In talk shows and around dinner tables – is to choose our favourite kind of activism: we give Greta Thunberg a big thumbs up but fume at the road blockades staged by Extinction Rebellion. Or we admire the protesters of Occupy Wall Street but scorn the lobbyists who set out for Davos. . . That’s not how change works. All of these people have roles to play. Both the professor and the anarchist. The networker and the agitator. The provocateur and the peacemaker. The people who write in academic jargon and those who translate it for a wider audience. The people who lobby behind the scenes and those who are dragged away by the riot police.
Sebelum saya memaparkan alternatif yang ada, saya akan meminjam analisis Chang dan Grabel (2004) mengenai enam mitos yang dikedepankan kaum neoliberalis. Mitos itu adalah: negara kaya mencapai kemakmuran berkat komitmen yang kuat terhadap pasar bebas; neoliberalisme berjalan dengan baik; globalisasi neoliberal tidak dapat dan tidak akan berhenti; kapitalisme ala Amerika adalah sistem ideal yang mesti diikuti semua negara berkembang; model Asia-Timur itu unik, sedangkan model Anglo-Amerika itu universal; dan negara berkembang membutuhkan aturan yang ditetapkan oleh institusi lokal pembuat kebijakan yang independen secara politik.
Chang dan Grabel membongkar enam mitos tersebut satu persatu. Saya akan melampirkan tabel yang disusun oleh Rizky dan Majidi mengenai hal ini:
Argumen | Kontra Argumen |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Watts dan Hodgson meminjam pemikiran Brenner et al dalam menggambarkan spekulasi empat skenario sebagai bahan pertimbangan untuk mempersiapkan rencana dan tindakan menuju post-neoliberal. Partisipasi lokal, nasional dan global diperlukan dalam keempat skenario ini.
These might include capital and exchange controls; debt forgiveness; progressive tax regimes; non-profit based, cooperatively run, deglobalized credit schemes; more systematic global redistribution; public works investments; and the decommodification of basic social needs such as shelter, water, transportation, health care, and utilities. Out of the ashes of the neoliberalized global rule-regime emerges an alternative social democratic, solidaristic, and/or eco-socialist model of global regulation.
Brenner et al mengingatkan bahwa
A post-neoliberal future may be driven by forces that are hardly based on social justice. Out of the ashes of neoliberalism ‘any number of regressive, even barbaric, scenarios are possible, including various forms of neoconservative, neototalitarian, and neofundamentalist reaction, hyperpolarization, neo-imperialism, remilitarization, and ecological degradation.
Rizky dan Majidi mengusulkan tiga hal untuk melakukan perubahan, yaitu:
Mereka juga memberikan agenda perlawanan aktivis gerakan terhadap neoliberalisme.
Bretger memaparkan tiga pandangan ekonom Perancis yang ia sebut sebagai French trio of economists. Thomas Piketty dan Emmanuel Saez menerbitkan tulisan yang menggambarkan pendapatan 1% orang terkaya di dunia. Mereka menunjukkan bahwa ketimpangan masih begitu tinggi. Piketty mengusulkan pajak progresif.
Ekonom ketiga adalah Gabriel Zucman. Ia menerbitkan buku yang menunjukkan bahwa ada sekitar 7,6 triliun pajak yang tidak dibayarkan. Pada tulisan lain, ia bersama Saez menghitung bahwa 400 orang terkaya di amerika membayar tingkat pajak yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain mulai dari tukang pipa, pembersih, suster sampai pensiunan. Pikkety pada 2020 menerbitkan lagi 1.088 halaman tulisan yang mendukung hal tersebut.
Bregman sebagai sejarawan mendukung pemikiran Pikkety mengenai pajak progresif. Ia berpendapat bahwa pajak yang tinggi berpengaruh baik bagi ekonomi. Pada 1952, pajak pendapatan tertinggi di Amerika Serikat adalah 92% dan ekonomi bertumbuh dengan cepat.
Pemikiran seperti ini mungkin dianggap tidak masuk akal pada empat tahun lalu, namun sekarang menjadi hal yang dipertimbangkan. Bregman dalam ketidakpastian, masih memiliki harapan menuju masa depan yang lebih baik. Ia berkata:
The ideology that was dominant these last 40 years is dying. What will replace it? Nobody knows for sure. It’s not hard to imagine this crisis might send us down an even darker path. That rulers will use it to seize more power, restrict their populations’ freedom, and stoke the flames of racism and hatred. . .But things can be different. Thanks to the hard work of countless activists and academics, networkers and agitators, we can also imagine another way. This pandemic could send us down a path of new values.
Terakhir, ia mengusulkan tiga hal: pemerintahan berdasarkan kepercayaan, sistem perpajakan berdasarkan solidaritas serta investasi berkelanjutan untuk memastikan masa depan kita semua.
De La Torre berpendapat bahwa alternatif dari spirit neoliberalisme dapat ditemukan dalam iman orang-orang. Tradisi-tradisi iman akan memperlengkapi orang termarjinalkan dalam pencarian kebebasan. Setiap usaha akan berakar pada kehidupan sehari-hari dalam pencarian makna bagaimana iman dapat menyediakan cara bertahan dari kondisi tanpa hak. Lebih jauh ia berkata:
To view a faith tradition from the margins of power is to move beyond a traditional understanding of religion which fuses and confuses how those privileged by the faith tradition present their religion to the Euro-American audience with how the vast majority of believers, who exist on the underside of power and privilege, interpret that same faith for daily survival. To believe from the margins, and commit to the praxis belief engenders, provides a salvific approach to dealing with the overarching false religion of neoliberalism.
Arah kita sekarang
Para tokoh di atas memberikan banyak alternatif arah yang bisa kita ambil. Wattson dan Hodgson memberikan empat skenario dan diperlukan partisipasi lokal, nasional dan global. Rizky dan Majidi, mendeskripsikan ragam peran yang bisa kita lakukan baik secara individu sampai kelompok. Bregman mengingatkan kita mengenai regulasi ekonomi serta peran pemerintah. Terakhir, De La Torre menekankan peranan iman yang berada di pinggiran.
Segala ide yang disampaikan memiliki maksud untuk menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik bagi semua orang. Sebagian ide ini mungkin dianggap tidak masuk akal atau tidak dapat diterima akal sehat. Namun, demikian juga dengan neoliberalisme sebelumnya, pemikiran Friedman dan Hayek merupakan hal yang tidak masuk akal pada masanya. Begitu juga berbagai pemikiran lain, seperti kesetaraan gender atau persamaan hak orang kulit hitam dan putih atau pembebasan budak menjadi hal yang ditentang pada masanya.
Selain itu kita juga perlu mengingat bahwa setiap kita memiliki perannya masing-masing. Kita memulai dari diri sendiri dengan apa yang bisa kita lakukan. Bregman mengingatkan bahwa seringkali kita melupakan bahwa setiap kita memiliki peran yang berbeda-beda. Bregman berkata:
In talk shows and around dinner tables – is to choose our favourite kind of activism: we give Greta Thunberg a big thumbs up but fume at the road blockades staged by Extinction Rebellion. Or we admire the protesters of Occupy Wall Street but scorn the lobbyists who set out for Davos. . . That’s not how change works. All of these people have roles to play. Both the professor and the anarchist. The networker and the agitator. The provocateur and the peacemaker. The people who write in academic jargon and those who translate it for a wider audience. The people who lobby behind the scenes and those who are dragged away by the riot police.
Selain itu, kita juga diingatkan oleh Rizky dan Majidi serta Wardana mengingatkan kita mengenai ketidaksetujuan kita terhadap ketidakadilan yang kita lihat dalam RUU ini.
Rizky dan Majidi mengingatkan agar kita:
Perlu diwaspadai adanya berbagai jebakan seperti dipicunya konflik horisontal antar elemen masyarakat, serta pemanfaatan tema pelemahan negara (state).
Wardana mengingatkan kita dengan menuliskan:
Dengan demikian, kritik terhadap UU Cipta Kerja haruslah diletakkan sebagai bagian dari kritik atas kapitalisme. Kemudian, yang juga harus diperhatikan adalah perlawanan-perlawanan rakyat yang semakin besar ini juga dapat menaikkan eskalasi konflik antar-elite. Elite yang berada di luar kekuasaan bisa saja sedang menunggu kesempatan yang tepat untuk menunggangi gerakan untuk memuluskan agenda perebutan kekuasaan. Oleh karena itu, artikulasi yang lebih tegas—bahwa gerakan ini adalah perlawanan terhadap kapitalisme—akan menjadi pembeda antara gerakan rakyat yang progresif dengan gerakan yang membawa agenda elite oportunis.
Daftar Acuan
Bregman, Rutger. 2020. The neoliberal era is ending. What comes next? 14 5. Diakses 9 28, 2020. https://thecorrespondent.com/466/the-neoliberal-era-is-ending-what-comes-next/61655148676-a00ee89a.
Brenner, N, J. Peck, dan N. Theodore. 2010. “Variegated neoliberalization: Geographies, modalities, pathways.” Glonal Networks 182-222.
ICEL. 2020. Berbagai Problematika Dalam UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan dan Sumber Daya Alam. 6 10. Diakses 10 11, 2020. https://icel.or.id/wp-content/uploads/ICEL-SERI-ANALISIS-UU-CIPTA-KERJA-SEKTOR-LH-DAN-SDA-compressed.pdf.
Idris, Muhammad. 2020. Mengenal Apa Itu Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan Isi Lengkapnya. 5 10. Diakses 10 5, 2020. https://money.kompas.com/read/2020/10/05/102200626/mengenal-apa-itu-omnibus-law-ruu-cipta-kerja-dan-isi-lengkapnya?page=all.
KBBI. t.thn. KBBI Daring: Neoliberalisme. Diakses 9 2020, 28. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/neoliberalisme.
Lumbanrau, Raja Eben. 2020. RUU Omnibus Law Cipta Kerja: Mengapa pekerja kantoran 'masa bodoh' dan apa dampaknya bagi mereka? 2 3. Diakses 9 2020, 28. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51661671.
Ni'matun, Naharin. 2020. Aksi Virtual AJI untuk Menolak Omnibus Law. 8 10. Diakses 10 11, 2020. https://aji.or.id/read/video/99.html.
Persada, Syailendra. 2020. 5 Aturan Omnibus Law Cipta Kerja yang Dianggap Rugikan Pekerja. 15 2. Diakses 9 28, 2020. https://nasional.tempo.co/read/1307814/5-aturan-omnibus-law-cipta-kerja-yang-dianggap-rugikan-pekerja/full&view=ok.
Rizky, Awalil, dan Nasyith Majidi. 2008. Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta: E. Publishing.
Shalihah, Nur Fitrianus. 2020. Apa Itu RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, yang Ditolak Gejayan Memanggil Lagi? 9 3. Diakses 9 2020, 28. https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/09/173000665/apa-itu-ruu-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-yang-ditolak-gejayan-memanggil?page=2.
Wardana, Agung. 2020. Omnibus Law Cipta Kerja: Peneguhan Hukum sebagai Instrumen Akumulasi Kapital. 8 10. Diakses 10 11, 2020. https://indoprogress.com/2020/10/omnibus-law-cipta-kerja-peneguhan-hukum-sebagai-instrumen-akumulasi-kapital/?fbclid=IwAR3Ib5RrAiHLx_TtYxVPmkLBqtMkWPTHtAn-3k9bsf0-2QKL1g-_5wh4PgY.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: