernyataan iman ini jelas langsung menyinggung orang Farisi yang menganggap diri mereka lebih baik karena status tokoh agama yang disandang.
Orang buta yang telah melihat itu, dalam segala keraguan bahkan konsekuensi untuk dikucilkan, dapat menyatakan iman dengan lugas penuh keberanian. Hukuman sosialpun ia terima, bukan hanya dikucilkan, namun juga diusir dari kota itu.
Pernyataan iman sungguh-sungguh dilakukan oleh orang buta itu ketika ia kembali bertemu Yesus. Dengan mulutnya sendiri ia mengaku “Aku percaya, Tuhan!” Lalu ia sujud menyembah-Nya (ayat 38).
Bagaimana dengan kita?
Menerima anugerah dari Dia memang hal indah, tapi perjalanan setelah itu akan menjadi sulit dan penuh tantangan. Sebagaimana orang buta, kita seharusnya dikuatkan untuk tetap menyatakan iman dan tidak justru berpaling apalagi menyangkal-Nya. Kemampuan memilih sikap tersebut tidak serta-merta lahir karena kekuatan kita, justru karena kesadaran bahwa apa yang telah kita terima adalah Kasih Karunia. Iman yang semacam itulah yang memampukan kita untuk tetap taat dan setia di saat penderitaan singgah. Mari meresponi segala kesulitan dan tantangan iman dalam hidup dimulai dengan pengakuan bahwa: Ia adalah Allah.
Dipublikasikan 26 April 2017
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: