“Lagipula,” ia melanjutkan, “Ketika Tuhan sudah memilih, sejauh apapun kamu berlari dari-Nya, kamu akan tetap kembali padaNya.”
Bagi sebagian orang, melayani merupakan hal yang menyenangkan, apalagi bisa dilakukan bersama teman-teman. Sayangnya, bagi saya tidak seperti itu. Semuanya berawal dari ajakan kakak remaja untuk bergabung dalam kepengurusan OIKMAS (Oikumene dan Masyarakat). Di sana saya membantu kakak-kakak dalam mengadakan aksi sosial. Tidak berlangsung lama, OIKMAS dibubarkan, karena hanya saya anggota yang tersisa. Alhasil saya diajak menjadi Sie. Kebaktian. Karena menyandang tanggung jawab yang besar, saya mencoba melakukan yang terbaik. Bukannya mendapatkan bimbingan, yang ditinggalkan untuk saya hanya secarik kertas berisi tata cara menjadi pengurus Kebaktian yang baik. Ibarat kecemplung dan terlanjur basah, ya sudah saya kerjankan.
Hari-hari menjadi seorang pengurus Sie. Kebaktian sangat melelahkan. Saya harus mencari petugas kebaktian. Mendampingi mereka latihan dan tidak jarang saya harus siap sedia mengantikan petugas yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Bukan hal yang aneh jika saya menjadi petugas empat minggu berturut-turut. Rasanya saya ingin menyerah, tetapi ada yang menahan. Entah bagaimana menjelaskan sebuah perasaan ini... hingga akhirnya saya bertahan, meski saya harus menghadapi kegelisahan dan ketakutan yang berlebihan setiap kali ibadah dimulai.
Photo by Riccardo Mion on Unsplash
Tahun 2016, sempat terpikir dalam benak saya untuk berhenti pelayanan. Hanya saja, niat tersebut saya urungkan karena adanya pengangkatan saya menjadi ketua. Mau tidak mau saya menjadi ketua remaja. Masalah lain muncul: Tidak ada yang mau menjadi pengurus. Melalui metode asal tunjuk terbentuklah kepengurusan yang baru. Saya banyak mengerjakan acara sendirian. Pengurus lain? Sudah bisa datang di hari H saja saya sudah bersyukur. Saya sangat kelelahan, tetapi orang-orang beranggapan bahwa Komisi Remaja masih baik-baik saja.
Di akhir periode, saya merasa senang, karena bisa melepaskan beban pelayanan saya. Namun tampaknya semua itu hanya angan-angan di siang bolong, sebab saya ditunjuk kembali untuk menjadi ketua. Perasaan saya seketika berkecamuk. Bukan hanya kecewa dengan penatua, saya juga kecewa dengan Tuhan. Ke mana Dia ketika saya berdoa tentang beban pelayanan saya? Apa Tuhan tidak tahu bahwa saya kehilangan teman dan masa muda saya karena pelayanan? Saya frustrasi memikirkannya.
Sampai suatu ketika, saya berjanji untuk bertemu kakak pembimbing rohani dari kampus saya. Karena tak kuasa menahan beban pikiran, saya menceritakan semua pergumulan saya. Dia merenungkan segala perkataan saya, kemudian berkata.
“Dik, Tuhan tuh gak butuh kamu sebagai pelayannya.”
Kata-kata itu membuat saya terdiam. Rasanya ada yang menusuk di hati dan pikiran.
“Lah, kok gitu?” tanyaku dengan nada bingung setengah bete.
“Dia 'kan Tuhan. Dia bisa pakai siapapun dan apapun untuk melayani Dia. Bahkan jika Dia mau, Dia bisa membuat batu untuk menjadi pelayanNya, jadi Dia tuh gak butuh kamu.”
Saya terusik dengan perkataannya. Memang betul jika Tuhan bisa menggunakan apa aja dan siapa aja untuk melayani Dia, tetapi setelah sekian lama saya melayani Dia, apa betul Dia tidak membutuhkan saya? Lalu selama ini buat apa saya melayani?.
Kakak itu melanjutkan, “Dik, kenapa sih kamu mau pelayanan selama tujuh tahun?"
Image by Sasin Tipchai from Pixabay
Saya terdiam. Saya memikirkan jawaban terbaik untuk membuatnya terkesan, tetapi hanya ada satu jawaban di pikiran saya.
“Karena disuruh.”
Malu. Itu yang saya rasakan.
“Dik, kita itu manusia berdosa yang sebenarnya gak layak buat jadi pelayan Tuhan. Ibarat kita mau memperkerjakan orang, pasti kita pilih dengan latar belakang yang baik, bukan mantan penjahat atau pengguna narkoba. Tetapi Allah mau pilih kita dan tutup mata akan dosa-dosa kita.”
“Pernah gak sih kepikiran, dari semua orang yang bisa mimpin, kenapa kamu yang harus jadi ketua? Dari semua orang yang bisa ngomong di depan umum, kenapa kamu yang harus jadi liturgos? Bahkan dari semua orang baik yang ada di dunia ini, kenapa kamu yang dikasih nafas kehidupan untuk melanjutkan hidup. Padahal banyak dosanya. Nyatanya semua manusia dipanggil untuk pelayanan, tetapi hanya sedikit yang merespons. Kenapa? Iya karena merasa gak layak. Padahal Allah secara terang-terangan tidak mengungkit dosa-dosa kita lagi.”
Dia terdiam dan melihat saya langsung ke arah mata saya. “Seharusnya tujuan kita pelayanan bukan hanya tanggung jawab semata, tapi karena kita tahu bahwa dari semua orang baik, bertalenta bahkan yang berkarisma yang ada di dunia ini, kita yang dipilih Tuhan untuk melayani-Nya.”
“Lagi pula,” ia melanjutkan, “Ketika Tuhan sudah memilih, sejauh apapun kamu berlari daripada-Nya, kamu akan tetap kembali pada-Nya.”
Kata-kata itu melunakkan hati saya. Saya sadar bahwa saya orang yang tidak luput dari dosa. Dosa yang terlihat bahkan yang tersembunyi. Betapa besar rasa jijik akan diri saya sendiri yang masih terbelenggu akan dosa-dosa tersebut membuat saya merenungkan kembali penyertaan Tuhan dalam hidup saya. Bagaimana ia membantu saya dengan cara-cara yang ada di luar pemikiran manusia. Hati saya hancur, begitu mudahnya saya menyalahkan Allah, padahal Ia selalu berada tepat di belakang saya, menyertai dan membimbing saya dalam pelayanan yang sulit ini.
Photo by Ben White on Unsplash
Malam itu saya berdoa meminta pengampunanya, saya menangis dan berserah. Jika memang Tuhan menginginkan saya kembali menjadi seorang ketua, maka terjadilah sesuai kehendak-Nya.
Maka pada 8 April 2018, saya kembali menjadi ketua. Jabatan yang sama tetapi dengan motivasi yang berbeda. Motivasi melakukan pelayanan bukan karena tugas dan tanggung jawab semata, tetapi karena kasih-Nya yang begitu besar kepada saya yang melayakan saya menjadi pelayannya. Ia tidak asal tunjuk orang untuk melayani-Nya, tetapi bahkan sebelum dunia dijadikan, ia telah memilih saya.
Pelayanan yang didasari oleh cinta kita kepada Allah berdampak sangat besar bagi pelayanan saya. Tidak hanya mendapatkan ketua baru, tapi saya juga melihat perubahan pada pengurus saya. Keinginan mereka untuk berhenti dari pelayanan karena lelah, berganti menjadi semangat dalam memberikan yang terbaik. Allah tidak pernah tidur ketika saya berdoa, hanya saja masih ada hal yang harus Dia ajarkan pada saya.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: