Beberapa waktu lalu, instagram mengumumkan akan menghilangkan total likes-nya. Berita tersebut, menuai banyak komentar. Ada yang setuju dengan alasan kesehatan mental, ada juga admin media sosial yang harus menyesuaikan diri.
Sejak kehadiran aplikasi ini, Instagram mengubah kebiasaan banyak orang. Kemunculannya di tahun 2010 hanya dapat dinikmati pengguna iPhone. Tak jarang tagar #iphonesia menjadi penanda identitas para pengguna iPhone, yang juga pengguna Instagram dan hobi fotografi. Pada masa itu Blackberry masih menjadi tren dan iPhone menjadi salah satu barang “mahal” ketika saya masih SMA, menunjukkan kelas sosial, yang punya Instagram, punya iPhone, pastilah orang berduit.
Instagram mulai membuka diri dan sudah bisa dipergunakan pada sistem operasi Android di tahun 2012 sehingga dapat dinikmati lebih banyak orang. Kehadirannya yang masih baru, tentu saja tidak sert- merta membuat booming penggunaannya seperti sekarang ini. Instagram masih bersaing dengan media sosial lain seperti Facebook, Twitter, Path, AskFM, Plurk, dll. Sekarang, tidak afdol rasanya kalau berkenalan tanpa bertukar akun Instagram, entah itu saling follow, saling mention dan tag di postingan story atau feed.
Berasal dari dua kata, "instan" dari foto instan/polaroid dan "gram" dari kata telegram untuk memberikan informasi secara cepat, menjadi akronim dari Instagram. Saya akui penggunaanya sederhana, cepat, dan eye catching. Di tahun-tahun tersebut, saya hanya berbagi foto kegiatan sehari-hari melalui Facebook atau Path dan berbagi foto-foto hasil jepretan fotografi di Flickr. Pada kelahirannya, Instagram hanya dapat posting foto berukuran kotak (rasio 1:1) dan terkenal dengan filter lomo dan Polaroid. Berbarengan pula pada masa itu, komunitas toy camera dan lomography Kaskus (media forum Indonesia) sedang ramai. Instagram tidak hanya menjadi media untuk berbagi foto keseharian, tapi juga menyalurkan hobi fotografi dan bisa dibagikan secara cepat. Jika menyukai foto tersebut, kita bisa likes dan comment pada foto yang bersangkutan, mirip dengan yang biasa saya lakukan di Facebook, Path, atau Flickr.
#likesforlikes
Siapa yang pernah menggunakan tagar tersebut? Likes menjadi salah satu fitur andalan Instagram setelah foto terupload. Banyak orang mulai menjadi pamrih, likes foto orang lain untuk mendapatkan likes dari orang tersebut. Kalau ternyata tidak berbalas, beberapa diantaranya bahkan tidak mau likes foto yang diunggah berikutnya.
Menjadi fakir likes juga ditunjukkan dengan penggunaan banyak tagar untuk menghubungkan dengan konten terkait. Tak jarang, kontennya tidak sesuai dengan tagar. Siapa juga yang ikut arus #banyakhashtag? Saya juga pernah mengalaminya. Sejumlah tagar terkait dan jumlahnya banyak hingga tak muat di caption diusahakan harus muncul dalam postingan. Tujuannya agar dapat banyak likes.
Berusaha Menjadi Sempurna dan Harus Sempurna
Kata orang "nobody is perfect", tapi segalanya terlihat sempurna ketika melihat Instagram. Dia yang cantik, saya buruk rupa. Dia yang langsing, saya yang langsung lebar jika banyak makan. Dia yang bisa jalan-jalan, saya hanya jalan-jalan di sekitaran rumah. Dia yang cerdas dengan segala kutipan bijaksana dari Google, saya yang terlihat bodoh. Dia yang makan cantik, saya hanya makan bakmie gerobak dekat rumah. Foto yang diambil bagus ya, saya merasa kurang bertalenta dan kurang alat dalam motret. Ya, pantas saja likes-nya banyak. Hidupnya sempurna. Tanpa sadar saya mulai membandingkan diri sendiri dengan orang lain dan semakin merasa tidak puas dengan diri sendiri.
Perasaan tidak puas atas diri sendiri dan sikap membandingkan sudah ada sejak dulu, bahkan sebelum ada Instagram dan likes. Namun, Instagram membuat perbandingan ini menjadi lebih sering dilihat. Melihat “kesempurnaan” orang lain, membuat saya beberapa kali juga tergiur melakukannya sehingga tidak menjadi diri sendiri. Bagaimana rasanya? Capek. Banyak waktu yang terbuang hanya untuk membuat konsep dan memperhatikan notifikasi agar dapat likes. Saya ingin terus di-likes tanpa sadar bahwa saya ingin dihargai, dilihat orang, dan merasa punya banyak teman. Sebagai seorang digital marketer, saya menyadari bahwa likes bukan hal yang utama untuk menentukan apakah postingan “diapresiasi” dan dilihat oleh banyak orang, tapi likes bagaikan candu yang sulit lepas.
Selain likes, fitur komentar juga membuat perasaan dikasihi, tapi terkadang membuat stres. Pada suatu waktu saya merasa stres karena banyaknya comment di akun pribadi yang masuk karena merasa harus membalas setiap komentar (anaknya nggak siap terkenal). Di waktu yang lain, saya stres menghadapi crisis communication dari komentar netizen julid dan kasar di sebuah akun yang saya pegang. Beberapa selebriti, termasuk selebgram, harus berkonsultasi dengan psikolog karena komentar pedas netizen. Instagram membuat kita senang secara instan sekaligus membuat jiwa sedikit terganggu akibat penggunaannya.
We Don’t Need Likes but We Need Greater Love
Ketika saya mulai jengah dengan kebutuhan afirmasi dari Instagram, saya mulai menarik diri dari media sosial tersebut. Suatu waktu, aplikasi tersebut saya uninstall karena mulai mengganggu konsentrasi. Gara-gara Instagram, saya jadi sulit mengerjakan panggilan-Nya dalam kehidupan nyata. Saya berkontemplasi tentang penerimaan diri dan perasan untuk dikasihi.
Semua orang pasti ingin dihargai dan dikasihi. Banyak cara yang dilakukan untuk mendapatkan kedua hal tersebut. Bentuk hati pada tombol likes bagaikan sebuah representasi kasih yang diberikan oleh orang lain, tapi ternyata itu semua seperti candu, kita ingin lagi dan lagi. Tombol hati membuat kita merasa senang tapi sulit merasa sukacita.
Penerimaan diri yang tidak sesempurna postingan Instagram tidak dapat dilakukan secara instan, tapi butuh proses. Hanya Allah yang sempurna yang dapat menerima ketidaksempurnaan dan tidak membandingkan dengan yang lain. Kita diciptakan unik, jadi nikmati saja tanpa harus melihat apa yang sedang keren dilakukan orang lain yang lebih influencing.
Kesadaran tentang keberhargaan yang tulus dari-Nya, membuat saya merasa puas dengan diri sendiri. Postingan bukan lagi sekedar cari likes atau viewers, tapi hanya berbagi apa yang saya pikirkan dan rasakan. Kadang tujuannya hanya untuk hiburan, kadang untuk menginformasi. Artistik dan konten hanyalah strategi untuk berbagi. Angka likes dan insight hanya untuk mengukur seberapa jauh berita atau postingan yang saya bagikan diterima orang.
Bagi banyak orang, likes yang dihilangkan dapat membantu mereka merasa puas akan diri sendiri tanpa membandingkan. Proses menyadari bahwa Allah yang memberikan unlimited likes yang menjadi penting. Likes hanyalah salah satu manifestasi perasaan ingin dikasihi. Jika perasaan dikasihi dengan tulus belum selesai, akan muncul manifestasi lain perasaan dikasihi yang menggantikan tombol likes, mungkin jumlah dan isi komentar atau jumlah followers.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: