Manusia sudah hidup dalam paradigma untuk mendapatkan CHICKEN DINNER! Bagaimana kekristenan menghadapi hidup yang survival ini?
Permainan online adalah bentuk dari perkembangan dunia digital yang mempertemukan orang-orang yang bermain game melalui jaringan internet. Akhir-akhir ini kita disuguhkan dengan naik daunnya permainan online dengan genre survival (di mana pemain diajak untuk bertahan hidup dan bersaing sampai akhir permainan). Salah satunya adalah PUBG; permainan ini naik daun sejak merambah pasar internasional dan dapat diakses melalui PC maupun mobile. Kepopuleran game ini merambah dengan pesat di Indonesia hingga bermunculan banyak sekali turnamen dari tingkat RT (lokal), sekolah, kampus, sampai ajang nasional maupun internasional. PUBG juga pernah menjadi kontroversi ketika ia dilarang oleh lembaga keagamaan tertentu dan dianggap sebagai pembawa semangat terorisme. Lalu apa menariknya permainan dengan ini, dibanding permainan dengan ciri khas tembak-menembak pendahulunya, seperti Counter Strike dan Point Blank? Dan apa kaitan atau refleksi yang dapat kita ambil dari permainan ini?
Seperti namanya Player Unknowns Battlegrounds, game PUBG sendiri berisikan pemain-pemain dengan latar belakang yang tidak diketahui (ya namanya saja game online). Yang berarti di sini, setiap pemain merupakan orang-orang yang tidak begitu jelas asal-usulnya akan tetapi mereka sama-sama bermain untuk mencapai kemenangan Chicken Dinner. Yang menarik, permainan genre survival mengajak pemainnya untuk naked, yang berarti tidak membawa perlengkapan apapun ketika memasuki arena pertempuran, dan mereka diwajibkan untuk mencari load perlengkapan maupun senjata sebanyak mungkin sebagai modal dalam pertempuran dengan pemain-pemain yang lain. Konsep inilah yang membedakan permainan genre survival seperti PUBG dengan permainan tembak-menembak pendahulu, yang sering dikaitkan dengan model Pay to Win (dikarenakan permainan pendahulu sudah membawa senjata terlebih dahulu ketika masuk ke dalam arena). Ketangkasan dan keuletan yang dibatasi dalam waktu yang singkat merupakan kunci penting dalam memainkan permainan ini. Keberuntungan juga menjadi peran utama di mana setiap orang bebas untuk memilih lokasi tempat mereka mendarat, dan memperlengkapi persenjataan mereka, atau bahkan memilih jenis senjata mereka.
Bagi penulis, permainan bergenre survival seperti PUBG adalah sebuah miniatur kehidupan manusia. Jika kita refleksikan dalam kehidupan, kita tak ubahnya para unknown player, yang masuk ke dalam dunia ini dan tidak benar-benar dapat mengenal identitas orang lain, jika tidak sering berkomunikasi atau hidup dalam konteks tempat atau waktu yang sering bersinggungan. Manusia paradigmanya juga merupakan pribadi yang telanjang ketika masuk ke dalam dunia dan memperlengkapi diri mereka dengan senjata-senjata baik, itu materil dan non-materil, untuk hidup bersaing mendapatkan peringkat yang lebih daripada yang lain; konteks ini mengajak kita untuk hidup bersaing! Sebut saja persaingan dalam sekolah untuk ranking, pekerjaan dalam mencapai target bulanan, bahkan dalam pelayanan di mana seringkali tiap gereja berusaha menunjukan diri untuk menjadi nomor 1! Manusia sudah hidup dalam paradigma untuk mendapatkan CHICKEN DINNER!
Bagaimana kekristenan menghadapi hidup yang survival ini? Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus tidak menyalahkan hal ini, ia sendiri beranggapan bahwa manusia memang benar adanya, harus memperlengkapi mereka dengan senjata yang harus mereka gunakan dalam upaya bertahan hidup dan melawan. Layaknya PUBG, manusia diajak untuk load senjata sebanyak mungkin, dan mempersiapkan diri untuk bersaing dan mengupayakan hidup survive. Jadi manusia memang harus bersaing? Namun apa sebenarnya musuh manusia itu?
karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara (Efesus 6:12)
Manusia esensinya memang adalah survive, manusia harus bertahan hidup! Akan tetapi musuh manusia bukanlah manusia yang lain, bukanlah orang yang juga sedang memperlengkapi dirinya. Akan tetapi musuh manusia adalah kuasa besar yang menjalankan konsep persaingan itu sendiri, kuasa jahat yang hidup dalam sistem yang membuat manusia saling bersaing dan berujung kepada pertumpahan darah, maupun ketidakharmonisan. PUBG sebenarnya mengingatkan generasi saat ini untuk kembali mengingat bagaimana Paulus pernah mengingatkan jemaat di Efesus, mengenai mempersiapkan diri melawan kuasa jahat yang hidup dalam sistem yang besar. Oleh karena itu ketika membaca kembali bagaimana konsep survival ala Paulus yang ada dalam Efesus 6:10-20, dapat disimpulkan bahwa Allah mengajak manusia untuk bermain PUBG bersama. Bukan game yang kita kenal sekarang, namun Player Unknowns Beloving Ground.
Perlengkapan senjata Allah bukanlah senjata yang sifatnya digunakan untuk menyerang. Perlengkapan ini adalah bentuk analogi daripada kerendahan hati dan kasih yang ditunjukan sebagai modal manusia bermain survival itu sendiri. Allah tidak mengajak manusia untuk saling bertarung (battle) tapi Ia mengajak manusia untuk saling mencintai (beloving). Mulai dari perisai yang digunakan untuk memadamkan panah api, ketopong keselamatan, dan pedang Firman, ikat pinggang kebenaran, zirah keadilan, kasut kerelaan. Setiap analogi daripada perlengkapan ini menunjukan bahwa nilai-nilai cinta adalah esensi dasar yang dapat digunakan manusia untuk hidup! Dan jika menilik daripada pemahaman ini, maka mari refleksikan bersama, sudah berapa banyak perlengkapan yang sudah kita load? Dan pertanyaan yang paling penting, sudah siapkah kita bermain PUBG yang sudah dirilis oleh Allah sejak awal bumi dan alam semesta ini diciptakan? Yuk main!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: