Jika kita tidak bisa bersyukur atas gaji bulanan kita, lupakan bahwa kita akan bersyukur untuk 1M yang akan kita terima nantinya
Suatu hari di minggu pagi menjelang ibadah online dimulai, saya bersantai bersama istri di meja makan, sambil ngobrol ngalor ngidul sambil cemal cemil makanan yang kami beli saat malam minggu. Tak berapa lama, tukang bubur meneriakan mantra salesnya menjajakan bubur hangat yang ditaburi topping cakwe, suwiran ayam, dan bawang goreng. Kami memanggil tukang bubur, dan karena sudah lumayan kenyang, kami hanya pesan 1 porsi untuk dibagi dua.
Saat menyantapnya istri saya cerita, bersyukur sekali sebenarnya dia lagi kepingin sekali sama bubur ayam. Ditambah beberapa hari kurang nafsu makan, rasanya nikmat sekali bisa menyantap apa yang diinginkan. Bisa beli makanan, punya nafsu makan dan bisa memakannya sambil bersyukur. Betapa nikmatnya ketika kita bisa bersyukur atas makanan seharga dua belas ribu rupiah, itupun masih dibagi dua. Hehe...
Kami bersyukur momen sesederhana ini bisa kami gunakan untuk merenungkan kasih Tuhan yang simple, tidak mewah, namun bisa kami syukuri. Terkadang kita lupa bersyukur untuk hal-hal kecil, hal-hal yang kita anggap sepele, receh, hal-hal yang sudah terlalu biasa. Tiap bulan ya gajian, jadi ya biasa saja. Kita tidak sadar betapa berartinya gajian, sampai ketika pandemi beberapa dari kita harus dipotong gajinya karena perusahaanpun sedang kesulitan, atau bahkan tidak bisa gajian lagi. Berapapun gaji kita, besar atau kecil menurut kita, tetaplah bersyukur, artinya kita masih dipelihara Tuhan di bulan itu melalui gaji yang kita terima. Jika kita tidak bisa bersyukur atas gaji bulanan kita, lupakan bahwa kita akan bersyukur untuk 1M yang akan kita terima nantinya. Jika Tuhan berkenan memberkati kita dengan melimpah, percayalah nominal berapapun akan sulit kita syukuri jika kita tidak terbiasa bersyukur.
Instagram seringkali mencekoki kita tentang gaya hidup si A, pencapaian si B, kesuksesan si C, dan seterusnya. Tanpa sadar hal itu yang menjadi standar kebahagiaan kita. Kita baru bisa happy jika sudah makan di restoran anu, kita dianggap gaul jika sudah pernah mengunjungi tempat anu, kita dianggap sukses jika sudah mengendarai mobil anu. Standar orang lain jadi tolak ukur kita menilai hidup kita dan terkadang menjadi acuan rasa syukur kita.
Saya pernah berada dalam kondisi dimana saat bekerja gaji saya sudah empat kali lipat dari awal saya berkerja dan tetap merasa tidak cukup, tidak punya tabungan, pulang liburan selain baju kotor dan oleh-oleh, saya selalu bawa pulang hutang karena membelanjakan dari apa yang tidak saya punya. Uang jika tidak dikelola dan direncanakan dengan baik penggunaannya, berapapun yang kita dapat pasti tidak akan cukup.
Saat kita punya sedikit, kita bersyukur dan mengelolanya dengan baik, maka Tuhan juga akan melihat kesetiaan dan hati kita untuk dapat dipercayakan yang lebih besar. 1 Timotius 6 : 6 berkata "Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. " Keuntungannya sebenarnya dijelaskan sedikit di ayat 7-10, namun jika kita berfokus pada "rasa cukup", cukup bisa berarti mencukupkan diri atas apa yang diperoleh, tidak menjadi iri atau menginginkan gaya hidup yang belum saatnya kita miliki, cukup juga harus berarti cukup untuk berbagi berkat yang Tuhan titipkan kepada kita.
Pada akhirnya rasa syukur akan membuat kita tidak terlalu memikirkan standar hidup orang lain. Saat kita sibuk untuk menghitung berkat Tuhan dan sibuk berpikir kemana lagi akan menyalurkan berkat Tuhan, maka kita tidak lagi berpikir bahwa hang out di cafe tertentu atau traveling ke kota tertentu adalah sebuah keharusan. Kita tidak lagi berfokus pada mobil apa yang kita kendarai, atau berapa banyak investasi kita, karena kita lebih bahagia melihat berapa banyak orang yang sudah kita tolong atau kita tambahkan makna dalam kehidupannya.
Selamat menikmati Bubur Ayam...
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: