“Shining does not mean self-propaganda, self-publicity, self-glorification, but bearing fruit in our life, bringing life and light to others. It is about our deeds in society—in politics, in culture and in social life.” (Bersinar bukan berarti propaganda diri, publisitas diri, pemuliaan diri. Bersinar berarti menghasilkan buah hidup kita, membawa hidup dan terang bagi orang lain. Ini tentang perbuatan kita dalam masyarakat—dalam politik, dalam budaya dan dalam kehidupan sosial.) – Michael Oyetade
Matius 5:14-16 adalah sebuah teks Alkitab yang sangat populer di kalangan orang-orang Kristen. Mayoritas orang Kristen mengenal teks ini. Namun, di postingan ini, aku mau share kalau pesan ini kadang menjadi toxic bagi diri sendiri dan orang lain. Kok, bisa?
Mari kita ingat terlebih dahulu kalau biasanya teks ini dikhotbahkan dan dimaknai bagaimana seseorang harus menjadi teladan untuk orang lain. Iya, jadi teladan di dalam Tuhan. Walaupun demikian, pesan teks ini ada kalanya dimaknai secara toxic dalam beberapa hal. Pertama, teks ini seringkali dipahami bahwa menjadi terang haruslah selalu tampil baik secara moral, tak sedih tak down saat menghadapi masalah, harus menjadi orang yang terpintar di sekolah, terhebat dalam berbagai kejuaraan olahraga, you name it lah. Seseorang yang menjadi teladan seolah-olah tidak diperbolehkan memiliki kelemahan; kalau pun ada, maka kelemahan itu harus cepat-cepat ditutup. Kalau tidak, nanti bisa jadi batu sandungan! Ga enak di lihat orang! Ini pandangan yang tidak tepat, lho, bagi diri sendiri dan orang lain. Diri sendiri dipaksa sempurna dan orang lain pun kita paksa untuk mengikuti standar moral kita dengan ekspektasi agar "jangan sampai diomongin"! Kedua, orang-orang di luar komunitas Kristen akhirnya terlihat sebagai ancaman yang terus mengawasi kita. Dengan demikian, bergaul dengan orang di luar menjadi sebuah ketakutan, karena takut terlihat kurang baik, kurang sopan, kurang elok, kurang ini itu. Ketiga, istilah "garam dan terang" itu sering dipahami sebagai moralisme, yang selalu slogannya “enggak boleh ini dan itu, plus harus begini dan begitu.”
Aih, itu, kan memang penafsiran yang bertanggungjawab! Ga boleh jadi orang lemah, nanti orang lain ga suka sama kita. Nah, lho. Malah jadi batu sandungan, kan?
Mari kita check dua kata yang penting, yaitu garam dan terang. Dalam budaya Yahudi, garam sangatlah berguna walaupun tidak terlihat dan nampak. Bisa untuk menambah cita rasa pada makanan hambar, mengawetkan makanan, dan jadi tanda perjanjian. Di dalam Injil Matius ini, Yesus menegaskan agar garam jangan sampai hambar. Dari sini, aku berpendapat bahwa murid Yesus sebagai garam ialah murid Yesus yang mungkin tak dikenal banyak orang di seluruh dunia, tetapi bisa memberikan suatu kontribusi. Kontribusinya tentu tanda hadirnya Allah di dunia, yaitu kasih, keadilan dan lain sebagainya.
Bagaimana dengan terang? Terang atau phos disebut Yesus "harus tidak tersembunyi, sehingga orang dapat melihatnya. Perbuatan baik kiranya terlihat." Kurang lebih begitulah parafrasa Matius 5:15-17. Lampu atau pelita adalah sesuatu yang harus tampak dan tak tersembunyi agar orang-orang bisa melihat dan tidak jatuh, tersandung, atau tertabrak. Kata "terang" yang dipakai Matius 4:15-16 ini dikutip dari Yesaya 9:1 (Matius mengutip dari Yesaya versi Septuaginta, kitab-kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani) yang merujuk bagaimana seseorang hidup dalam penderitaan, kegelapan spiritual, dan hidup tanpa arah bisa dipulihkan baik rohani dan jasmani, diarahkan pada jalan keadilan, serta hidup dalam sukacita. Singkatnya, kita bisa mengerti bahwa seorang pengikut Kristus haruslah memiliki perbuatan baik yang nampak kepada orang lain, sehingga orang mengalami pemulihan. Dalam Matius 5:16-17, kita belajar bahwa perbuatan baiklah yang harus terlihat; kalau dalam bahasa Yunaninya, kala erga, istilah ini berkaitan dengan sesuatu yang dikerjakan dan diperbuat seseorang. Jadi, memang intinya adalah bagiamana seseorang harus melakukan sesuatu yang bermanfaat membawa tanda kerajaan Allah kasih, kabar baik, sukacita, dan keadilan sehingga orang-orang lain bisa hidup dalam pemulihan dan memuji Allah.
Lalu, bagaimana terang itu diwujudkan? Jawabannya adalah dari Yesus, Sang Terang yang hidup itu! Dari-Nyalah kita bisa melihat bagaimana terang diwujudkan: Dari surga, Yesus yang adalah Anak Allah itu rela turun ke dalam dunia yang berdosa sebagai manusia, kemudian melayani dan melakukan berbagai mujizat yang memulihkan maupun memberi makan banyak orang, menunjukkan kasih, memprotes ketidakadilan, menyerukan pertobatan kepada kebenaran dan keadilan, memberikan kelegaan, dan lain sebagainya. Bahkan dalam kesempurnaan-Nya sebagai manusia, Yesus rela mati dengan lemah di kayu salib menanggung dosa manusia dan murka Allah atas manusia, kemudian Dia bangkit dan naik ke surga! Oke, di luar mujizat supranatural (kecuali kalau Tuhan mengaruniakannya pada kita) dan karya keselamatan yang Yesus kerjakan, kita dipanggil untuk melayani, mengasihi, menegakkan keadilan, dan memberitakan Injil. Itulah yang dimaknai di dalam istilah "terang"! Menjadi terang bukanlah tentang menjadi orang yang paling pintar, paling hebat, selalu berprestasi, harus purrfecto, dan tak pernah terpuruk.
Berbicara mengenai batu sandungan, Kitab Suci mengisahkannya berdasarkan konteks pembaca pertama (yaitu orang Yahudi) di abad pertama bahwa jika mereka berbuat buruk, tentu mereka akan kena masalah dan mengalami penganiayaan. Apakah kita hidup dalam zaman yang masih demikian? Secara umum, tidak sepenuhnya demikian, tetapi ada pula orang-orang yang mengalami penganiayaan karena apa yang mereka lakukan dan yakini. Ambil contoh para rasul dan orang-orang percaya di abad pertama! Mereka seolah-olah menjadi batu sandungan untuk orang Yahudi, komunitas asal mereka (lagipula, Yesus tidak pernah menciptakan agama Kristen. Ini bisa jadi pembahasan terpisah, by the way). Namun, hidup mereka menjadi bagian dari terang dunia, dan buktinya ada di kita yang menjadi percaya karena Injil yang diberitakan.
Hidup ini tidak selalu menginginkan rasa asin dan terang yang menyinarinya. Oleh karena itu, kita membutuhkan hikmat Tuhan dalam menghidupi identitas kita sebagai garam dan terang dunia. Sebagai penutup, kiranya ungkapan Michael Oyetade ini menjadi reminder bagi kita:
Bersinar bukan berarti propaganda diri, publisitas diri, pemuliaan diri. Bersinar berarti menghasilkan buah hidup kita, membawa hidup dan terang bagi orang lain. Ini tentang perbuatan kita dalam masyarakat—dalam politik, dalam budaya dan dalam kehidupan sosial.
Bacaan lebih lanjut:
Bauer, Walter, Frederick W. Danker, William F. Arndt, F. Wilbur Gingrich (BDAG). A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature. Chicago: University of Chicago Press, 2000
Carson, D. A. Matthew (Expositors Bible Commentary). Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 2010.
Keneer, Craig S. A Commentary On The Gospel Of Matthew. Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1999.
Michael Oyetade, Salt and Light in Matthew 5:13-14: A paradigm for democratic sustainability in Nigeria, Journal of Sustainable Development in Africa (Volume 23, No.1, 2021).
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: