"Ah, ada, kok, yang mau sama kamu, tapi kamu mau atau enggak? Hehe."
Percaya atau tidak, semakin lengkap apa yang kamu miliki, maka semakin banyak orang yang memandangmu dengan beragam pandangan. Ada yang nyinyir itu wajar, meskipun yang mengapresiasi jugalah tidak sedikit. Namun, pernahkah kamu berpikir bahwa banyaknya sisi positif dalam dirimu juga menentukan bagaimana kamu memilih teman hidupmu di kemudian hari?
Aku belum pernah memikirkannya sejauh itu, sampai akhirnya aku menyadari alasan di balik gagalnya relasiku yang telah berulang kali terjadi. Oke, setidaknya dua kali, deh.
Di sebuah pesta pernikahan, mantanku pernah berkata, "Kamu cantik banget pakai dress itu, tapi... boleh enggak kalau sekali-kali kamu pakai yang sleeveless? Atau dress-mu jangan terlalu panjanglah. Formal amat. Cewek-cewek lainnya aja ada, kok, yang berani pakai dress pendek."
Padahal aku bukan termasuk perempuan yang percaya diri untuk memakai dress seperti yang diharapkannya. I mean, dia saja bukan suamiku, lalu kenapa mengatur-atur caraku dalam berpakaian? Toh pakaianku untuk ke pesta saat itu bukanlah pakaian yang menonjolkan bagian-bagian tertentu. Entahlah, aku kesal mendengarnya. Ada beberapa hal lain yang membuatku mempertimbangkan agar relasi ini harus berakhir, dan... terjadilah demikian.
Photo by Sam Chang on Unsplash
Kurang lebih satu tahun setelahnya, ada seorang teman kerjaku yang mendekatiku. Mungkin karena kami satu divisi di kantor, otomatis membuat kami sering berinteraksi. Sebenarnya orangnya cukup oke, sih. Bukan orang yang suka aneh-aneh, deh. Namun dalam sebuah obrolan berdua, aku baru tahu kalau ternyata dia sedang menjalani treatment untuk kecanduannya dari pornografi yang telah berlangsung selama beberapa tahun. Belakangan, aku juga mengetahui dari rekan kerjaku kalau laki-laki itu termasuk dalam black list para wanita di kantor karena cara bicaranya yang sangat blak-blakan, bahkan bisa merendahkan laki-laki lain dengan tujuan menunjukkan dirinya sebagai laki-laki yang terbaik di sana. Duh. Gagal lagi.
Entah tahu dari mana, ada beberapa orang yang berkata setengah nyinyir, "Jadi cewek nggak usah jual mahal, deh. Sok cantik gitu, siapa yang mau sama kamu?" Bahkan ada juga yang menyindir, "Udah cantik, talented, banyak yang mau, tapi pilih-pilih. Nggak kasihan sama yang nggak seberuntung kamu, ya?"
Baiklah. Sepertinya sekarang aku sudah dikenal sebagai wanita pemilih. Perfect.
Namun, kalau dipikir-pikir lagi, bukankah seharusnya aku berhak menentukan dengan siapa aku akan menua bersama sesuai kapasitas dan kesanggupanku berjalan dengannya? Sebegitu rendahnyakah aku di mata orang lain hanya karena aku memiliki segudang list pria yang tepat untukku?
"Nggak, kok." Seorang temanku yang sudah menikah menyanggah pemikiranku. "List yang kamu punya itu sebenernya bentuk kesadaranmu tentang sosok kayak gimana yang kamu butuhin. Jangan merasa bersalah, ya. It's a wise choice."
"Tapi banyak orang yang mikirnya beda, deh. Hahaha... Di umur 26 tahun gini, aku jadi hopeless bisa nikah sebelum umur 30 tahun."
"Iya, sih, banyak orang bilang kalau nikah di atas 30 tahun itu tandanya enggak laku, entah karena banyak kriterianya atau terlalu sibuk mengejar karier. Padahal, kan, ukuran keberhasilan seseorang (apalagi untuk wanita) itu bukan dari apakah dia segera menikah atau nggak. Mungkin karena budaya kita masih cukup mementingkan soal status kali, ya..."
Meskipun kepalaku mengangguk setuju, hatiku menjerit karena pandangan masyarakat-pada-umumnya itulah yang juga bercokol di pikiran orang tua dan keluarga besarku. Rasanya sejak mendekati kepala tiga, setiap kali ada acara keluarga, aku jadi sedikit minder karena kebanyakan sepupuku sudah memperkenalkan pasangannya masing-masing. Bahkan ada juga yang sudah menggandeng dua anak, sementara aku masih terlihat seperti remaja ingusan karena relasi yang gagal terbangun.
Photo by Trung Thanh on Unsplash
Haruskah aku pindah ke negara lain agar tidak direcoki dengan pertanyaan seputar status oleh orang lain? Heran, apakah di negara ini sebegitu pentingnyakah status untuk menentukan seberapa berharganya wanita (eh, dan pria) di mata masyarakat? Bukankah kami unik dengan kepribadian dan potensi kami, tanpa harus menyangkut-pautkannya dengan status? Lagipula, semakin tinggi kualitasnya, semakin tinggi pula standar yang seharusnya kami miliki, kan?
"Hei! Melamun mulu, nih!"
Aku tersentak dari lamunanku saat mendengar celetukan seorang rekan kerja pria lainnya (yang juga merupakan sahabatku di kampus). Sambil nyengir, dia bertanya, "Suntuk amat, sih. Lagi mikirin apa?"
"Aku ditanyain lagi sama tanteku," jawabku. Entah sudah berapa menit aku memelototi chat dari tanteku itu, tetapi sampai sekarang masih belum tahu harus membalas apa. Yeah, lagi-lagi karena undangan pernikahan yang dikirimkannya di grup keluarga besar, beliau me-mention namaku dan menulis, "Giliranmu ditunggu, yaa. Hehehe..."
"Oh, soal apa?"
"Pertanyaan yang jelas-jelas aku belum tahu jawabannya."
"Soal kapan kamu nikah? Atau sejenisnya?"
Aku mengerutkan dahi. Sedekat-dekatnya dengan seorang laki-laki, sepertinya baru kali (oke, dikurangi si mantan) ini ada yang bisa menebak pikiranku tanpa harus bertanya banyak. Ah, by the way, dia bukan cenayang, ya. Otaknya memang sangat penuh dengan rasio dan logika, tetapi anehnya aku (yang cenderung perasa) merasa nyaman mengobrol banyak dengannya, karena bisa mempelajari banyak hal dari obrolan kami.
"Kebaca jelas dari wajahku, ya? Hahaha..." tawaku sumbang.
Dia ikut tertawa. "Nih, biar kamu semangat lagi." katanya sambil menyerahkan segelas sari jeruk yang ditempeli secarik sticky note. "Aku nggak tahu ini yang nulis telepati sama kamu atau nggak, tapi semoga tulisannya bisa kasih kamu harapan, ya."
"Wah, makasih!" aku tersenyum dan menerima pemberiannya, lalu tercengang saat membaca tulisan yang dimaksud.
Photo by Sen Sathyamony on Unsplash
"Eh, ini dari siapa? Bukannya sari jeruknya aku nitip ke kamu, ya?" tanyaku, karena sebelum istirahat makan siang, aku memintanya untuk membelikan sari jeruk ini. Apa dia sempat bertemu dengan rekan kerja kami yang titip pesan untukku? Atau...
"Iya, bener. Cuma orang yang nulis pesannya bilang biar anonim aja. Hehehe..."
"Hm, mencurigakan." Aku memasang wajah menyelidik saat melihatnya nyengir salah tingkah. "Well, tolong sampein makasih dari aku buat dia, ya."
"Sip! Aku balik ke mejaku dulu, ya. Nanti aku bilangin. Bye!"
Secarik kertas itu hanya berisi satu kalimat sederhana (dan tawa singkat), tetapi itu membuatku berpikir keras:
"Ah, ada, kok, yang mau sama kamu, tapi kamunya mau atau nggak? Hehe."
Sejujurnya, firasatku berkata bahwa rekan kerjaku tadilah penulis note itu, tetapi aku juga kurang yakin, sih. Dia memang baik (oke, aku harus mengakui bahwa dia sedikit-banyak memenuhi kriteriaku di samping kecintaannya pada kerja-mepet-deadline), walaupun kadang-kadang suka iseng. Ah, mungkin dia bilang begitu biar aku nggak galau melulu, batinku. Cowok yang satu frekuensi denganku tidak banyak, kawan, dan dia adalah salah satunya. Firasatku bisa berkata demikian karena dari sekian banyak rekan kerjaku di kantor ini, hanya dia yang tahu cukup banyak kisah kehidupanku, begitu pula sebaliknya (mungkin ini efek dulu kami berkuliah di tempat yang sama). Selain si mantan gebetan yang zonk, aku rasa belum ada lagi cowok lain yang berani mendekatiku.
Kalaupun firasatku meleset, aku berharap prinsipku untuk tetap memperkaya diri agar menjadi "orang yang tepat bagi orang yang tepat pula" tidaklah kandas. Biarlah orang lain mengetahui alasan di balik perjuanganku ini sebagai bukti bahwa aku berharga, sekalipun saat ini belum ada yang bersanding denganku. Aku berharga, karena ada satu Pribadi yang dengan penuh cinta menyerahkan nyawa-Nya untukku agar aku memiliki pengenalan yang utuh akan Sang Pencipta dan diri sendiri. Bukankah itu cukup membebaskanku dari ratapan terhadap status "menikah" yang dipertanyakan banyak orang?
*by Minbi yang akhirnya bayar utang dari ed letter "My Branding, My Way?". Hehe
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: