Sebuah Refleksi Ekoteologis dari Lagu “Guna Manusia – Barasuara”

Going Deeper, God's Words, 27 June 2019
Melayani alam sebagai sesama ciptaan Allah, tanpa mengharapkan imbalan apa pun.

Pada tahun 2018, grup band indie asal Jakarta, Indonesia (yang lagi booming), Barasuara, mengeluarkan single terbaru berjudul Guna Manusia. Sebuah judul yang menarik. Memang, jika ditilik dari sejarahnya, Barasuara memang selalu mengeluarkan judul lagu yang kadang membuat orang kebingungan. Sebut saja Tarintih, Taifun, Samara, juga bahkan Masa Mesias Mesias. Secara sekilas dapat terlihat bahwa lagu Guna Manusia mempertanyakan apakah guna manusia di dunia ini? Iga Massardi (vokal-gitar) dengan bantuan oleh Gerald Situmorang (bass-gitar), dalam menciptakan lagu ini, memiliki refleksi bahwa banyak hal penting di sekitar manusia yang terlupakan dan apa yang manusia lakukan saat ini adalah salah. Sehingga muncullah pertanyaan tadi, “Apakah guna kita sebagai manusia?”

Photo by Victor Jakovlev on Unsplash

Pada lirik awalnya, Barasuara ingin menyampaikan bahwa Bumi ini sudah tenggelam dan manusia tetap melanjutkan kehidupan tanpa ada perasaan apa pun. Manusia mengarungi lautan yang sudah rusak secara ekologis, juga memanaskan daratan (hutan yang terbakar). Barasuara mulai mempertanyakan apakah guna manusia jika semua langkahnya (semua yang manusia lakukan) adalah merusak alam ini. Bukannya memperbaiki alam ini, manusia malah mencari-cari cara bagaimana untuk beradaptasi pada alam yang sudah rusak. 

Menarik pada bagian interlude, Barasuara tanpa segan memasukkan data terkait dengan kerusakan ekologis yang mungkin ini adalah data terkait banjir atau terkait dengan penggerusan tanah yang ada (di Cengkareng Barat, Ancol, Kebayoran Baru, dll). Kedua hal tadi dikaitkan dengan pemanasan global yang terjadi di dunia yang akhirnya menyebabkan es yang ada di utara (Kutub Utara), menjadi mencair dan menyebar ke laut di seluruh bumi ini. Lalu mengakhirinya dengan tanggapan bahwa kita berada di ujung kehancuran.

Photo by DigitalArtist on Pixabay

Pada akhir dari lagu Guna Manusia, Barasuara menyampaikan bahwa manusia hanya mencari celah atau solusi sederhana tentang alam ini. Manusia tidak memikirkan masalah jangka panjang namun menekankan pada adaptasi, adaptasi, dan adaptasi. Bagaimana manusia beradaptasi pada situasi yang seperti ini? Ketika bumi sudah rusak, bukankah manusia juga rusak?

Menarik ketika Barasuara melihat bahwa permasalahan ekologis adalah permasalahan yang sangat berbahaya saat ini, namun sering kali dilupakan oleh manusia modern. Manusia ini hanya akan meninggalkan warisan yang tidak menyenangkan kepada manusia yang akan datang nantinya. Menurut pandangan Kristen, saat ini alam haruslah berada pada posisi yang sejajar dengan manusia. Bukan saatnya lagi manusia mengeruk tanah-tanah di alam tanpa ada proses pertanggung jawaban lebih lanjut. Bukan saatnya lagi manusia membakar hutan-hutan yang ada tanpa ada proses pertanggung jawaban. Sudah bukan saatnya lagi manusia menangisi sisa lautan (sisa alam) yang ada. Sekarang adalah saatnya manusia bergerak selangkah lebih maju dalam pemikiran ekologis bahwa yang patut dipersalahkan sepenuhnya adalah manusia dan pemahaman antroposentrisme-nya. 

Photo by Markus Spiske on Unsplash

Etika manusia dalam memperlakukan alam memang selama ini salah. Bukan hanya terkait dengan membuang sampah sembarangan, tetapi lebih besar lagi. Masalah pembabatan hutan yang dilakukan oleh pihak terkait terkadang tidak memikirkan efek samping yang akan terjadi. Mungkin efek yang akan terjadi sudah sedikit dipikirkan, namun pemikiran terkait hal itu pasti akan dikalahkan oleh pemikiran terkait dengan masalah uang. Uang, uang, dan ya uang. Tanpa memikirkan masalah ekologis yang ada, manusia mementingkan uang. Tanpa memikirkan masalah bahwa alam ini adalah ciptaan Allah juga, manusia mementingkan uang. Anggaplah semua orang Kristen rajin beribadah dan memiliki spiritualitas yang sangat kuat. Alhasil orang Kristen pun terfokus pada penyembahan dan melayani Allah sehingga tidak sadar bahwa apa yang dilakukannya selama ini, bukanlah cerminan dari penyembahan dan melayani Allah. Apakah justru karena orang Kristen terfokus pada melayani Allah, kita lupa untuk melayani sesama kita? 

Photo by FreePhotos on Pixabay

Alam memang bukan serta-merta sesama manusia, namun tidak bisa dipungkiri, alam hidup bersama-sama dengan manusia. Manusia berada di tengah alam semesta. Maka seharusnyalah kita mengedepankan semangat untuk saling melayani, bukan hanya antar sesama manusia, namun dengan alam yang sudah diciptakan oleh Allah bersama-sama dengan manusia lainnya juga.

Melayani alam sebagai sesama ciptaan Allah, tanpa mengharapkan imbalan apa pun. 

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER