Saya mengira selama ini saya telah menyenangkan hati Tuhan. Jika saja boleh sadar lebih awal, mungkin kehidupan rohani saya tidak akan naik-turun seperti yang sudah-sudah.
(Jika ingin mengakses artikel sebelumnya, klik di sini)
Semakin saya menyadari bahwa pelayanan dan kehidupan bergereja yang boleh saya jalani adalah ucapan syukur sekaligus permohonan minta tolong pada Tuhan, semakin saya tidak melihat pelayanan sebagai sebuah beban. Sebaliknya, saya justru rindu bersekutu dan berpelayanan karena di sanalah saya menemukan Tuhan.
Hanya saja, masalah yang datang selanjutnya adalah tidak semua pelayanan diperkenan Tuhan. Saya sempat tidak terima ketika kebenarannya adalah Tuhan sendiri mengatakan Dia tidak mengenal orang yang sekalipun semasa hidupnya dia bernubuat demi nama-Nya, mengusir setan demi nama-Nya, dan melakukan banyak mukjizat demi nama-Nya tetapi tidak melakukan kehendak Bapa (Matius 7:21-23).
Belum lama ini, keutuhan gereja dihebohkan dengan pemberitaan Marty Sampson dan Joshua Harris yang meninggalkan tubuh Kristus. Dalam postingan Instagram yang sempat diunggah, Marty mengatakan bahwa ia tidak keberatan untuk kehilangan iman. Sebagian beranggapan bahwa Marty sedang jenuh rohani. Joshua Harris juga demikian; dia harus mengingkari tulisannya sendiri dengan kissed Christianity good bye. (meninggalkan Kekristenan)
Kisah ini bukanlah kisah baru. Tidak sedikit hamba Tuhan dan pelayan Tuhan yang pada suatu masa meninggalkan Tuhan dan—sedihnya—tidak kembali lagi sampai akhir hidupnya. Hanya saja, ini bukan ajakan kita sekalian untuk menjadi hakim atas perbuatan mereka. Setiap orang memiliki kisah yang ditulis oleh Tuhan sendiri-sendiri. Justru, kisah kegagalan mereka seharusnya menjadi warning bagi kita dalam kehidupan bergereja.
Bisa dibilang Marty sudah melakukan banyak hal yang dipandang orang adalah pelayanan bagi Tuhan. Begitu juga dengan Joshua. Ternyata pada titik ini mereka meninggalkan Tuhan. Meski bukan akhir kisah mereka, setidaknya sampai hari ini saya boleh menyimpulkan bahwa ternyata pelayanan sekaliber mereka pun tidak cukup. Bisa dibilang, pelayanan mereka tidak mengandung unsur hati.
Photo by Karim MANJRA on Unsplash
Apakah Tuhan senang?
Isi hati Tuhan tertuang dalam Alkitab. Dalam pembacaan Alkitab saya, terkhusus dalam Perjanjian Lama, muncul berulang kali suara Tuhan berkata "...Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah, TUHAN, Allahmu..." (Keluaran 6:7)
Rupanya ada suatu alasan kenapa bagian ini cukup ditekankan dalam Perjanjian Lama. Sejak kejatuhan manusia atas kehendaknya sendiri, manusia semakin gagal memahami bahwa diri kita adalah umat kepunyaan Tuhan. Kita jadi berbuat seenaknya, dengan mudah melupakan Tuhan, and the list goes on...
Nah, oleh karenanya, bukanlah suatu hal yang aneh apabila akhirnya Tuhan rindu agar kita, manusia, kembali menyadari posisi kita: Umat kepunyaan Tuhan. Sebagai umat kepunyaan Tuhan, gereja sering digambarkan sebagai mempelai wanita yang mengasihi suaminya, meski pada praktiknya mempelai wanita ini sering gagal.
Photo by Olivia Bauso on Unsplash
Sekarang bayangkan Anda adalah seorang mempelai pria, sedang jatuh cinta kepada seorang wanita idaman yang sudah dinanti sejak lama. Apakah sikap yang Anda harapkan dari wanita tersebut?
.
.
.
Ada sedikit waktu bagi Anda untuk take it a bit slower.
.
.
Tidak usah tergesa, bayangkan dulu.
.
Apa sikap yang Anda harapkan dari dia?
.
.
.
Jika sudah menemukan jawaban, mari turun ke bawah.
Apakah Anda berharap wanita tersebut bertindak semaunya sendiri? Apakah Anda tahan berhubungan dengan pasangan yang sama sekali tidak ingin mendengarkan Anda, tetapi terus menerus melakukan hal yang Anda tidak sukai?
Sekarang seharusnya mulai jelas arah pemikiran kita kali ini.
Sebagai kekasih Tuhan, gereja seharusnya berhenti melakukan hal-hal yang tidak disukai Tuhan. Berhenti bertindak semaunya sendiri. Berhenti menutup telinga dari suara Tuhan yang rindu. Rindu padamu.
Dalam istilah spiritual formation, ada satu kata yang disebut dengan solitude. Kata yang paling mudah menggambarkan solitude adalah sendirian. Dalam praktiknya, solitude sering dilakukan dengan cara berdiam diri di hadapan Tuhan selama waktu yang ditentukan untuk membiarkan Tuhan berbicara. Mungkin Anda pernah mengalaminya di camp-camp transformasional di gereja Anda.
Satu aspek yang saya ingin soroti dari solitude adalah bagaimana tidak ada pihak ketiga dalam hubungan dengan Tuhan. Seperti pasangan yang eksklusif hanya berdua, kesendirian dalam solitude mengajarkan kita untuk berdiam dan menyadari bahwa dalam relasi ini hanya ada Tuhan dan kita. Tidak ada aktivitas. Tidak ada nyanyian. Tidak ada panduan dari guru PA, pendeta, atau pembimbing. Tidak ada buku untuk dibaca. Tidak ada apa-apa selain keutuhan diri kita dengan keberadaan Tuhan yang tidak terjangkau indera manusia.
Photo by Keegan Houser on Unsplash
Kita bisa mempraktikkan esensi dari solitude di dalam kehidupan kita seutuhnya untuk menyenangkan hati Tuhan. Bagaimana caranya? Mengutip dari artikel yang ditulis oleh rekan saya, kita ini hanyalah "pemeran figuran berdurasi 2,5 detik dalam sebuah film durasi 2 jam dengan tokoh utama TUHAN." Saya mendapati bahwa kebesaran Tuhan ini terlalu dalam untuk diselami, terlalu lebar untuk dijelajahi, karena semata-mata kehidupan ini semua adalah tentang Dia. Maka dari itu, fokus pandangan kehidupan ini adalah semua tentang Dia.
Sejatinya yang dicari oleh Tuhan adalah diri kita seutuhnya menjalin relasi dengan Tuhan. Dia tidak menunggu hingar-bingar musik yang merdu, atau pelayanan yang menyita banyak waktu. Akan melukai hati-Nya jika kita sebagai pelayan Tuhan masih sibuk dengan pelayanan tapi tidak ada waktu khusus mendengar isi hati Tuhan dalam Alkitab. Tidak ada waktu khusus menjalin kasih kepada sesama. Semua menjadi distraksi dalam hubunganmu dengan Tuhan.
Pada akhirnya yang dicari Tuhan adalah ketaatanmu.
Dia rindu.
Ayo pulang.
Dengar.
Ingin mengetahui kelanjutan dari rangkaian hati ke hati? Klik di sini.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: