Ada riuh yang tak bisa aku raih. Alunan musik atau ego yang sedang diimprovisasi. Lidahku kelu. Setelah tepuk tangan kau turun panggung dengan mengangkat dagu. Tak ada tatapan mata untukku. Aku adalah jeda dari keramaian. Sebisa mungkin harus ditiadakan.
Aku di sudut bangku gereja paling belakang, tempat yang tidak diraih bahkan oleh cahaya lampu temaram. Dengan sepatu kulit yang mulai mengelupas sedang kau bahas merek tas yang kueja saja sulit. Aku beranjak. Kau tak pernah tahu bahwa aku pernah ada.
Aku ingin melihat kasih yang sering kau dendangkan atau citra yang katanya serupa dengan Tuhan. Sesuatu yang kau sebut berkat itu aku tidak berani untuk sekadar memikirkannya. Jangankan bernyanyi, untuk bernafas saja aku terbata-bata. Kau sibuk mengelompokkan mereka menurut bakat. Sedang aku untuk ada di hari itu saja merupakan suatu mukjizat.
Aku sekarat, dengan obat-obatan dan bayang-bayang ibuku di rumah yang babak belur dipukul bapak. Kau dengan banyaknya acara, yang kau bilang untuk jiwa-jiwa, tak sadar ada bangku yang telah lama kosong. Sebuah bangku paling belakang.
Photo by Keagan harris on Unsplash
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: