Menghargai Setiap Pilihan, Termasuk Golput?

Going Deeper, God's Words, 12 April 2019
Kekristenan – dalam hal ini Gereja dan warga jemaat – perlu mendasarinya dengan sikap menghargai hak, sebagai langkah awal merangkul aspirasi orang-orang yang memilih golput.

Pemilihan Umum (pemilu) merupakan bagian penting dalam praktik demokrasi pada masa kini. Pemilu menjadi sarana bagi masyarakat untuk memberikan hak suara dalam hal memilih pemimpin. Para pemimpin yang dipilih akan memimpin di tingkat legislatif maupun eksekutif. Pada masa kampanye ini, beragam pemaparan program dilakukan oleh mereka yang sedang ada di dalam kontestasi.

Di tengah ingar bingar demokrasi, polarisasi antarpendukung pasangan calon (Paslon) sangat terasa. Terkadang polarisasi membuat masyarakat menjadi resah serta menimbulkan kegaduhan baru. Selain itu, cara berpolitik yang terkesan serampangan, emosional, irasional, dan sebatas menggunakan narasi berisi ejekan atau sindiran kian marak. Tak jarang program-program yang ditawarkan dalam kampanye malah tidak tersosialisasi dengan baik. Parahnya, tidak sedikit program yang boleh dibilang pemanis kampanye semata.

Di tengah dinamika pemilu yang terjadi, golongan putih (golput)—kelompok yang berencana tidak menggunakan hak pilih–hadir. Golput sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia, bahkan di berbagai negara. Di Indonesia, golput menunjukkan dirinya pada medio 1970-an di tengah kontestasi pemilu yang tidak transparan di bawah pimpinan Orde Baru.


Photo by Caleb Jones on Unsplash

Kini, yang menjadi pertanyaan kita sekarang, apakah golput sepenuhnya salah? Bagaimana Kekristenan, baik Gereja sebagai institusi maupun pribadi menanggapi fenomena golput dalam pemilu?

Orang-orang yang memilih untuk golput dalam pemilu merupakan orang-orang yang terjebak dalam kesombongan pemahaman tentang keadaan. Orang-orang yang golput merasa mengenal betul konsep hidup bernegara secara absolut, tapi memaksa orang-orang yang hendak dipilih dalam pemilu melaksanakan seluruh keinginan mereka.

Penyebab seseorang atau suatu kelompok mengambil inisiatif untuk golput disebabkan banyak faktor, mulai dari pertimbangan rasional hingga apatisme. Jika pilihan golput didasari oleh pertimbangan rasional, kemungkinan penyebabnya ialah agenda politik serta visi-misi peserta pemilu tidak ada yang mengakomodasi kepentingan pribadi maupun kelompoknya.

Golput sejatinya sangat berbahaya karena merupakan suatu bentuk ketidakpedulian terhadap negara. Golput merupakan bukti konkret dari tindakan apatis dan apolitis masyarakat terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak heran golongan ini kerap dianggap tidak nasionalis.


Photo by geralt on Pixabay

Upaya untuk mengajak orang-orang agar tidak golput semakin masif pada masa kampanye pemilu kali ini. Sayang, banyak ajakan-ajakan tersebut sifatnya judgemental. Maksudnya, orang-orang yang diajak golput hanya sebatas diberi wanti-wanti, bahwa keputusan golput adalah keputusan yang diambil oleh orang-orang yang tidak peduli kondisi bangsa, dan lain sebagainya.

Permasalahan dalam menyikapi golput sesungguhnya tidak sesederhana yang kita pikirkan. Selain itu, ajakan untuk tidak golput masih dengan sudut pandang bahwa orang-orang yang golput tidak lebih sebagai tambang suara yang hilang. Apabila tidak diajak maka akan merugikan orang-orang yang terlibat langsung dalam kontestasi pemilu, meski untuk mengakui hal ini, para politisi masih malu-malu kucing.

Pada satu sisi, golput menjadi penanda bahwa para peserta pemilu belum mampu meyakinkan orang untuk memilih mereka. Para peserta pemilu belum bisa menangkap dan membawa aspirasi dari seluruh elemen masyarakat. Di sisi lain, orang-orang yang memilih golput menganggap para kontestan pemilu tidak dapat dan tidak akan mampu membuktikan janji-janji dan program mereka.

Secara hukum, golput tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan pelanggaran hukum. Pilihan golput baru dikatakan melanggar hukum apabila ada paksaan, intimidasi, atau pemberian materi agar golput di dalam pemilu. Hak seseorang untuk golput secara tersirat dilindungi dalam UUD 1945 pasal 28 tentang kebebasan berkumpul, berserikat dan berpendapat. Maka dapat dikatakan bahwa seseorang dengan pilihan golput dilindungi oleh konstitusi.

Pertanyaannya, apakah yang dapat dilakukan oleh Gereja dan orang-orang Kristen di tengah kondisi seperti ini?


Photo by travelphotograpger on Pixabay

Kekristenan – dalam hal ini Gereja dan warga jemaat – perlu mendasarinya dengan sikap menghargai hak, sebagai langkah awal merangkul aspirasi orang-orang yang memilih golput. Golput sesungguhnya didasari oleh banyak hal. Gereja perlu mengarahkan warga jemaat untuk mengambil pilihan rasional dalam politik elektoral.

Memilih salah satu kandidat yang ada dalam pemilu atau golput idealnya harus didasari pertimbangan rasional. Gereja hendaknya memberikan penanaman tentang nilai politik, pemilu, dan prinsip politik dengan terprogram untuk membantu warga jemaat menentukan pilihannya.

Gereja diharapkan tidak membuat narasi yang sifatnya dapat menimbulkan pembedaan di tengah masyarakat atas pilihan politik. Gereja harus menunjukkan sikap penerimaan bahwa pilihan politik yang didasari oleh pemikiran yang rasional dengan berbagai pertimbangan di dalamnya adalah hal yang baik, meskipun tidak mengikuti gerakan atau pilihan yang populer diambil


Photo by triyugowicaksono on Pixabay

Pilihan politik sepatutnya bukan didasari kebencian, cinta yang buta, atau apatisme. Kebencian membuat kita memandang calon lain sama sekali tidak baik. Begitu juga sebaliknya, cinta buta membuat kita memuja setinggi langit calon yang akan kita pilih seakan tidak punya kekurangan. Berbagai kekurangan bahkan kadang dipaksakan sebagai dasar untuk terus mengangkat calon yang didukung. Pun dengan apatisme yang muncul setelah berbagai pertimbangan, atau bahkan anggapan pemilu hanya milik para elit yang tidak akan berpengaruh pada kehidupan rakyat biasa.

Gereja perlu menunjukkan dan mengajarkan sikap untuk tidak apatis dalam menyikapi keadaan negeri, termasuk pada pemilu. Nilai-nilai kristiani dalam menyikapi kehidupan dengan menunjukkan kasih dan pengharapan dapat dijadikan dasar. Terlepas dari apapun pilihan dalam politik kita, perlu rasa saling menghargai.

Rasionalitas dan hati nurani harus bertaut untuk menentukan pilihan politik. Indonesia jauh lebih besar dari perbedaan pilihan politik. Jangan mau dipecah-belah hanya karena perbedaan pilihan politik, demi Indonesia yang semakin baik.


Penulis : Sam Siallagan

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER