Bagaimana kita memandang perbedaan? Sudahkah kita menyadari, bahwa Allah juga merengkuh perbedaan, bahkan orang-orang yang berbeda? masih nyamankah kita di dalam tempurung kita atau sudahkah kita, paling tidak berpikir untuk membuka tempurung tersebut?
Keriuhan dari skala-skala normalitas saat ini semakin tak terkendali. Apa yang tidak sesuai dengan sekitarnya akan dianggap “liyan”. Mereka sering dengan sengaja terbungkam. Apalagi di negara yang full of tolerance ini, yang berbeda sering kali terbungkam dengan satu pandangan kenormalan hari-hari ini. Jika para sahabatku membaca beberapa artikelku di Ignite, pasti memahami bahwa kenormalan adalah salah satu hal yang saya lawan. Apa lagi, jika kenormalan itu harus menyingkirkan orang lain, dan mereka menjadi terbuang. Beberapa cerita dan berita akhir-akhir ini, setidaknya sejak setahun kemarin, banyak cerita tentang para korban "penyingkiran" tersebut. Hal yang penting adalah, hal yang tidak normal, tidak selalu salah, tetapi hal yang normal juga belum tentu hal itu adalah hal yang benar. Bukankah semuanya itu adalah tergantung dari sudut pandang kita?
Cara pandang kita menentukan sikap kita ke depan. Memang bukan satu-satunya, tetapi cara pandang adalah salah satu aspek yang mampu membuat kita berpikir dan melihat hal yang berbeda di mata toleransi.
Liyan. Bagi mereka yang masih menutup mata dan pikiran, pasti akan merasa ‘ketakutan’ untuk menerima sesuatu yang baru. Mereka menyibukkan apa yang akan dikatakan oleh orang-orang di sekitar mereka. Mereka boleh jadi masih nyaman berada di tempurung kenormalan. Berada di dalam tempurung yang menjadikan mereka eksklusif kemudian menganggap yang berbeda sebagai ke-tidak-normal-an. Apakah hal ini salah? Bagi saya tidaklah salah. Namun, hal ini akan saya tentang mati-matian jika berkaitan dengan pengabaian dan bahkan kekerasan secara paksa.
Data menunjukkan, angka kekerasan bagi kelompok minoritas seksual di masa pandemi saja meroket hingga tak terhitung jumlah dari mereka yang harus dimiskinkan, dikucilkan, bahkan parahnya harus meregang nyawa karena berbagai bentuk kekerasan, baik fisik, mental maupun spiritual mereka. Hal ini justru banyak saya temukan terjadi di lingkungan terdekat. Lingkungan keluarga yang menolak, teman-teman yang melakukan perundungan, dan sebagainya. Stigma masyarakat bagi kelompok minoritas (bukan hanya minoritas seksual, tetapi juga minoritas suku, minoritas agama, minoritas ras, minoritas ekonomi, dan minoritas lainnya) adalah mereka berdosa, bersalah, atau setidaknya, sering kali muncul tanggapan awam, bahwa “pasti ada yang salah dengan orang tuanya” atau “pasti ini karena saudara-saudaranya yang sering melakukan dosa”, atau stigma-stigma yang menurut saya pribadi, tak masuk akal, dan akhirnya turut menyingkirkan keberadaan mereka. Dan, bahkan yang lebih parah, agama dan kepercayaan dijadikan senjata utama untuk mengucilkan dan menyingkirkan mereka yang berbeda. Agama dan kepercayaan menjadi tameng sekaligus pedang bagi para kelompok “normal” (yang sebenarnya juga tidaklah seratus persen normal) untuk melindungi diri mereka. Lagi, golongan mereka inilah yang membuat tempurung mereka sendiri dan hidup nyaman di dalam tempurung itu, sambal terus mengusir ketidak-normal-an layaknya film-film zombie, dimana mereka yang belum menjadi zombie akan menutup rumah (atau hidup) mereka erat-erat.
Namun, apakah hal tersebut adalah hal yang wajar? Menganggap mereka yang berbeda, sebagai “zombie” yang harus kita lawan, hajar, atau bahkan bunuh? Jika Anda tidak percaya dengan hal yang saya sampaikan, maka silakan berselancar ria di dunia maya kalian, dan gunakan kata-kata kunci seperti: kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak-anak, kekerasan terhadap ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa), kekerasan terhadap kelompok disabilitas, atau mungkin yang sedang sering muncul, adalah kekerasan terhadap kelompok minoritas seksual.
Jika Anda, atau kita menggunakan senjata agama untuk melakukan kekerasan tersebut, maka pertanyaannya adalah: adakah tokoh-tokoh di dalam Kitab Suci yang sempurna? Bahkan mungkin bagi para teolog yang mempelajari agama-agama, akan sulit sekali bagi kita untuk menemukan tokoh yang sempurna. Sulit sekali bagi kita untuk membuat batasan kenormalan tersebut dari sudut pandang sejarah agama. Hal inilah yang kemudian menggelitik saya. Jika memang tak ada, lalu mengapa kita menjadi sok-sempurna, atau kasarnya “sok-Tuhan” untuk menentukan mana yang normal, dan mana yang tidak normal? Dasar apa yang dapat kita gunakan? Konstruksi berpikir yang semakin kacau dan rancu inilah yang tak lagi mampu untuk dijadikan dasar sudut pandang yang tepat. Semuanya sungguh “halu” (re: halusinasi belaka).
Dari kenyataan yang ada demikian, saya ingin mencoba menyampaikan satu konstruksi teologis baru, berkenaan dengan kekerasan dan penyingkiran bagi mereka yang berbeda. Konstruksi itu adalah konstruksi keramahan. Dalam mata kuliah Teologi Keramahan, setidaknya saya dipertemukan dengan cara berpikir baru untuk melihat perbedaan. Saya mencoba menjelaskan ini dengan menggunakan pemikiran Michele Hershberger. Dalam tulisannya, ia menggambarkan hospitalitas sebagai hubungan tamu-tuan rumah, atau secara lebih mudah mencintai orang asing, mencintai orang yang berbeda dengan kita mengutip dari Henri Nouwen, fenomena yang ada sekarang adalah fenomena baru yang sebenarnya muncul dari ketakutan kita untuk menerima orang lain, dan akibatnya kita bertahan pada sudut pandang kita dengan melakukan kekerasan. Rasa cemas yang tak berdasar inilah yang membuat kita memilih untuk menyingkirkan, atau bahkan menjatuhkan orang yang berbeda dengan kita. Hal ini kemudian menjadi, apa yang disebut oleh Hershberger, sebagai "lingkaran permusuhan". Dengan melihat pemikiran ini, maka akan menjadi lebih jelas alasan di balik timbulnya kekerasan yang tak berujung, atau pengabaian yang dilakukan dengan sengaja. Untuk menjawab itu semua, Hershberger bahkan dengan tegas menulikan: “Lingkaran permusuhan itu harus diputuskan. Lingkaran itu dapat diputuskan melalui hospitalitas” (Hershberger, 2009:12). Namun, konsep hospitalitas ini sendiri masih sering hanya dilakukan pada mereka yang berada dalam tempurung. Saya menyarankan kepada kita, cobalah buka tempurung kita.
Buka pintu dan jendela kita, lalu lihatlah keluar. Pandanglah mereka yang masih kita pandang ''liyan'' tersebut, dan pastikan kita menggunakan kacamata yang mampu memberikan terang kejelasan tentang “mereka” yang berbeda dengan “kita” atau “saya”. Pandanglah mereka menggunakan cinta dan kasih Allah, maka kita akan dibantu untuk tidak lagi mengabaikan mereka yang berbeda, dan bahkan melakukan kekerasan dalam bentuk apapun (fisik, maupun non-fisik), namun mampu menerima dan turut merengkuh mereka.
Karena ingatlah, bukankah sebagai “anak Allah” kita seharusnya mengikuti apa yang Allah lakukan? Bagaimana mungkin, kita melakukan kekerasan dan penyingkiran terhadap mereka yang terkucilkan oleh masyarakat, padahal Allah, yang katanya menjadi panutan kita tersebut mampu menerima mereka dengan cinta dan kasih-Nya yang tak terbatas? Selamat menunjukkan keramahan Allah itu bagi sekitar kita, dan yang lebih penting, mari kita mulai menggeser pola pikir hostilitas, kepada hospitalitas, saat kita harus memandang kelompok liyan, merengkuh dan mengasihi mereka, seperti Allah yang telah terlebih dahulu mengasihi kita!
LLC-di Semarang
NB: untuk memperdalam hal ini, kawan-kawan dapat membaca buku berjudul “Hospitalitas, Orang Asing: Teman atau Ancaman” karya Michele Hershberger yang diterjemahkan oleh BPK Gunung Mulia tahun 2009 lalu.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: