“Ketika aktualisasi diri sudah menjadi ajang ke-‘aku’-an mungkin seharusnya kita diam sejenak dan bertanya, jangan-jangan kita sedang mencuri lampu sorot yang seharusnya milik Tuhan.“
Beberapa waktu lalu, salah satu grup Whatsapp saya heboh karena seorang anggotanya diserang di media sosial. Pasalnya, rekan saya itu menegur seorang pengguna Twitter yang cuitannya memprovokasi temannya yang memiliki tendensi bunuh diri. Bukannya menerima dengan baik, si pengguna Twitter yang ditegur justru membalas dengan marah. “Kalau sudah tahu begitu ya jangan keluyuran di dunia maya, masa iya semua orang harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang diderita temanmu?” Kira-kira begitulah kalimat yang dilontarkan.
Beberapa minggu setelahnya, saya bertemu dengan seorang teman. Dalam percakapan kami, teman saya ini mengeluh mulai sensitif dengan pertanyaan yang mungkin dilontarkan hanya selintas basa-basi seperti, ‘Kapan hamil?’. Ia mengaku pertanyaan yang mungkin terasa sepele bagi orang lain itu mulai terasa mengganggu jika dilontarkan padanya. “Makanya aku juga sekarang mulai hati-hati kalau nanya orang, berusaha untuk tidak bertanya ‘kapan nikah?’, ‘kapan hamil?’ Soalnya kita tidak pernah tahu kan, masalah orang apa,” ujarnya.
Foto oleh John Tuesday, diunduh dari unsplash.com
Sentuhan kecil yang berdampak
Kita hidup di era yang serba virtual dan visual—Youtube, Facebook, Twitter, Instagram. Dua kejadian yang saya alami tadi membuat saya mau tak mau berpikir; untuk setiap foto ala-ala ngehits di luar negeri, bisa jadi ada hati yang terluka karena dirinya tak seberuntung itu untuk bisa sekadar pelesir ke negeri sebelah; untuk setiap post deklarasi kehamilan atau bayi yang menggemaskan, mungkin tak sedikit hati yang ngilu karena penantian dan usaha bertahun-tahun tak kunjung terbayar; dan untuk setiap foto cincin yang tersemat, barangkali ada mereka-mereka yang semakin terluka karena baru saja patah hati.
Segala sesuatu yang kita unggah di dunia maya, akan lebih mudah dan cepat menjangkau banyak orang dan tentu saja, berdampak. Dalam kasus yang ekstrem, satu gerakan ibu jari dapat mencetuskan usaha mengakhiri hidup yang sedang susah payah diredam oleh seseorang.
Foto oleh Adrien Olichon, diunduh dari unsplash.com
Mengerikan? Ya. Tapi, kalau dunia maya memiliki kekuatan sebesar itu untuk melukai seseorang, bukankah ia juga seharusnya memiliki kekuatan yang sama besar untuk membangun?Kuncinya ada pada kita yang berada di balik layar. Sejauh mana kita rela meredam ego diri untuk tidak hanya sekadar menjadikan dunia maya sebagai ajang aktualisasi diri tanpa batas. Coba jujur, berapa banyak dari kita merasa senang ketika puluhan atau bahkan ratusan likes masuk ke notifikasi Instagram kita? Berapa banyak dari kita yang menanti-nanti komentar dari teman saat selesai mengunggah sebuah Instastory? Tanggapan membuat kita merasa diperhatikan, dan tak butuh waktu lama hingga akhirnya kita sendiri jadi kecanduan atensi—membuat kita keranjingan mengunggah lagi dan lagi, seakan kita haus perhatian.
“Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.”—Yohanes 3:30.
Ketika aktualisasi diri sudah menjadi ajang ke-‘aku’-an mungkin seharusnya kita diam sejenak dan bertanya, jangan-jangan kita sedang mencuri lampu sorot yang seharusnya milik Tuhan. Kita sibuk menabung popularitas dan menjadi lupa membagikan sebuah fakta penting, bahwa segala sesuatu yang dapat kita nikmati dan miliki sekarang, sesungguh adalah sebentuk kasih karunia dari Sang Empunya.
Foto oleh Nathan Dumlao diunduh dari unsplash.com
Kebebasan yang memerdekakan
Adalah mustahil untuk menyenangkan semua orang, pun tak mungkin melarang seseorang untuk mengunggah sesuatu di dunia maya hanya dengan alasan akan ada orang lain yang akan tersakiti, karena sejatinya kita semua memiliki kebebasan. Namun, alangkah indahnya bila kebebasan itu diikuti dengan kesadaran bahwa setiap gerak kita turut memberi dampak bagi orang lain—sekecil apa pun itu. Bahwa kita pun turut bertanggung jawab menggunakan kebebasan yang kita miliki untuk memerdekakan orang lain, bukan mengungkungnya dalam sedih dan luka.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: