"Saya tidak menganggap diri saya seorang Indonesia; dan tidak perlu menganggap demikian. Karena saya, adalah orang Indonesia." - Susi Susanti, 1998 -
Baru beberapa hari lalu, lagu kebangsaan "Indonesia Raya" dikumandangkan di Tokyo, karena pemain badminton ganda putri Indonesia baru saja memenangkan medali emas. Mereka adalah Greysia Polii dan Apriani Rahayu yang baru saja mengalahkan pasangan Tiongkok, Chen/Jia. Pasangan Greysia/Apriani ini juga telah mencetak sejarah dengan menjadi pasangan ganda putri pertama di Indonesia yang memenangkan medali emas, dan melanjutkan tradisi emas Indonesia di cabang olah raga badminton sejak Olimpiade Barcelona 1992 silam. Tentu, sebuah prestasi yang membanggakan bagi Indonesia, bukan?
Greysia Polii dan Apriyani Rahayu saat di podium Olimpiade Tokyo 2020 diambil dari twitter.com/bwfmedia
Namun, prestasi yang membanggakan itu tidak didapat dengan instan. Indonesia terus bergumul dengan kekalahan demi kekalahan di pentas olahraga badminton, khususnya dengan pemain dari Tiongkok. Penyebabnya? Tidak lain dan tidak bukan adalah atlet-atlet keturunan yang tidak diizinkan kembali oleh pemerintah Orde Baru pada periode awal-awal transisi. Bukan periode yang mudah. Namun, pada tahun 1985, ketua PBSI pada saat itu, Bapak Try Sutrisno, menyetujui sebuah ide untuk membawa pulang Liang Chiu-Sia dan Tong Sin Fu (nama terakhir kelak menjadi pelatih Lin Dan) demi memperbaiki kualitas badminton Indonesia.
Di tangan merekalah, kita mengenal Susi Susanti dan Alan Budikusuma. Liang dan Tong yang didatangkan untuk melatih tim nasional badminton Indonesia. Dalam sebuah pelatnas, mereka banyak sekali mengorbitkan talenta-talenta muda badminton Indonesia yang kelak juga akan banyak bermain untuk Indonesia. Di artikel kali ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk menyelami kehidupan seorang Susi Susanti, yang berjuang demi harumnya nama Indonesia di kancah internasional, sekaligus membuat lagu "Indonesia Raya" berkumandang di pentas olahraga internasional. Yuk, kita tengok kehidupan beliau di sini.
1. Lahir dalam sebuah keluarga Tionghoa di Indonesia membuatnya harus berjuang sejak remaja.
Well, menjadi seorang berketurunan Tionghoa di Indonesia pada masa Orde Baru bukanlah hal yang mudah. Setidaknya, itulah yang berulang kali dialami Susi, bahkan ketika ia sudah menjadi atlet. Lalu, apa yang harus ia perjuangkan selain medali emas? Kan sudah berjuang juga supaya bisa masuk timnas?
Sabar dulu. Ingat ya, kalau penduduk Indonesia keturunan Tionghoa membutuhkan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) sebagai "KTP WNI" mereka pada masa itu. Sayangnya, SBKRI yang dibutuhkan itu tak kunjung turun, bahkan ketika Susi akan membela Indonesia di Olimpiade Atlanta 1996. Ketidakjelasan inilah yang sempat membuatnya marah, sebab perjuangan bertahun-tahun dan emas di Olimpiade Barcelona 1992 seakan tak cukup untuk membuat Indonesia menganggapnya sebagai warga negara.
2. Tak hanya SKBRI, Susi juga berjuang mati-matian demi medali emas dan Indonesia Raya
Judulnya nggak salah kok, guys. Menjadi seorang Susi pada zaman itu tidaklah mudah. Pada awal pertandingan penentu Sudirman Cup 1989 di Jakarta, Susi diturunkan di do-or-die match oleh Chiu-Sia. Partai di mana Indonesia wajib menang demi menjaga asa mendapatkan piala Sudirman. Dan benar saja, pada set pertama, Susi kalah 10-12. Namun, Chiu-Sia punya pendapat lain. Ia hanya memberi Susi 1 kalimat di kala set ke-2 hampir dimenangkan Korea, "Ingat All England '74".
Berbekal kalimat dari Chiu-Sia itulah, Susi membalikkan keadaan di set kedua, sekaligus mengakhiri set ketiga dengan menyabet seluruh poin. Asa Indonesia terjaga di pertandingan final tersebut. Di sinilah perjuangan Susi dimulai.
3. Indonesia Raya berkumandang di Barcelona, apa selanjutnya?
Gambar Susi Susanti dan Alan Budikusuma di gelaran Olimpiade Barcelona 1992, diambil dari Kompas.com
Di tahun 1992, badminton Indonesia mulai bangkit. Fajar harapan bagi Indonesia mulai muncul karena lahirnya banyak talenta muda badminton. Indonesia optimis memenangkan emas di Barcelona. Pemain-pemain pun mulai berlatih dan singkat cerita, pada sektor tunggal putra terjadi all-Indonesian final. Pada tunggal putri, Susi kembali bertemu wakil Korea. Ketakutan mulai menghampiri Susi. Ia takut gagal di final ini. Namun, ia pun berdoa dan kembali berjuang di lapangan.
Butuh tiga set sih, tapi pada akhirnya Indonesia Raya berhasil berkumandang di Barcelona. Inilah medali emas Indonesia pertama di Olimpiade. Sejarah baru telah tercetak! Namun, perjuangan belum selesai. Ingat tentang SBKRI di poin pertama tadi? Susi dan atlet keturunan Tionghoa lainnya belum berhasil mendapatkannya. Alhasil, ia masih seperti WNA di tanah kelahirannya sendiri. Namun, ia tetap memberikan yang terbaik di pertandingan-pertandingan selanjutnya pasca Olimpiade 1992.
4. Kerusuhan 1998 berkobar di Indonesia, pertandingan Thomas dan Uber Cup di Hong Kong juga baru dimulai.
Krisis moneter 1997 yang melanda Asia membuat orang-orang keturunan Tionghoa semakin tidak aman. Banyak kerusuhan anti-Tionghoa di seluruh Indonesia terjadi, dan keluarga Susi tak terluput. Di saat yang bersamaan di Hong Kong, pertandingan Thomas Cup dan Uber Cup harus terlaksana. Lawan Indonesia di final: Tiongkok, salah satu tim terkuat Asia!
Sebelum pertandingan, sempat terdengar berita tentang kerusuhan 1998 melalui televisi lokal. Internasional sudah mendengar hal ini. Atlet Indonesia yang keturunan Tionghoa pun diwawancarai. Mereka ditanya apakah akan mencari suaka di negara lain dan, mungkin, pindah warga negara. Menarik apa jawaban Susi pada wawancara kali ini:
"Saya tidak menganggap diri saya seorang Indonesia; dan tidak perlu menganggap demikian. Karena saya, adalah orang Indonesia."
- Susi Susanti, 1998 -
Beliau tetap dengan tegas bahwa ia adalah orang Indonesia. Beliau percaya bahwa kelahirannya di Indonesia bukanlah sebuah kebetulan. Dan sampai detik-detik final itu, ia tetap memutuskan bermain untuk Indonesia terlepas apapun masalah yang menimpanya. Sangat luar biasa yang mungkin mayoritas kita belum tentu bisa melakukannya.
Gambar salah satu adegan di Film "Susi Susanti: Love-All" diambil dari CNN Indonesia
Lalu apakah yang bisa kita teladani di masa kini?
Inilah pertanyaan satu juta dolarnya.
Tidak afdol jika tidak dikaitkan dengan hidup kita sebagai seorang Kristen. Rasul Paulus pernah menuliskan kalau hidup itu diibaratkan sebagai sebuah pertandingan. Rasul Paulus hidup di zaman Olimpiade juga loh! Beliau hidup di zaman Olimpiade kuno, jadi tak heran kalau perumpamaan beliau ini menggunakan pertandingan. Kita ini bertanding, berjuang di dalam hidup kita untuk mencapai garis finish kita masing-masing. Lawan kita? Ya diri kita sendiri dengan segala kedagingan kita.
Kalau di konteks hidup Susi, ia berjuang dalam sebuah pertandingan olahraga, sekaligus pertandingan hidup. Susi memiliki seorang ayah yang sangat mendukung putrinya itu dalam susah maupun senang. Bahkan ayahnya itulah yang membawa Susi ke asrama PB Jaya Raya demi mendukung cita-cita Susi menjadi seorang atlet badminton. Didukungnya Susi dalam keadaan apapun. Dan yang terpenting, ayah Susi selalu meminta Susi untuk tidak lupa berdoa pada Tuhan. Susi adalah seorang anak Tuhan yang taat, bahkan sang ibunda menitipkan sebuah kalung rosario pada Susi sebelum ia pergi meninggalkan rumah untuk berlatih.
Di asrama PB Jaya Raya itulah Susi bertemu Rudy Hartono, pahlawan Indonesia di All England 1974. Pak Rudy Hartono inilah yang mengajarkan kepada Susi bahwa lawan terberatnya adalah dirinya sendiri.
Kalau kita? Ada Bapa di Surga yang juga menopang kita dan tidak pernah meninggalkan kita. Sebagai sesama anak Tuhan, kita hendaknya tetap berjuang di "Olimpiade" kehidupan ini. Kelak, ketika Kristus berkata, "Hai hamba-Ku yang setia, mari masuklah," betapa besarnya sukacita itu kelak.
Maukah kita tetap berjuang dalam hidup kita yang tak mudah ini? Kalau sulit, itu wajar karena kita manusia terbatas yang butuh Tuhan. Nggak bisa berjuang sendirian. Butuh Tuhan. Yuk, minta tolong pada Tuhan dan minta Tuhan mampukan. Niscaya, Tuhan yang berikan kekuatan pada kita untuk berjuang dalam hidup.
Selamat memasuki bulan Agustus, bulan kemerdekaan dan perjuangan. Soli Deo Gloria.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: